Daur Ulang Sampah Makanan Demi Hindari Gas Metana yang Mengancam Bumi
Gas metana yang dihasilkan oleh 12 juta ton sampah makanan di Indonesia setara dengan emisi gas karbondioksida CO2 yang dihasilkan 5,45 juta mobil dalam setahun. Jumlah mobil di Jakarta tahun 2020 adalah 3,3 juta unit.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F18%2F0897bda2-bda6-4f6e-8fb0-f7b9fef1ac48_jpg.jpg)
Sejumlah pemulung berkeranjang sedang mengais sampah yang masih berharga di TPA Bantar Gebang pada Selasa (26/04/2022).
Kebiasaan membuang makanan tidak hanya berarti membuang uang, tetapi ini juga sebuah aksi yang mengancam bumi sebagai tempat tinggal umat manusia. Proses penimbunan terbuka sampah makanan dapat menghasilkan gas metana (CH4), yang sebagai gas rumah kaca, 25 kali lebih berbahaya bagi bumi ketimbang karbondioksida (CO2) yang biasa dihasilkan sebagai emisi kendaraan bermotor.
Gas metana yang dihasilkan oleh 12 juta ton sampah makanan di Indonesia setara dengan emisi gas karbondioksida CO2 yang dihasilkan 5,45 juta mobil dalam setahun. Sebagai perbandingan, jumlah mobil di Jakarta tahun 2020 'hanyalah’ 3,3 juta unit.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F08%2Fcc160bd1-7739-4720-b51f-925229734661_jpg.jpg)
Kepadatan volume kendaraan di Tol Jakarta-Cikampek Km 54, Karawang, Jawa Barat, Minggu (8/5/2022). Arus balik kendaraan dari arah timur menuju Jakarta saat libur Lebaran mencapai puncak kepadatan pada Sabtu dan Minggu. Volume kendaraan dari arah timur yang melalui Tol Jakarta-Cikampek mencapai 170.078 kendaraan. Jumlah tersebut lebih tinggi dari puncak arus balik libur Lebaran tahun 2019 yang tercatat 166.444 kendaraan. Volume kendaraan pada Minggu (8/5/2022) diperkirakan akan mencapai sekitar 174.000 kendaraan.
Oleh karena itu, proses daur ulang sampah makanan menjadi krusial dalam mengurangi jumlah sampah yang masuk ke tempat pembuangan akhir. Upaya pengelolaan sampah di hilir ini bisa mengurangi dampak lingkungan sekaligus bisa meraup rupiah dari sampah makanan yang terbuang.
Dalam segitiga hirarki pengelolaan sampah makanan berkelanjutan, daur ulang diharapkan ada pada posisi akhir. Artinya, sampah makanan bisa diolah tanpa sisa di tempat daur ulang sehingga tak perlu ada sampah makanan yang dikirim ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).
Baca juga: Sampah Makanan Indonesia Mencapai Rp 330 Triliun
Namun, harapan tersebut di Indonesia masih sangat jauh. Masih ada masyarakat yang langsung membuang makanan berlebihnya ke tempat sampah, hingga sampai ke TPA. Hal itu terbukti dari sekitar 9 persen responden jajak pendapat Kompas yang mengaku langsung membuang sisa makanan ke tempat sampah.
Masih ada beberapa sampah makanan yang dibuang ke TPST Bantargebang dan TPST Sumur Batu, Bekasi. Sampah makanan tersebut rata-rata masih terbungkus rapi dalam kemasan plastik ataupun wadah. Namun, ada juga yang dibiarkan terbuka, bercampur dengan jenis-jenis sampah yang lain.
Daur ulang
Meski demikian, ada sebagian kecil masyarakat yang berupaya mendaur ulang sampah makanan dengan berbagai metode, seperti komposting, membuat eco-enzyme dan lubang biopori, hingga menggunakan maggot atau Black Soldier Fly/BSF. Daur ulang sampah makanan tersebut dilakukan di tingkat rumah tangga, bank sampah, tempat pengolahan sampah reuse reduce recycle (TPS3R), hingga skala industri.
Masyarakat tersebut tak sekadar melakukan upaya pengurangan sampah. Namun juga mulai mencari keuntungan dari daur ulang sampah organik dari menjual kompos dan maggot. Nilainya memang tak sebesar dari pengolahan sampah anorganik.

Juliana (45) karyawan swasta asal Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat menjadi inisiator budidaya maggot di tingkat RW perumahannya, seperti saat diwawancarai secara jarak jauh pada Rabu (20/4/2022).
Juliana (45), karyawan swasta yang tinggal di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mulai mengolah sampah organik, termasuk sampah makan sejak 2019. Sebelumnya, sampah organik yang dihasilkan dibuang ke TPS liar sekitar komplek perumahan untuk selanjutnya dibakar.
Namun, karena menimbulkan polusi udara, komunitas warga kompleksnya mulai berinisiatif untuk mengolah sampah melalui bank sampah dan mengolah sampah organik di masing-masing rumah.
Baca juga: Tips Mengelola Sampah Makanan
“Dalam skala rumah tangga, kami sudah membiasakan supaya makanan sisa dari keluarga yang tak bisa dikonsumsi dimasukkan ke komposter, lubang biopori, atau bucket maggot,” jelasnya.
Bahkan menurut Juli sejak setahun terakhir, sesuai hasil kesepakatan warga, petugas sampah tak lagi mengambil sampah organik. Pengolahan sampah organik diserahkan ke masing-masing keluarga.
Juli sendiri awalnya mengolah sampah organik dengan ember komposter dan lubang biopori. Baru Oktober 2021, Juliana mengolah sampah organik dengan metode maggot.

Kumpulan larva atau maggot black soldier fly yang ditaruh pada nampan plastik, seperti yang terlihat di booth Magobox, dalam sebuah pameran produk inovasi sampah di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Jumat (22/4/2022).
“Saya awalnya jijik dengan maggot,” katanya. Juli belajar mengelola sampah dengan maggot ini saat mengikuti pelatihan Ecocamp di Bandung. Namun karena tergerak untuk mengurangi sampah organik dengan metode yang lebih efektif, Juli membuang rasa jijiknya tersebut.
Hasilnya, menurut Juliana bisa mengurangi buangan sampah organik. “Tadinya buang 2 kantong kresek dari ember hijau dan kuning. Kini tersisa dari ember kuning sampah anorganik saja,” jelasnya.
Saat ini, hasil panen maggot dari Juli dan beberapa keluarga lainnya menjadi pakan lele yang dipelihara oleh beberapa warga. Namun ke depan komunitas masyarakat di kompleksnya bercita-cita mengolah maggot menjadi maggot kering yang bisa menjadi makanan ikan dan kucing.
Baca juga: Dibuang Warga, Dimakan Pemulung
Harganya pun menurut Juli cukup lumayan. Harga maggot kering sekitar Rp 15.000 hingga 30.000 per 100 gram.
Hanya saja, untuk mengajak seluruh warga di kompleknya mendaur ulang sampah makanan secara mandiri tak mudah. Di RT-nya saja, belum semua rumah tangga mau memilah sampah dan secara telaten memasukkannya ke bucket maggot dan lubang biopori. Dari total 24 rumah tangga di RTnya, baru 10 yang sudah melakukannya.
Bank Sampah
Tak hanya skala rumah tangga saja, bank sampah juga ikut mengolah sampah makanan. Bank Sampah Gajah Putih Solo yang awalnya hanya mengelola sampah anorganik, pada 2017 mulai mengelola sampah organik. Bank Sampah Gajah Putih ini menjadi bagian dari sistem penyelamatan makanan berlebih yang dikoordinir oleh lembaga non profit lingkungan Gita Pertiwi.
Basuki, pengelola Bank Sampah ‘Gajah Putih’ mengatakan, sisa-sisa makanan dari dapur katering, restoran, atau hotel yang sudah tidak bisa diselamatkan oleh Gita Pertiwi ditampung oleh bank sampah. Sampah makanan tersebut diolah dengan maggot.
“Di Gajah Putih, kami tiap hari mengolah 50 kilogram sampah makanan. Ini cukup memberi makan 50 kilogram maggot,”sebut Basuki. Hingga 18 April menurut Basuki, Gajah Putih sudah menjual 120 kilogram maggot dan hingga akhir April ditargetkan bisa menjual 400 kilogram maggot.
Hasil dari pengembangbiakan maggot cukup menguntungkan secara ekonomi. “Masa-masa enak ya saat panen maggot,” kata Basuki.
Menurut Basuki, sudah ada pengepul yang menampung panen maggot Gajah Putih. Pengepul akan mengambil 30-40 kilogram maggot dengan harga Rp 6.000 per kilogram maggot basah. Selain itu Basuki juga menjual maggot basah secara online dengan harga Rp 10 ribu per kilogram. Namun, pembeli online, sebut Basuki belum banyak, baru satu hingga tiga orang saja.
Rencana ke depan, Bank Sampah Gajah Putih juga akan membuat peternakan lele. Hasil maggot bisa langsung diberikan sebagai makanan lele . Hasil panen lele juga bisa dijual ke masyarakat.
Pengolahan TPS 3R
Di kota Tangerang, sampah organik di kelurahan Pabuaran Tumpeng dikelola oleh Tempat Pengolahan Sampah – Reduce Reuse Recycle (TPS3R) Benua Lestari. TPS 3R ini mulai mengelola sampah organik sejak 2012.
Pengelola TPS 3R Benua Lestari, Aan Oktian menyebutkan, awalnya mengelola sampah organik dengan metode komposting yang hasilnya dibagikan gratis ke warga yang membutuhkan.
“Kami kasih gratis untuk sosialisasi kalau sampah bisa dikelola dengan baik, hasilnya juga baik. Ya ujung-ujungnya kita ajak warga untuk memilah sampah,” jelas Aan yang ditemui di TPS 3R Benua Lestari akhir April lalu.
Baca juga: Kebiasaan Buruk Sisakan Makanan
Baru pada awal 2020, menurut Aan, sampah organik diolah dengan metode maggot. Untuk pengolahan dengan maggot, ada beberapa langkah yang dilakukan.
“Sampah dipilah dulu, mana organik dan mana anorganik. Setelah itu, dicacah dengan mesin, kemudian difermentasi, baru diberikan ke maggot,” jelas Aan dengan menunjukkan langsung proses pengolahan di TPS 3R.
Dari pengamatan di TPS3R Benua Lestari, tampak dua orang petugas sedang memilah sampah organik dan anorganik. Ada pula yang bertugas mencacah sampah makanan berupa gorengan. Di sudut lain, mesin pencacah bekerja untuk mengolah sampah organik yang sudah terpilah.

Petugas memilah sampah di TPS Benua Lestari, Tangerang, Banten, pada Senin (25/4/2022). Di TPS ini, sampah makanan dipilah untuk dijadikan pakan untuk maggot, sedangkan sampah anorganik seperti tutup botol dan gelas plastik disisihkan untuk dijual kembali ke industri daur ulang.
Menurut Aan, dari 6 hingga 7 ton sampah yang masuk ke Benua Lestari, hampir 80 persennya diolah dengan metode maggot. Sisanya, baru dijadikan kompos.
Maggot ini mulai memberi keuntungan ekonomi bagi TPS3R Benua Lestari. “Hasilnya lumayan, yah bisa untuk bayar THR teman-teman (pekerja TPS3R),” kata Aan.
Bahkan sampah organik Benua Lestari juga memberi keuntungan bagi masyarakat sekitar yang mempunyai peternakan maggot. Beberapa warga yang punya maggot, kata Aan, seminggu sekali datang ke TPS untuk meminta sampah sebanyak 4 ember cat besar.
Rupanya warga tersebut mulai mengusahakan ternak maggot, tapi kesulitan untuk mencari sumber makanan bagi maggot alias sampah makanan.
Sumber pakan maggot, menurut Aan sering tidak diperhitungkan oleh masyarakat yang baru memulai usaha beternak maggot. “Misal ingin menghasilkan 1 kilogram maggot per minggu, tapi mereka enggak hitung sumber pakan dari mana,” kata Aan.
Padahal perbandingan antara sampah makanan dan maggot antara 1 banding dua atau satu banding empat. “Misal ada pasokan sampah 100 kilogram per minggu, berarti bisa menghasilkan 25 hingga 50 kg maggot,” jelas Aan.
TPS 3R ini juga tak hanya menghasilkan uang dari maggot, tapi juga berhasil mengurangi sampah yang masuk ke TPA Rawa Kucing, Tangerang. “Sebelum ada TPS 3R, truk sampah DLH dalam sehari ambil 4 rit. Sekarang tersisa cuma 2 rit. Itu mengurangi biaya operasional truk sampah DLH,” jelasnya.
Peluang ekonomi mulai tercipta dari pengolahan sampah organik di tahap daur ulang dengan komposting ataupun maggot. Masih ada pekerjaan rumah yang lain yang harus diselesaikan. Tak hanya mengajak masyarakat untuk mencegah dan mengurangi sampah makanan. Namun, ada tahap yang lebih mendasar, yakni memilah sampah.