Laporan SPEK-HAM: Angka Kekerasan Seksual pada Perempuan di Surakarta Meningkat
Meskipun jumlah kasus kekerasan pada perempuan yang dilaporkan menurun, aduan kekerasan seksual justru meningkat.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Yayasan Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia atau SPEK-HAM menerima aduan kekerasan terhadap perempuan sebanyak 72 kasus pada 2021. Angka tersebut menurun dibandingkan laporan yang diterima setahun sebelumnya. Namun, aduan kekerasan seksual yang diterima justru meningkat. Sebagian besar korban enggan melanjutkan ke proses hukum karena stigmatisasi pada korban.
Hal itu terungkap dalam laporan kinerja SPEK-HAM bertajuk ”Tantangan dan Pemenuhan Hak Keadilan Hukum bagi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Kekerasan Seksual” di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (29/3/2022).
SPEK-HAM mengategorikan bentuk aduan yang disampaikan dalam beberapa jenis, yakni kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, kekerasan dalam pacaran, dan kekerasan lainnya. Dari jumlah tersebut, KDRT menjadi yang paling banyak diadukan dengan jumlah 40 kasus, kekerasan seksual 17 kasus, kekerasan dalam pacaran 10 kasus, dan kekerasan lainnya 5 kasus.
”Yang harus menjadi catatan, terjadi peningkatan tren kasus pada kekerasan seksual. Jumlahnya menjadi 17 kasus. Tahun sebelumnya, ada 14 kasus. Berbeda dengan KDRT yang turun menjadi 40 kasus dari sebelumnya 62 kasus,” kata Manajer Divisi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat (PPKBM) SPEK-HAM Surakarta Fitri Haryani dalam kesempatan tersebut.
Jenis-jenis kekerasan dibedakan lagi menjadi kekerasan ekonomi, penelantaran, fisik, seksual, dan psikologis. Menurut laporan tersebut, sebanyak 19 orang mengalami kekerasan ekonomi, 30 orang mengalami penelantaran, 18 orang mengalami kekerasan fisik, 26 orang mengalami kekerasan seksual, dan 58 orang mengalami kekerasan psikologis. Seorang perempuan korban kekerasan bisa mengalami lebih dari satu jenis kekerasan atas kasus yang diadukannya.
”Jadi, seorang korban bisa mengalami kekerasan fisik dan ditelantarkan, juga tak diberi nafkah. Untuk itu, jumlah jenis kekerasan yang dialami bisa lebih banyak dari kasus-kasus kekerasan yang diadukan. Ada satu sampai tiga jenis kekerasan yang dialami oleh seorang korban,” kata Fitri.
Ada satu sampai tiga jenis kekerasan yang dialami oleh seorang korban.
Adapun bentuk penanganan yang ditempuh setidaknya ada lima jenis, yakni hukum, konseling, medis, reintegrasi sosial, dan rehabilitasi sosial. Semua kasus yang diadukan, semuanya menempuh konseling untuk pemulihan kondisi psikologis korban. Namun, tidak semuanya menempuh jalur hukum atas kekerasan yang dialaminya. Tercatat hanya 28 kasus yang dilanjutkan penanganannya ke jalur hukum.
Kondisi itu disebabkan oleh masih banyaknya stigmatisasi yang dialami korban kekerasan seksual. Kerap ada pernyataan yang seolah-olah menghakimi korban. Proses hukum yang dijalani juga cukup panjang. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam pemeriksaan juga bisa menimbulkan trauma bagi korban.
”Hal-hal semacam itu yang menyebabkan keengganan seorang korban menjalani proses hukum. Misalnya, menanyakan kasusnya berulang-ulang. Ini menjadi ketraumaan sendiri bagi korban. Ini jadi catatan kenapa korban enggan melanjutkan prosesnya,” kata Fitri.
Keterbatasan psikolog
Sementara banyaknya permintaan konseling terganjal dengan keterbatasan jumlah sumber daya manusia. Misalnya, lanjut Fitri, di lembaganya, hanya ada empat tim yang melakukan penanganan untuk 70-an kasus yang diterima laporannya. Persoalan minimnya anggaran juga menjadi kendala lain dalam hal penanganan kasus-kasus tersebut.
Kepala Bidang Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Jateng Sri Dewi mengungkapkan hal serupa. Jumlah tenaga psikolog yang dimilikinya sangat terbatas. Itu menjadi tantangan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Pelatihan tambahan untuk mempunyai perspektif khusus juga diperlukan agar konseling yang diberikan tidak menyudutkan korban.
Selanjutnya, Dewi menambahkan, penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan juga tidak bisa menjadi kerja individual. Lembaga swadaya masyarakat dan pemerintahan hendaknya berjalan pendampingan. Kolaborasi kedua belah pihak diyakini akan mengoptimalkan kerja-kerja penanganan kasus kekerasan perempuan.
”Kami juga terus berupaya tetap meningkatkan pelayanan bagi perempuan korban kekerasan. Penanganan kasus optimal sudah jadi komitmen Pemerintah Provinsi Jateng,” kata Dewi.
Rina Herlina, peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan dan Gender LPPM UNS Surakarta, mengatakan, temuan kasus kekerasan seksual pada perempuan menunjukkan terjadinya ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan di tengah masyarakat. Edukasi kesetaraan jender perlu terus-menerus dilakukan. Terbentuknya pemahaman atas kesetaraan jender bisa mencegah kekerasan terhadap perempuan.
Salah satu bentuk nyata pencegahan kekerasan pada perempuan yang sudah ditempuh, jelas Rina, ialah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan itu akan sia-sia tanpa adanya implementasi tegas. Untuk itu, adanya pengawalan terhadap penerapan aturan tersebut menjadi suatu hal yang penting.
”Tidak hanya di perguruan tinggi. Kita perlu membangun sistem pencegahan kekerasan seksual serupa di sekolah-sekolah. Syaratnya, jangan sekadar formalitas. Harus benar-benar dibangun sistemnya. Jangan hanya agar satuan pendidikan mendapat penghargaan dan dianggap responsif jender belaka,” ujar Rina.