Kendati kehadiran RUU TPKS sangat mendesak, proses pembahasan RUU TPKS di DPR saat ini hendaknya tidak terburu-buru, tetapi dilakukan hati-hati agar substansi dari RUU tersebut tidak akan melenceng.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Proses legislasi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, sejak pekan lalu, Kamis (24/4/2022), dimulai di Dewan Perwakilan Rakyat. Di luar dugaan, respons para wakil rakyat atas RUU tersebut, kali ini berbeda. Setelah mendengarkan pandangan Presiden atas RUU tersebut, DPR langsung tancap gas dan menggelar pembahasan RUU tersebut secara maraton.
Dari jadwal yang disusun dan disepakati DPR dan tim pemerintah, pada rapat kerja pertama terkait Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), Kamis lalu, pembahasan RUU TPKS akan dilakukan dalam waktu sekitar sepekan. Mulai Senin (28/4/2022) hari ini, Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama pemerintah akan memulai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TPKS yang disusun pemerintah.
Di lihat dari jadwal yang disusun DPR menargetkan, sebelum Masa Sidang IV DPR Tahun Sidang 2021/2022 pembahasan RUU TPKS sudah rampung. Sesuai jadwal pada Selasa (5/5/2022) pekan depan, naskah RUU TPKS sudah selesai dibahas dan dilakukan pengambilan keputusan. Pembahasan RUU TPKS akan dilakukan dalam tujuh kali pertemuan.
Di satu sisi semangat DPR dalam merespons RUU dengan melakukan pembahasan RUU TPKS secara cepat sebagai bentuk perhatian khusus DPR atas kemendesakan akan lahirnya Undang-Undang (UU) TPKS. Namun, di sisi lain, DPR juga diingatkan agar tidak terburu-buru membahas dan mengesahkan RUU tersebut menjadi UU. Jangan sampai ketika UU tersebut diundangkan, tetapi tidak implementatif.
DIM yang disusun pemerintah mengatur muatan substansi dari RUU TPKS, terutama memastikan pemenuhan hak korban, keluarga korban, dan saksi, termasuk restitusi bagi korban,
”Kami berharap pembahasan RUU berorientasi pada kualitas, bagaimana menghadirkan RUU yang mampu menjawab persoalan yang masih banyak hambatan terkait pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban,” papar Ratna Batara Munti, dari Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS) dan Koordinator Advokasi Kebijakan LBH APIK Indonesia, Minggu (27/4/2022).
Oleh karena itu, sebelum pembahasan RUU TPKS dimulai di DPR, JPHPKKS yang terdiri dari berbagai organisasi dan aktivis pendamping korban kekerasan seksual di Tanah Air, menggelar diskusi maraton membahas materi krusial dalam RUU TPKS. Tak hanya itu, JPHPKKS juga menggelar simulasi terkait layanan terpadu dan restitusi bagi korban, yang melibatkan kementerian/lembaga.
Babak-babak diskusi RUU TPKS yang dilakukan JPHPKKS untuk memastikan agar rumusan hukum dalam RUU TPKS jika ditetapkan menjadi UU nantinya bisa implementatif, bukan hanya law in the text.
”Kami sebenarnya khawatir pembahasan yang dikejar seminggu ini apa mungkin bisa menghasilkan RUU yang implementatif dan solutif. Karena itu, kami berharap selama pembahasan berlangsung prosesnya terbuka, partisipatif, membuka ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan. Jangan tertutup dan menutup diri dari masukan masyarakat,” papar Ratna.
Tekankan substansi
Asfinawati, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, mengatakan, dalam diskusi dan simulasi yang dilakukan masyarakat sipil dan kementerian/lembaga ada sejumlah hal dalam draf RUU TPKS yang perlu diperkuat dan disempurnakan. Misalnya, soal layanan terpadu bagi korban kekerasan seksual. Meskipun semangatnya sudah ada dalam RUU TPKS, tapi pengaturannya agar lebih operasional.
Soal waktu yang sangat singkat, Asfinawati mengingatkan jangan sampai keterbatasan waktu justru akan mengurangi substansi RUU tersebut. ”Adanya semangat di legislatif dan eksekutif agar RUU ini segera disahkan, tentu itu hal baik. Namun, jangan sampai substansi dari RUU tersebut disunat demi mempercepat RUU tersebut,” papar Asfinawati.
Kendati dalam draf RUU TPKS sudah ada sejumlah hal yang progresif, Asfin mengingatkan ada sejumlah hal dalam sistem penanganan terpadu yang bisa meleset ketika penerapan di lapangan. Ini mengingat situasi penegakan hukum di Tanah Air yang masih menghadapi sejumlah tantangan, terutama kesiapan aparat penegak hukum dalam menerapkan UU TPKS.
Dari simulasi yang dilakukan masyarakat sipil penting mendapat perhatian ketika berkas laporan kekerasan seksual diterima polisi, polisi harus terbitkan surat tanda penerimaan laporan serta membuat berita acara pemeriksaan (BAP) berdasarkan laporan penggalian informasi. Hal ini harus dibicarakan dulu oleh polisi dengan unit pelayanan terpadu PPA dan kejaksaan.
”Kalau polisi menganggap belum cukup dan membutuhkan pemeriksaan tambahan dengan pemeriksaan korban, untuk melakukan itu, harus minta saran psikolog dan tidak boleh mengajukan pertanyaan yang sama,” kata Asfinawati.
Sri Nurherwati (Yayasan Sukma) dan Misiyah (Direktur KAPAL Perempuan) mengingatkan DPR dan pemerintah agar memberikan perhatian khusus terhadap penanganan korban kekerasan seksual, terutama terkait layanan terpadu dan restitusi. Sebab, dari hasil simulasi yang dilakukan masyarakat sipil, mencerminkan peliknya penanganan kasus kekerasan seksual.
Korban yang memproses secara hukum maupun yang tidak melapor, keduanya harus mendapatkan layanan. Selain kepastian tahapan proses penanganan yang jelas, perlu dipastikan proses yang memudahkan korban untuk mendapatkan layanan psikologi yang memulihkan dan layanan hukum yang adil.
Korban dijamin secara hukum untuk mendapatkan restitusi untuk ganti rugi dan menyambung kehidupan ekonomi yang memadai serta mendapatkan kehidupan sosial dengan rasa aman, tanpa diskriminasi dan kriminalisasi, ujar Misiyah.
Diakomodasi dalam DIM
Harapan masyarakat sipil sejalan dengan pemerintah. Pada rapat kerja pertama dengan Baleg DPR, terkait RUU TPKS, Kamis pekan lalu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, pun menegaskan komitmennya terkait penanganan korban.
Bintang Darmawati memastikan DIM yang disusun pemerintah mengatur muatan substansi dari RUU TPKS, terutama memastikan pemenuhan hak korban, keluarga korban, dan saksi, termasuk restitusi bagi korban, diatur dalam RUU TPKS tersebut.
DIM yang disusun pemerintah menitikberatkan pada upaya memberikan kepentingan yang terbaik bagi korban, untuk mendapatkan pelindungan dan pemenuhan atas hak-haknya secara cepat, tepat, dan komprehensif sesuai dengan kebutuhannya. Salah satunya dengan menghadirkan mekanisme one stop services melalui layanan terpadu.
Baleg DPR, seperti yang disampaikan Wakil Ketua Baleg Abdul Wahid, saat membacakan penjelasan Baleg DPR atas RUU TPKS, menyatakan, DPR amat menaruh perhatian sehingga berinisatif menyusun RUU TPKS.
Bahkan, bagi DPR, RUU TPKS merupakan upaya pembaruan hukum yang diwujudkan secara komprehensif. Karena itu, selain pencegahan segala bentuk kekerasan seksual; hukum acara yang berpihak kepada korban; penanganan, pelindungan, dan pemulihan korban; RUU tersebut juga mengatur penindakan dan rehabilitasi pelaku; dan upaya mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.
Secara lisan maupun tertulis, baik DPR dan pemerintah maupun masyarakat sipil, sebenarnya semuanya punya keinginan dan harapan yang sama bahwa UU TPKS harus benar-benar bisa diterapkan. Artinya, negara bisa hadir melindungi korban tindak pidana kekerasan seksual sehingga mereka bisa mendapat keadilan dan pemulihan.
Maka, penting untuk mengawal proses pembahasan RUU TPKS yang berlangsung di DPR, agar substansi RUU TPKS benar-benar terakomodasi sehingga melahirkan UU TPKS yang implementatif.