
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah, Kamis (24/4/2022), memulai pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pada rapat perdana yang dipimpin Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati mewakili pemerintah menyampaikan pandangan Presiden atas rancangan undang-undang tersebut.
Selain Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), mewakili pemerintah dalam rapat perdana pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), hadir pula Edward OS Hiariej (Wakil Menteri Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia), Harry Hikmat (Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial), dan Yusharto Huntoyungo (Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri).
Pada rapat kerja kerja tersebut, Menteri PPPA menyampaikan sejumlah hal yang menjadi isu krusial dan catatan penting dari pemerintah terkait RUU TPKS. Ini dituangkan dalam daftar inventarisasi masalah (DIM)yang disusun pemerintah.
DPR menilai RUU TPKS merupakan upaya pembaruan hukum yang diwujudkan secara komprehensif.
”Pemerintah berpandangan, hal yang mendasari urgensi dari RUU tentang TPKS ini dilihat dari aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis, antara lain bahwa sampai dengan saat ini belum ada payung hukum yang bersifat lex specialis yang mengatur tentang sistem yang komprehensif terkait pencegahan dan penanganan TPKS,” tutur Bintang Darmawati.

Bintang pun menyatakan, dalam penyusunan DIM, materi muatan yang diatur tidak tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena telah dilakukan proses harmonisasi.
Baca Juga: Hentikan Segala Bentuk Kekerasan, Sahkan RUU TPKS
Sebelum pemerintah menyampaikan pandangannya, DPR yang diwakili Wakil Ketua Baleg Abdul Wahid membacakan penjelasan DPR atas RUU TPKS. ”Saat ini, RUU TPKS sangat dinantikan masyarakat sebagai wujud keberpihakan negara terhadap permasalahan kekerasan seksual yang semakin banyak terjadi dan untuk mengatasi kesulitan masyarakat memperoleh keadilan hukum dengan perundangan yang ada,” ujarnya.
Adapun kesulitan memperoleh keadilan atas tindak pidana kekerasan seksual ini terutama disebabkan karena peraturan perundang-undangan yang ada belum berbentuk undang-undang yang bersifat khusus (lex specialis). Selain itu, belum berpihak kepada korban kekerasan seksual yang sangat terdampak secara fisik ataupun psikis.
Karena itulah, DPR amat menaruh perhatian sehingga berinisatif menyusun RUU TPKS ini. Untuk mendapatkan berbagai masukan sekaligus menjalankan asas transparansi dalam pelaksanaan fungsi legislasi, Baleg DPR telah mengundang berbagai pakar dan akademisi, aktivis, organisasi masyarakat dan organisasi keagamaan, serta berbagai pemangku kepentingan terkait.

Pembaruan hukum
DPR menilai RUU TPKS merupakan upaya pembaruan hukum yang diwujudkan secara komprehensif. Itu meliputipencegahan segala bentuk kekerasan seksual; hukum acara yang berpihak kepada korban; penanganan, pelindungan, dan pemulihan korban; penindakan dan rehabitasi pelaku; dan upaya mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.
Berangkat dari pemikiran tersebut dan melalui tahapan pembentukan undang-undang, DPR dalam Rapat Paripurna pada 18 Januari 2022 menyetujui usulan balegdan menetapkan RUU TPKS sebagai RUU Usul Inisiatif DPR.
Baca Juga: Pembahasan RUU TPKS Mesti Berperspektif Korban
Adapun isi RUU TPKS terdiri dari 12 bab dan 73 pasal. Ke-12 bab tersebut terdiri dari Bab I Ketentuan Umum, Bab II Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Bab III Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Bab IV Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan; Bab V Hak Korban, Keluarga Korban, dan Saksi; dan Bab VI UPTD PPA. Selanjutnya, Bab VII Pencegahan, Koordinasi dan Pemantauan; Bab VIII Peran Serta Masyarakat dan Keluarga, Bab IX Pendanaan, Bab X Kerja Sama Internasional, Bab XI Ketentuan Peralihan, dan Bab XII Ketentuan Penutup.

Adapun materi muatan RUU TPKSmengatur sejumlah hal, mulai dari pengaturan untuk menindak dan merehabilitasi pelaku, tahapan proses hukum sampai penanganan, perlindungan, hingga pemulihan korban kekerasan seksual.
Pada rapat kerja tersebut, setelah mendengarkan pandangan pemerintah, Ketua Baleg Supratman memberikan kesempatan kepada anggota Baleg memberikan tanggapan. Namun, hanya dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menyampaikan pandangan terkait RUU TPKS. PKS tetap menyampaikan RUU TPKS tidak bisa dilepaskan dari tindak pidana kesusilaan. PKS bahkan tetap mengangkat soal uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Menanggapi pandangan Fraksi PKS, Supratman menegaskan, secara prinsip sebenarnya dalam beberapa materi yang disampaikan Fraksi PKS tidak berbeda jauh. Soal masukan yang diberikan dalam rapat tersebut secara mekanisme hal itu perlu ada kesepakatan dengan pemerintah karena terkait rumusan draf yang telah dikirim pemerintah. Jika ada usulan dari panitia kerja (panja) dan pemerintah setuju, baru akan diakomodir.
Selain dengan pemerintah, Kamis siang, DPR juga menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait RUU TPKS dengan mendengarkan pandangan dari organisasi masyarakat sipil, yakni LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), International NGO Forum on Indonesian Development (Infid), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).