Proses pembahasan RUU TPKS harus dipastikan berperspektif korban dengan membuka ruang bagi pendamping korban kekerasan seksual dan korban kekerasan seksual untuk memberikan masukan atau catatan.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen dukungan terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU TPKS, baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat maupun pemerintah, tidak boleh berhenti hanya di pernyataan sikap. Proses pembahasan RUU TPKS harus dipastikan berperspektif korban dengan membuka ruang bagi pendamping korban kekerasan seksual dan korban kekerasan seksual untuk memberikan masukan atau catatan.
RUU TPKS diharapkan, antara lain, mengakomodasi tindak pidana yang belum diatur dalam peraturan perundang-perundangan, membahas mekanisme pemulihan secara komprehensif, serta memperjelas peran-peran dari lembaga pemerintahan.
”Semangat besar untuk segera mengesahkan itu harus ada, tetapi jangan lupa masih ada PR-nya, masih ada catatan-catatannya,” kata Naila Rizqi dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks) di Jakarta, Kamis (13/1/2022).
Naila menuturkan, hal tersebut pada Forum Legislasi Publik yang digelar Para Syndicate dan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). Diskusi secara daring yang mengusung tema ”Ke Mana RUU TPKS: Urgensi Vs Resistensi” tersebut dipandu oleh Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo.
Pada kesempatan tersebut, Naila menuturkan Kompaks secara prinsip mendukung pengesahan RUU TPKS tetapi tetap ada beberapa catatan yang perlu dipertimbangkan oleh anggota DPR dalam proses pembahasan selanjutnya. Hal ini agar kemudian kepentingan korban betul-betul diakomodasi secara komprehensif, terutama soal pengakuan terhadap beberapa tindak pidana kekerasan seksual yang belum diatur dalam RUU TPKS sekarang.
”Misalnya, draf sebelumnya, di periode sebelumnya, tahun 2017 kalau tidak salah, pemerkosaan itu ada di dalam draf yang diajukan oleh teman-teman masyarakat sipil. Ada sembilan bentuk kekerasan seksual. Di dalam draf yang baru itu kemudian dipangkas menjadi lima jenis tindak pidana kekerasan seksual. Dalam draf Baleg (Badan Legislasi DPR) yang terakhir tanggal 8 Desember 2021, hanya ada lima jenis tindak pidana kekerasan seksual. (Hal) Yang kemudian dipangkas adalah pemerkosaan, misalnya,” kata Naila.
Menurut Naila, adalah fatal ketika pemerkosaan tidak diatur di dalam RUU TPKS. Pemerkosaan harus masuk dalam RUU TPKS karena merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual yang korbannya sulit untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan.
”Maka, pemerkosaan memang harus menjadi salah satu jenis tindak pidana yang masuk di dalam RUU TPKS, tidak boleh dipisah ke dalam RKUHP. (Hal ini) Karena ketika kemudian dipisah, maka hukum acaranya akan berbeda dengan RUU TPKS,” ujar Naila.
Jenis tindak pidana seperti penyiksaan seksual dan perbudakan seksual juga perlu dimasukkan karena tidak ada di dalam peraturan perundang-undangan yang saat ini ada. Selain itu, mesti ada kejelasan mengenai mekanisme pemulihan bagi korban kekerasan seksual. Sistem layanan yang terpadu juga mesti dibentuk melalui RUU TPKS ini.
RUU TPKS pun perlu memberi kejelasan mengenai aktor-aktor yang harus ada di dalam sistem layanan terpadu bagi korban kekerasan seksual serta jaminan perlindungan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual. ”Ketika kami membaca menyeluruh, masih ada beberapa poin-poin yang miss (hilang) di situ, belum ada penyebutan secara jelas siapa nih koordinator menteri yang akan menangani pengada layanan nantinya kalau misalnya RUU ini disahkan,” kata Naila.
Menurut Naila, perlu pula ada penguatan di berbagai aspek, terutama pemulihan. Pada aspek penegakan hukum, terutama di proses peradilan pidana, juga perlu penguatan di sisi perlindungan korban, perlakuan aparat penegak hukum, efektivitas pelaporan, dan sebagainya. ”Jadi, kami akan terus dukung RUU TPKS tetapi dengan catatan harus mendengarkan suara dan kepentingan korban,” ujarnya.
Kami akan terus dukung RUU TPKS tetapi dengan catatan harus mendengarkan suara dan kepentingan korban.
Pada diskusi tersebut, anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Kurniasih Mufidayati, menuturkan bahwa RUU TPKS sudah dibahas cukup panjang di Baleg dan selesai pada pengujung masa sidang di Desember 2021. Setiap fraksi di Baleg pun sudah memberikan pandangan.
”Dari sembilan fraksi, tujuh fraksi menerima, satu fraksi– yakni Fraksi PKS–menolak ketika memang belum ada hukum ataupun peraturan perundang-undangan lain yang mengatur kebebasan seksual dan penyimpangan seksual dan satu fraksi lagi, yaitu Golkar, yang meminta untuk dilakukan kajian lebih dalam lagi. Jadi, posisinya seperti itu,” kata Kurniasih.
Sudut pandang dari Fraksi PKS adalah Indonesia bukan hanya mengalami darurat kekerasan seksual, melainkan sudah darurat kejahatan seksual. Ada tiga permasalahan tindak pidana kesusilaan yang menjadi perhatian Fraksi PKS, yakni menyangkut kekerasan seksual, kebebasan seksual, dan penyimpangan seksual.
Fraksi PKS berpandangan karena RUU TPKS belum mencakup dan mengatur dua dari tiga permasalahan tindak pidana kesusilaan tadi, yakni kebebasan seksual dan penyimpangan seksual, maka menyebabkan ada kekosongan hukum untuk perilaku kebebasan seksual dan perilaku penyimpangan seksual.
”(Hal) Ini yang menyebabkan kami merasa berkeberatan. Dan, sebenarnya, di dalam kalimat kami itu kalimatnya begini: Fraksi PKS setelah melihat perkembangan pembahasan, menolak RUU TPKS jika tidak didahului dengan adanya payung hukum ataupun ketentuan hukum ataupun peraturan perundang-undangan yang mengatur terhadap perilaku kebebasan seksual dan perilaku penyimpangan seksual,” katanya.
Peneliti Formappi, Lucius Karus, mengatakan, kejadian kekerasan seksual yang bergulir hampir tiap waktu adalah bukti penegakan hukum yang lemah dan ketersediaan payung hukum yang tidak memadai. Terkait persoalan legislasi, batasan-batasan saat mengajukan RUU harus jelas. Ketika ingin mengajukan RUU terkait kekerasan seksual, misalnya, maka harus dibatasi pada persoalan tindakan kekerasan.
”(Hal ini) Karena kalau misalnya harus diakomodasi lagi persoalan kebebasan (seksual), itu dua hal yang kontradiktif. Bagaimana bisa sesuatu yang dilakukan dengan bebas lalu berhasil melahirkan kekerasan? Secara logika saja sudah berlawanan,” kata Lucius.
Hal terpenting adalah memastikan partisipasi publik dalam proses pembahasan. Partisipasi itu tidak cuma mendengar atau membaca (hal) yang dikomentari oleh publik, tetapi memastikan apa yang menjadi masukan publik itu dipertimbangkan atau diakomodasi masuk dalam RUU yang dibahas oleh DPR.
Menurut Lucius, adalah wajar ketika DPR diingatkan agar tidak abai dengan prosedur dan mekanisme proses pembentukan RUU di DPR. Hal terpenting adalah memastikan partisipasi publik dalam proses pembahasannya.
”Partisipasi itu tidak cuma mendengar atau membaca (hal) yang dikomentari oleh publik, tetapi memastikan apa yang menjadi masukan publik itu dipertimbangkan atau diakomodasi masuk dalam RUU yang dibahas oleh DPR,” katanya.