Dekonstruksi Pemahaman tentang Kesetaraan Jender Kian Krusial
Kekerasan berbasis jender pada perempuan pekerja di Indonesia meningkat signifikan. Merebaknya prasangka negatif dan penafsiran agama yang cenderung menyudutkan membuat mereka diperlakukan diskriminatif.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Kekerasan berbasis jender pada perempuan pekerja di Indonesia meningkat signifikan. Merebaknya prasangka negatif dan penafsiran agama yang cenderung menyudutkan perempuan pekerja membuat mereka mendapatkan perlakuan diskriminatif di lingkungan kerjanya. Dekonstruksi perspektif dari segala aspek kian krusial guna menangkal bias jender di lingkungan pekerjaan.
Hal ini mengemuka dalam diskusi virtual bertajuk ”Upaya Wacana Keagamaan dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan di Dunia Kerja” yang digelar Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) dan Program Investing In Women, Kamis (24/3/2022). Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfa Anshor memaparkan, jumlah kasus kekerasan berbasis jender pada perempuan di tahun 2021 berjumlah 338.496 kasus atau meningkat dibanding tahun sebelumnya sebesar 226.062 kasus.
Dari jumlah tersebut, kekerasan fisik menempati peringkat paling tinggi, yakni dengan komposisi 30 persen, disusul kekerasan psikis dan seksual dengan cakupan masing-masing sekitar 29 persen. Demikian halnya jumlah kekerasan dalam lingkungan kerja juga meningkat. Tahun 2022, kasus kekerasan berbasis jender mencapai 344 kasus atau meningkat dibanding tahun sebelumnya yang berjumlah 64 kasus.
Agama memang absolut, tetapi pemahaman keagamaan adalah relatif. Maka itu, aspek sejarah dan ilmu pengetahuan perlu menjadi pertimbangan dalam menafsirkan sebuah hukum agama.
Namun, Maria meyakini, jumlah kasus kekerasan di tempat kerja ini bagai fenomena gunung es yang hanya mengungkap bagian puncak, padahal masih banyak kasus serupa yang tidak dilaporkan. ”Biasanya mereka yang melapor adalah mereka yang sudah menemui jalan buntu untuk menyelesaikan masalahnya tersebut,” katanya.
Bentuk kekerasan yang dilaporkan beragam. Mulai dari kekerasan seksual, pelanggaran hak ketenagakerjaan, dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh pekerja perempuan, seperti pencabulan, pelecehan seksual, dan pemerkosaan, terjadi di berbagai tempat, seperti instansi pemerintahan, perbankan, atau perusahaan swasta.
”Biasanya yang menjadi pelaku adalah pelaku laki-laki yang memiliki jabatan yang lebih tinggi dari korban,” kata Maria.
Adapun pelanggaran hak ketenagakerjaan berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, tidak dipenuhinya hak dan kompensasi bagi mereka yang terkena PHK, perlakuan diskriminasi, ataupun pelanggaran hak maternitas. Sementara kekerasan TPPO, antara lain, berupa pengiriman tenaga kerja yang tidak sesuai prosedur dan adanya kegiatan yang menjurus ke eksploitasi seksual.
Fenomena ini terus menjamur karena suburnya stigma dan budaya patriarki yang akhirnya mengurung pekerja perempuan. Buah dari stigma itu juga terlihat dari perlakuan yang berbeda di lingkungan kerja di mana perempuan sulit untuk bisa mendapatkan promosi dalam kariernya. Sarana infrastruktur yang disediakan perusahaan tak jarang juga belum ramah terhadap pekerja perempuan.
Pemahaman agama
Di lingkungan masyarakat, pemahaman dari tokoh agama dan tokoh adat yang cenderung diskriminatif juga terlihat dari anggapan bahwa perempuan lebih pantas tinggal di rumah dibanding bekerja. Anggapan inilah yang menyebabkan pekerja perempuan kian dipersalahkan ketika mereka mengalami pelecehan atau kekerasan yang di tempat kerjanya.
Direktur Eksekutif Rumah KitaB Lies Marcoes menilai, bias jender bisa menjadi akar munculnya prasangka negatif pada pekerja perempuan. Pandangan inilah yang akhirnya menimbulkan kebencian dan diskriminasi.
”Mereka (pekerja perempuan) tergusur dari ruang publik dan kehilangan hak-haknya untuk mendapatkan pekerjaan,” kata Lies.
Kondisi ini diperparah dengan cara pandang para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat yang menilai pekerja perempuan telah melanggar kaidah dan norma yang berlaku di masyarakat. ”Ketika anggapan ini kian merebak, langkah yang paling krusial adalah melakukan dekonstruksi (pembahasan ulang) tentang pemahaman agama sehingga memberi ruang bagi perempuan pekerja untuk mendapatkan kesetaraan di lingkungan kerjanya,” ujar Lies.
Berdasarkan hasil analisis situasional yang ia teliti, Lies menyimpulkan, ada sejumlah hambatan yang biasanya dialami perempuan dalam mengaktualisasikan diri di ruang publik terutama di tempat mereka bekerja. Hambatan itu, seperti pola pembagian kerja yang masih tradisional di mana laki-laki boleh bekerja di ruang publik, sedangkan perempuan hanya boleh bekerja di lingkup domestik.
Kondisi ini diperparah dengan kian langkanya pemimpin perusahaan yang memahami pengalaman khas perempuan baik dari sisi peran reproduksi dan peran gendernya. Belum lagi kurang memadainya infrastruktur bagi perempuan yang bekerja yang bisa saja memicu terjadinya pelecehan atau kekerasan seksual di tempat kerja. Hambatan yang paling berat adalah tidak ada narasi yang mendukung perempuan untuk bekerja mengaktualisasikan diri.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, M Amin Abdullah berpandangan, masih langgengnya bias jender di kalangan pemuka agama disebabkan banyak dari mereka yang masih berpegang pada tradisi lama tanpa memandang perkembangan zaman. Padahal, tradisi lama itu tidak lagi relevan dengan kehidupan modern saat ini.
Di zaman ini, perempuan juga mendapatkan pendidikan yang sama sehingga memiliki kompetensi dan kemampuan yang perlu dipertimbangkan. Apalagi, aturan terkait perlindungan terhadap hak anak dan perempuan kini semakin diprioritaskan.
Menurutnya, agama memang absolut, tetapi pemahaman keagamaan adalah relatif. Maka itu, aspek sejarah dan ilmu pengetahuan perlu menjadi pertimbangan dalam menafsirkan sebuah hukum agama.
Karena itu, dia berharap agar pemuka agar lebih berani untuk mengkaji norma, hukum, pesan di dalam ayat kitab suci agar lebih relevan dengan situasi saat ini. Tujuannya ialah agar nilai agama itu tidak dianggap kuno atau bahkan kedaluwarsa.
Deputi Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) Indra Gunawan menyebut, bias jender masih terjadi di segala aspek kehidupan. Hal itu bisa dihilangkan dengan terus mengampanyekan kesetaraan jender dalam hidup bermasyarakat.
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada tahun 2017 mencatat kekerasan dan pelecehan di dunia kerja berdampak sangat buruk bagi berbagai pihak, seperti penurunan motivasi dan produktivitas kerja bagi karyawan yang menjadi korban maupun yang menyaksikan tindak kekerasan dan pelecehan. Perbuatan itu juga bisa memperburuk citra perusahaan di tengah masyarakat.
Apalagi, Undang-Undang Dasar 1945 juga mengamanatkan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja dan mendapatkan imbalan, dan perlakuan yang adil. Indonesia juga telah meratifikasiThe Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) di mana Indonesia berkewajiban untuk memberikan jaminan hukum kepastian semua warga untuk mendapatkan hak yang sama.
”Karena itu, penting untuk semua pihak membangun kembali nilai-nilai, penafsiran, pandangan-pandangan terhadap perempuan pekerja agar bias jender bisa dipatahkan,” ucapnya.