Perempuan kerap disalahkan dalam kasus kekerasan berbasis jender. Hal ini tidak lepas dari relasi kuasa yang timpang dan stereotip yang tidak memandang utuh perempuan sebagai manusia.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
Kasus kekerasan berbasis jender terhadap perempuan masih saja tinggi. Bahkan, bukannya menurun, memasuki tahun ketiga pandemi Covid-19 jumlahnya semakin meningkat dibandingkan dengan setahun lalu.
Pada Senin (7/3/2022), Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2022 dan Data Kekerasan Perempuan 2021. Tercatat, pada 2021 ada 338.496 kasus kekerasan berbasis jender terhadap perempuan. Jumlah ini meningkat 50 persen dibandingkan dengan 2020 yang sebanyak 226.062.
Peningkatan laporan kasus disumbang oleh laporan pada Badan Peradilan Agama (52 persen) dan laporan langsung pada Komnas Perempuan (80 persen). Andaikan pandemi Covid-19 tidak mengganggu operasional banyak lembaga layanan, bukan tidak mungkin kasus yang dilaporkan lebih dari yang tercatat saat ini.
Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa situasi pandemi Covid-19 dan kondisi sulit multidimensi yang disebabkannya semakin memperparah situasi kekerasan terhadap perempuan. Misalnya, rumah tidak selalu menjadi tempat yang aman. Rumah sering menjadi tempat terjadinya kekerasan fisik, psikologis, dan seksual bagi orang dewasa ataupun anak-anak. Kebijakan bekerja atau tinggal di rumah selama pandemi meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan.
Di luar kesadaran publik yang sudah terbentuk dan kemudahan melaporkan kasus, relasi kuasa yang timpang berkelindan dengan cara pandang terhadap perempuan yang keliru turut berkontribusi dalam banyak kasus kekerasan terhadap perempuan.
”Ada dua kata kunci utama dalam kekerasan terhadap perempuan, yaitu fitnah dan aurat,” kata Faqihuddin Abdul Qodir, penulis buku Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah, saat webinar Kekerasan Berbasis Gender dalam Perspektif Agama dan Budaya yang digelar Rutgers WPF Indonesia, beberapa waktu lalu.
Faqihuddin memaparkan, dalam kajian keagamaan, perempuan sering disebut sebagai fitnah yang berpotensi mengganggu, menggoda, memesona, hingga menyebabkan melenceng dari norma agama. Begitu pula dengan aurat yang digambarkan dengan kondisi tubuh perempuan yang bisa menjadi fitnah. Ini selalu menjadi alasan perempuan bisa menjadi korban kekerasan jika terbuka.
Oleh karena itu, perempuan harus sabar berjihad di rumah untuk peradaban Islam dengan imbalan surga.
Secara literal, sebuah hadis dari Usamah bin Zaid ra dari Nabi Muhammad SAW menyebutkan, ”Tidak aku tinggalkan setelahku suatu fitnah (ujian) yang paling berat bagi laki-laki kecuali (ujian mengenai pesona) perempuan”. Sepintas, teks ini menunjuk perempuan sebagai sumber masalah, sedangkan laki-laki menjadi korban.
”Bila hanya menganggap perempuan sebagai fitnah, maka itu tafsir diskriminatif,” ujar Faqihuddin. Karena faktanya, yang memesona tidak hanya perempuan, laki-laki dan harta benda lainnya juga bisa memesona. Bahkan, laki-laki bisa lebih terpesona dengan godaan kekuasaan, harta, dan lainnya.
Pandangan tersebut memunculkan stereotip yang memandang perempuan tidak utuh sebagai manusia yang mempunyai akal, budi, keahlian, dan kemampuan. Pandangan itu melihat perempuan dalam kaitannya dengan laki-laki.
Cara pandang seperti itu kerap menempatkan perempuan sebagai pihak yang bersalah atau pemicu dalam kasus kekerasan. ”Menjadi perempuan salah terus. Salah sendiri kamu cantik, boleh digoda. Sementara kalau perempuan jelek juga salah, jadi korban perundungan,” kata dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon itu.
Nur Rofiah, dosen Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran, Jakarta, mengatakan, cara pandang perempuan sebagai sumber fitnah merupakan akar dari ketidakadilan. ”Sehingga, semua masalah itu dari perempuan. Sampai jadi korban pemerkosaan pun, yang disalahkan perempuannya,” katanya.
Padahal, katanya, laki-laki dan perempuan merupakan manusia yang wajib mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kemungkaran. ”Perempuan dan laki-laki bisa jadi sumber fitnah. Tapi, yang penting bagaimana keduanya bisa jadi anugerah sehingga keduanya harus bekerja sama,” paparnya (Kompas.id, 23/11/2021).
Di semua peradaban, ujar Faqihuddin, perempuan secara umum selalu direndahkan/didiskriminasi. Ada unsur egoisme dalam manusia, termasuk pada laki-laki atau perempuan.
Perempuan kerap diidentikkan sebagai ”barang” milik laki-laki, tapi tidak sebaliknya. Padahal, perempuan bukan bagian dari laki-laki, melainkan bagian dari semesta.
Oleh karena itu, agama hadir untuk meningkatkan derajat kemanusiaan. Nilai-nilai agama hadir untuk menyepuh cara pandang terhadap perempuan. Bukan jenis kelamin laki-laki atau perempuan yang membuat kita hebat, melainkan perilaku kita sehari-hari.
Orang yang mulia adalah orang yang memuliakan perempuan. Orang yang hina adalah orang yang menghinakan perempuan.
Menjadi perempuan salah terus. Salah sendiri kamu cantik, boleh digoda. Sementara kalau perempuan jelek juga salah, jadi korban perundungan.
Faqihuddin kemudian menyodorkan konsep mubadalah yang menekankan pada prinsip kesalingan, kesetaraan, dan kerja sama antara laki-laki dan perempuan baik di ranah sosial maupun personal. Tidak ada yang paling kuat dan tidak ada yang paling lemah, tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah.
Melalui tafsir mubadalah, Faqihuddin mengajak memahami hadis dengan hadis atau ayat lain sehingga konteks hadirnya hadis itu bisa dipahami.
Lusty Malau, aktivis perempuan dari Sumatera Utara, mengatakan, perlu refleksi pada sejarah dan budaya masyarakat Indonesia dalam merespons tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan. Dalam adat budaya Batak, misalnya, dikenal istilah Dalihan Na Tolu di mana laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang sama dalam adat.
Sebenarnya, kata Lusty, dalam banyak budaya di Nusantara laki-laki dan perempuan harus bekerja sama mengambil peran aktif dalam masyarakat. Tidak ada pembatasan peran berdasarkan jenis kelamin.
Dilema justru terjadi ketika korban kekerasan ingin menyuarakan nasibnya atau kasus yang menimpanya di media. Sering kali media justru menggunakan kata-kata yang justru mendiskreditkan korban. ”Media belum banyak yang berperspektif korban,” katanya.
Sedangkan Arimbi dari Youth Interfaith Forum on Sexuality (YIFoS) Indonesia menuturkan, perempuan memiliki peran besar dalam kemajuan, terutama di bidang seni budaya di Indonesia. ”Ketika bicara bagaimana seni memandang keberagaman identitas, Indonesia gudangnya queer dan nonbiner,” ujarnya.