Hampir sepekan berjalan, PPKM darurat di Jawa dan Bali belum optimal menurunkan mobilitas masyarakat. Pelanggaran aturan PPKM masih terus terjadi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·6 menit baca
Hampir sepekan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat Covid-19 di Jawa dan Bali, penurunan mobilitas masyarakat masih belum sesuai ekspektasi. Pelanggaran aturan pun masih terus terjadi. Dengan jumlah kasus positif Covid-19 yang terus bertambah bahkan tak sedikit yang meninggal karena keterbatasan layanan kesehatan, kesadaran seluruh pihak menjadi penting selain mengoptimalkan penanganan pandemi oleh negara.
Mulai 3 Juli lalu, PPKM darurat Covid-19 berlaku di Jawa dan Bali. Jenis-jenis kegiatan masyarakat yang diperketat dituangkan dalam Instruksi Mendagri Nomor 15 Tahun 2021 tentang PPKM Darurat Covid-19. Dari mulai tidak boleh makan di restoran atau pedagang kaki lima hingga jenis-jenis usaha yang mewajibkan karyawannya untuk bekerja dari rumah.
Tak hanya itu, sejumlah ancaman sanksi turut disertakan untuk memastikan setiap aturan PPKM berjalan. Baik bagi perorangan atau pelaku usaha yang melanggar aturan PPKM darurat. Begitu pula kepala daerah tak luput dari ancaman sanksi jika tidak menegakkan aturan PPKM darurat di daerahnya.
Namun apa kenyataannya? Hampir sepekan PPKM berjalan, aturan yang dibuat dan keberadaan sanksi, belum bisa optimal dalam menurunkan mobilitas masyarakat. Pelanggaran atas aturan pun masih kerap terlihat sekalipun berulang kali aparat menindak pelanggaran yang terjadi.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam acara Satu Meja The Forum bertajuk “Siasat di Tengah PPKM Darurat” yang disiarkan langsung di Kompas TV, Rabu (7/7/2021), mencontohkan, perusahaan di luar kategori perusahaan yang bergerak di sektor esensial dan kritikal, yang masih mewajibkan karyawannya untuk bekerja di kantor.
“Masih banyak perusahaan-perusahaan yang tetap mengharuskan karyawannya untuk bekerja, walaupun perusahaan itu tidak termasuk di dalam kategori yang disusun oleh pemerintah sebagai sektor kritikal dan esensial,” ujarnya.
Diskusi melalui telekonferensi itu dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo. Selain Anies, hadir juga sebagai pembicara Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr Siti Nadia Tarmizi, dan epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Miko.
Anies pun mengajak semua pihak, tak terkecuali manajemen dan pemilik perusahaan, untuk mengambil sikap tanggungjawab. Ia menegaskan, PPKM Darurat ini tidak hanya sekadar aturan, tetapi tanggungjawab kemanusiaan. Kesadaran ini harus dibangun bersama-sama. Aturan PPKM darurat dibuat agar semua orang berada di rumah. Apalagi dengan kasus aktif Covid-19 di Jakarta yang sudah mencapai 100.000 orang. Bahkan dalam tujuh hari terakhir, ada setidaknya 13 tenaga kesehatan di Jakarta yang meninggal karena terpapar Covid-19 padahal mereka sudah divaksin.
“Kita berhadapan dengan varian berbeda. Daya tularnya lebih tinggi dan punya efek fatalitas yang lebih tinggi. Mari kita di rumah. Ini ada aturan dibuat, tetapi aturan ini bisa dicari peluangnya. Penyekatan bisa dicari jalannya. Kita sadari, jangan ambil risiko itu. Lindungi diri sendiri. Lindungi keluarga,” tutur Anies.
Tidak hanya di wilayah DKI Jakarta, Ridwan Kamil mengungkapkan, masih banyak pelanggaran aturan PPKM di Jawa Barat. Pelaku pelanggaran multidimensi, mulai dari skala individu hingga korporasi.
Sama seperti di DKI Jakarta, masih banyak orang yang tetap bekerja di kantor karena diperintah demikian oleh pimpinannya. Di luar itu, masih banyak pula perorangan yang bebas beraktivitas di luar rumah, melanggar apa yang telah diatur di PPKM darurat.
Akibatnya, penurunan mobilitas masyarakat sebagaimana tujuan dari pemberlakuan PPKM darurat, belum memuaskan. Ia menyebutkan, penurunan mobilitas masyarakat di Jawa Barat selama penerapan PPKM Darurat hanya 20 persen. Padahal, minimal 30 persen atau idealnya 50 persen, mobilitas dari penduduk Jawa Barat yang mencapai 50 juta orang, bisa ditekan.
Pemerintah daerah bersama aparat penegak hukum, menurut Kamil, tak kurang-kurang menegakkan aturan guna menekan mobilitas masyarakat itu. Ia mencontohkan, ada setidaknya 500 industri yang ditutup karena melanggar protokol kesehatan dan mayoritas ada di Jawa Barat. Namun apa daya, upaya penindakan belum tampak membuahkan hasil.
Menurut Ridwan, hal terpenting yang perlu dilakukan di awal pemberlakuan PPKM darurat ini adalah pengedukasian. Sebab, masyarakat juga sudah lelah dan bosan dengan situasi pandemi.
Jika di Jawa Barat mobilitas masyarakat hanya berkurang sekitar 20 persen, Ganjar Pranowo mengatakan mobilitas masyarakat Jawa Tengah hanya turun sekitar 16 persen sejak PPKM darurat diberlakukan. Padahal targetnya, mobilitas tersebut bisa berkurang 30 persen.
Ironisnya, banyak orang yang tetap bebas beraktivitas di luar beralasan tidak tahu aturan PPKM darurat ketika ditegur oleh aparat. Karena itu, sama seperti Ridwan, Ganjar berpandangan, segenap pihak, terutama pemerintah di seluruh tingkatan, dari mulai lurah sampai pimpinan daerah, harus terus mensosialisasikan aturan PPKM tersebut, kepada masyarakat.
Tak hanya itu, menurutnya, pembatasan mobilitas masyarakat harus dilakukan sejak dari lingkungan terkecil, yaitu di tingkat RT (rukun tetangga). Camat kemudian melakukan supervisi untuk memastikan setiap RT membatasi mobilitas masyarakat dan menegakkan aturan PPKM darurat. Jika itu diterapkan, masyarakat diyakininya bisa ikut mengontrol dan berkontribusi. Alhasil, harapan agar mobilitas masyarakat bisa berkurang signifikan selama PPKM darurat bisa tercapai.
Selain itu, yang tak kalah penting, harus ada ketegasan untuk menindak setiap pelanggaran. Pasalnya, ada pula masyarakat yang telah mengetahui aturan PPKM darurat tetapi memilih untuk melanggar dengan beragam alasan. Penegakan kedisiplinan ini pun sudah berulang kali ditunjukkan oleh jajaran pemerintah daerah di Jawa Tengah bersama aparat penegak hukum. Bahkan, beberapa pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah telah menerbitkan peraturan daerah dengan ancaman denda bagi pelanggar PPKM darurat, untuk memastikan PPKM darurat betul-betul berjalan.
Tri Yunis Miko mengingatkan, masalah Covid-19 di Indonesia sudah mencapai taraf krisis, baik prevalensi Covid-19 di masyarakat maupun varian baru Covid-19 yang menambah situasi semakin buruk. Upaya penanggulangan Covid-19 menjadi tertatih-tatih. Salah satunya terlihat dari banyak orang yang terpapar Covid-19 tak bisa memeroleh pelayanan kesehatan hingga mereka meninggal dunia.
Ia mengaku telah meminta agar pengetatan mobilitas masyarakat diberlakukan sejak sebulan yang lalu. Sinyal gelombang lonjakan kedua Covid-19 di Tanah Air setidaknya telah terlihat dari masih tingginya mobilitas warga menjelang hingga pasca-Lebaran, ditambah lagi ditemukannya varian baru di yang lebih ganas di sejumlah daerah di Indonesia. Namun sayangnya imbauan agar pengetatan itu diabaikan oleh pemerintah.
Kini setelah kondisi memburuk, Tri menekankan pentingnya negara lebih mengoptimalkan upaya-upaya penanggulangan Covid-19. Kepatuhan masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan juga penting untuk terus diingatkan.
“Seharusnya PPKM darurat dibuat peraturan melalui peraturan daerah maupun peraturan pemerintah. Jadi, harus dibuat dengan denda cukup tinggi,” ujar Yunis.
Siti Nadia Tarmizi mengatakan, segala daya kini dikerahkan untuk menanggulangi pandemi. Ambil contoh pengetesan Covid-19. Kementerian Kesehatan menargetkan dilakukan 324.000 pengetesan selama masa PPKM Darurat untuk seluruh kabupaten/kota dari saat ini baru dilakukan 124.000 pengetesan.
Dengan semakin tinggi pengetesan ini, maka upaya pencegahan penularan diharapkan lebih baik selain dapat mengintervensi mereka yang memang terpapar Covid-19 agar lekas memeroleh pengobatan.
Ia mengungkapkan, apabila kasus Covid-19 ditemukan tanpa gejala atau gejala ringan bisa dilakukan isolasi mandiri. Selain itu, bisa dilakukan isolasi secara terpusat. Puskesmas bekerja sama dengan satuan tugas, kecamatan, dan kelurahan membantu mendistribusikan obat serta pengawasan bagi pasien, terutama yang isolasi mandiri. Kemudian jika kondisi pandemi semakin parah, maka rumah sakit didorong untuk lebih konsentrasi menangani Covid-19.
“Tidak ada lagi alasan rumah sakit yang belum tangani Covid-19,” tutur Nadia.