Minta RS Khusus Pejabat, Elite Politik Abaikan Empati Publik
Alih-alih menunjukkan empati, di tengah kasus Covid-19 yang terus meningkat, sebagian elite politik tunjukkan sikap sebaliknya. Dengan alami dampak pandemi, seharusnya elit yang miliki kekuasaan bisa buat kebijakan riil.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah penerapan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat untuk menekan laju penularan Covid-19 yang terus meningkat, sejumlah elite politik justru menunjukkan perilaku yang tidak berempati kepada publik. Perilaku elite yang kontradiktif dengan upaya penanganan Covid-19 harus dihindari agar semua elemen masyarakat bisa bersama-sama melawati pandemi.
Dalam sepekan terakhir, setidaknya dua politikus dari Partai Amanat Nasional menjadi sorotan publik karena ucapan dan tindakannya dinilai bertentangan dengan upaya penanganan pandemi Covid-19. Wakil Sekretaris Jenderal PAN, Rosaline Irine Rumaweuw, meminta pemerintah untuk membuat rumah sakit khusus bagi pejabat. Menurut dia, pemerintah lupa bahwa harus menyediakan fasilitas kesehatan untuk pejabat negara.
Dalam sepekan terakhir, setidaknya dua politikus dari Partai Amanat Nasional menjadi sorotan publik karena ucapan dan tindakannya dinilai bertentangan dengan upaya penanganan pandemi Covid-19. Wakil Sekretaris Jenderal PAN, Rosaline Irine Rumaweuw, meminta pemerintah untuk membuat rumah sakit khusus bagi pejabat.
”Kementerian Kesehatan harus sudah mulai waspada karena pejabat negara ini harus diistimewakan, dia ditempatkan untuk memikirkan negara dan rakyatnya. Bagaimana sampai dia datang ke emergency terus terlunta-lunta,” kata Rosaline dalam sebuah webinar dikutip dari Kompas.com, Rabu (7/7/2021).
Sepekan sebelumnya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari fraksi PAN, Guspardi Gaus, menolak menjalani karantina seusai dari perjalanan dinas ke Kirgistan. Bahkan, dalam Rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, Kamis (1/7/2021) yang diikuti secara fisik, sejumlah anggota DPR lainnya khawatir dengan potensi penularan Covid-19 dari kehadiran Guspardi. Ia pun telah ditegur oleh fraksi PAN dan dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan karena pelanggaran protokol kesehatan perjalanan internasional.
Wasekjen PAN, Irvan Herman menegaskan, pernyataan yang disampaikan Rosaline adalah pernyataan pribadi dan bukan sikap partai. Sebab, PAN tidak pernah membahas, apalagi mengusulkan ada rumah sakit khusus untuk pejabat.
”Itu usulan perasaan bu dokter Rosaline karena merasa sedih saudaranya, John Mirin, anggota fraksi PAN DPR karena penanganan yang terlambat di rumah sakit, akhirnya menghembuskan napas terakhir, wafat,” ujarnya di Jakarta, Kamis (8/7/2021).
Sebelumnya, John Siffy Mirin meninggal di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Sabtu (3/7/2021) lalu, setelah sekitar satu minggu terpapar Covid-19. John yang awalnya dirawat di RS Medistra Jakarta kondisi kesehatannya memburuk sehingga harus dibantu dengan ventilator karena saturasi oksigennya menurun.
Namun, anggota DPR dari daerah pemilihan Papua itu tetap harus menunggu di ruang Instalasi Gawat Darurat sembari menunggu kamar di unit perawatan intensif atau ICU ada yang kosong. Saat itu, kamar ICU digunakan oleh pasien Covid-19 yang hamil karena secara medis perlu lebih diprioritaskan. John akhirnya dirujuk ke RSPAD, tetapi nyawanya tak tertolong.
Kasus sulitnya elite politik dan pejabat publik yang kesulitan mendapatkan fasilitas kesehatan yang memadai tak hanya dialami John. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DI Yogyakarta dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Wahyu Pradana Ade Putra, yang terpapar Covid-19 pun meninggal setelah kesulitan mendapatkan ruang ICU berventilator.
Bahkan, Bupati Bekasi yang terpapar Covid-19 tidak mendapatkan ruang ICU di rumah sakit yang berada di wilayahnya. Ia mesti mencari rumah sakit hingga ke RS Siloam Kelapa Dua, Tangerang, agar mendapatkan fasilitas kesehatan yang dibutuhkan.
Sikap PAN dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini sudah jelas dan terang, yaitu meminta seluruh kadernya di eksekutif dan legislatif untuk turun langsung membantu rakyat yang kesusahan. PAN mendukung kebijakan PPKM darurat.
Menurut Irvan, sikap PAN dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini sudah jelas dan terang, yaitu meminta seluruh kadernya di eksekutif dan legislatif untuk turun langsung membantu rakyat yang kesusahan. PAN mendukung kebijakan PPKM darurat dan membantu pemerintah dengan menyelenggarakan program vaksinasi.
”Usulan PAN adalah bagaimana caranya rakyat dapat fasilitas rumah sakit kelas pejabat. Jangan membeda-bedakan fasilitas kesehatan untuk mereka yang tidak mampu, apalagi dalam situasi pandemi Covid-19 ini,” tuturnya.
Wakil Ketua Umum PAN, Viva Yoga Mauladi, mengatakan, PAN meminta maaf kepada publik atas pernyataan Rosaline. PAN telah memberikan teguran kepada Rosaline karena dianggap tidak tepat dan terkesan emosional.
Wakil Ketua Fraksi Nasdem Willy Aditya menilai, usulan dari Rosaline terlalu berlebihan dan bisa menyakiti perasaan publik karena membangun jurang pemisah antara elite politik dan rakyat. Sebagai politikus, dukungan terhadap penanganan pandemi bisa dilakukan, antara lain, dengan melakukan promosi pembatasan mobilitas, menegakkan protokol kesehatan, dan mendorong tempat-tempat isolasi mandiri berbasis RT/RW.
Gotong royong yang dilakukan masyarakat sepatutnya juga diikuti dan difasilitasi oleh elite politik agar berjalan maksimal. ”Tentu sebagai anggota DPR juga perlu mendorong lahirnya kebijakan negara yang dapat menjadi payung hukum tindakan cepat tanggap dalam masa kedaruratan bagi aparatur pemerintah,” ujarnya.
Anggota Komisi II DPR dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, mengatakan, penularan Covid-19 tidak melihat latar belakang. Tak hanya pejabat publik, masyarakat pun banyak yang terpapar.
Oleh sebab itu, ia menolak usulan untuk membuat rumah sakit khusus bagi pejabat. Semua rumah sakit di Indonesia justru harus memperlakukan semua pasiennya sama, tak peduli dari latar belakang pejabat ataupun masyarakat biasa. Bahkan, pejabat semestinya berkorban untuk rakyat.
”Pemerintah perlu meningkatkan fasilitas kesehatan untuk semua lapisan masyarakat dan memperlakukannya secara adil. Bahkan bisa meniru Thailand yang memperlakukan semuanya sederajat, berkualitas, dan terjangkau untuk masyarakat,” tutur Mardani.
Semua rumah sakit di Indonesia justru harus memperlakukan semua pasiennya sama, tak peduli dari latar belakang pejabat ataupun masyarakat biasa.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes, mengatakan, perilaku elite tersebut menunjukkan mereka tak memiliki empati kepada publik. Dalam kondisi saat ini, elite politik seharusnya sadar bahwa setiap orang berhak mendapatkan kesetaraan dalam mengakses fasilitas kesehatan.
”Sangat tidak elok jika elite justru meminta perlakuan khusus karena kondisi yang mereka alami saat ini juga dirasakan oleh masyarakat awam,” katanya.
Elite politik, lanjut ia, semestinya menunjukkan tanggung jawab sosial untuk ikut menekan laju pandemi. Apalagi kondisi di Indonesia saat ini menunjukkan laju peningkatan kasus yang cukup signifikan. Elite harus bisa memberikan contoh yang baik, bukan justru menunjukkan sikap dan perilaku yang kontraproduktif dalam penanganan pandemi.
”Dengan ikut mengalami dampak pandemi, seharusnya elite yang memiliki kekuasaan bisa membuat kebijakan riil, bukan hanya mendorong atau justru mengeluarkan ucapan yang membuat publik kesal,” kata Arya.