Kiprah tim pemburu koruptor yang dibentuk di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak segarang namanya. Jumlah buronan yang ditangkap dan aset yang disita jauh dari ekspektasi. Kini, tim itu ingin dihidupkan kembali.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·2 menit baca
Berawal dari lepasnya sejumlah koruptor ketika akan dieksekusi oleh kejaksaan, Wakil Presiden Jusuf Kalla memutuskan untuk membentuk tim gabungan pada akhir 2004. Tujuannya adalah memburu para koruptor tersebut.
Tim berasal dari Kejaksaan Agung, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Tim gabungan dibentuk dengan mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang diterbitkan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono ini, diserahi pula tugas melacak aset para koruptor.
Pada awal terbentuk, tim dipimpin Jaksa Agung Muda Intelijen Basrief Arief. Arief pensiun pada 2007. Tim kemudian dipimpin Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin. Perubahan ini berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Namun dalam perjalanannya, kerja tim yang dibentuk sejak 2004 tersebut tidak segarang namanya. Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), dari 16 buronan yang jadi buruan tim, hanya empat yang ditangkap selama delapan tahun tim bekerja. Salah satu kendala, buronan berada di negara yang tak memiliki perjanjian ekstradisi dengan RI.
Terkait aset para koruptor, berdasarkan pemberitaan Kompas antara 2004 dan 2009, tim berhasil menyita sejumlah aset mereka, seperti aset tanah 50.148,8 meter persegi milik Eddy Tansil di Jakarta Barat dan 5.770.452 meter persegi milik Hendra Rahardja di Bogor.
Meski demikian, tim kesulitan ”memulangkan” aset koruptor yang ada di luar negeri dengan jumlah fantastis. Aset rekening Hendra di Hong Kong, sebagai gambaran, mencapai 9,3 juta dollar AS.
Bubarkan tim
Melihat kerja tim gabungan yang tidak menonjol itu, muncul desakan dari Komisi III DPR dan kelompok masyarakat sipil agar tim dibubarkan pada pertengahan 2009.
Anggota Komisi III DPR, Gayus Lumbuun, mengatakan, tim tak perlu ada karena selain kerja tim yang tidak jelas, juga tumpang tindih dengan bidang lain (Kompas, 12/8/2009). Tak hanya itu, biaya yang dikeluarkan dengan kerja tim dalam mengembalikan aset negara dinilainya tidak seimbang.
Selepas itu, tim gabungan pemburu koruptor seakan-akan hilang ditelan bumi. Tak terlihat lagi kerjanya.
Baru pada Rabu (8/7/2020), keberadaan tim itu disebut lagi oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Ini setelah Joko Tjandra, terpidana kasus Bank Bali yang jadi buron sejak 2009, diketahui bebas keluar-masuk Indonesia beberapa bulan lalu.
”Kita itu punya tim pemburu koruptor, ini mau kita aktifkan lagi,” tutur Mahfud. Komposisi tim gabungan pun direncanakan sama dengan koordinasi di bawah Kemenko Polhukam.