Setelah absen sekitar dua tahun, seri pertunjukan “Indonesia Kita” kembali digelar. Menyajikan cerita konspirasi yang berlapis-lapis, pentas bertajuk “Tabib Suci” itu diharapkan bisa mengobati rindu para pecinta seni.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
Setelah absen selama sekitar dua tahun, seri pertunjukan “Indonesia Kita” kembali digelar. Menyajikan cerita konspirasi yang berlapis-lapis, pentas bertajuk “Tabib Suci” itu diharapkan bisa mengobati kerinduan para pecinta seni untuk melakukan ibadah kebudayaan di gedung pertunjukan.
Empat orang lelaki itu berjongkok dengan telapak kaki berjinjit di hadapan sebuah kursi warna putih. Dengan kepala menunduk dan dua telapak tangan ditangkupkan di depan wajah, mereka memberi penghormatan pada kursi tersebut. Tak lama kemudian, salah seorang dari mereka membaca doa sambil menempelkan tangannya di kursi.
Dari gestur penghormatan dan doa yang dirapalkan, kursi tersebut tampaknya dianggap sebagai benda keramat. Apalagi, pada kesempatan sebelumnya, kursi itu diarak ke mana-mana sambil dipayungi. Namun, saat diperhatikan lebih jauh, kursi putih itu ternyata sebuah kloset duduk. Kenapa kloset tempat buang air itu bisa dianggap sebagai barang keramat? Lalu, apakah empat orang itu sedang dibohongi atau justru tengah membohongi orang lain?
Peristiwa “kloset keramat” itu tentu saja bukan terjadi di dunia nyata, tetapi muncul dalam pentas bertajuk “Tabib Suci” yang digelar di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, Kota Yogyakarta, Minggu (20/2/2022) lalu. Pentas tersebut merupakan bagian dari seri pertunjukan “Indonesia Kita” yang digagas oleh seniman Butet Kartaredjasa, Agus Noor, dan almarhum Djaduk Ferianto.
Pentas “Tabib Suci” merupakan pertunjukan pertama “Indonesia Kita” yang digelar setelah Djaduk Ferianto meninggal dunia pada 13 November 2019. Pentas tersebut juga menandai kembalinya seri pertunjukan “Indonesia Kita” setelah absen selama sekitar dua tahun karena pandemi Covid-19. Secara khusus, pentas itu juga menandai kembalinya Butet ke panggung pertunjukan setelah sempat sakit selama beberapa bulan pada tahun lalu.
“Senang sekali bisa ketemu semuanya setelah dua tahun lebih tiarap gara-gara pandemi. Dua tahun tiarap itu benar-benar nyesek,” kata Butet di hadapan penonton sebelum pentas.
Karena digelar di tengah pandemi Covid-19 yang belum selesai, penyelenggaraan pentas itu tentu harus diikuti dengan protokol kesehatan. Semua penonton yang hadir wajib mengenakan masker dan jumlah penonton pun dibatasi 50 persen dari kapasitas gedung. Di dalam ruang pertunjukan, kursi penonton juga diberi jarak.
Meski harus menerapkan protokol kesehatan, pentas “Tabib Suci” tetap berlangsung gayeng dan penuh ger-geran seperti banyak pertunjukan “Indonesia Kita” sebelumnya. Apalagi, sebagian besar pemain yang tampil dalam pentas tersebut merupakan komedian yang sudah malang melintang di dunia hiburan tanah air, termasuk tampil dalam pertunjukan “Indonesia Kita” sebelumnya.
Selain Butet, para pemain dalam pentas itu antara lain Cak Lontong, Akbar, Susilo Nugroho, Marwoto, Inaya Wahid, Wisben Antono, Joned, Yu Ningsih, Mucle, dan Flora Simatupang. Agus Noor berperan sebagai sutradara dan penulis naskah, sementara Ong Hari Wahyu menjadi penata artistik.
Adu sakti
Pentas “Tabib Suci” dimulai dengan kisah persaingan dua orang tabib yang mengaku sebagai orang suci dan sakti. Dua tabib yang diperankan Cak Lontong dan Marwoto itu bersaing satu sama lain untuk memperebutkan pengikut. Dalam sebuah kesempatan, Marwoto dan tiga orang pengikutnya mengarak kloset duduk yang mereka sebut sebagai kursi keramat.
Mereka juga berupaya membujuk orang lain untuk percaya bahwa kloset duduk itu merupakan kursi keramat yang bisa mengabulkan permohonan. Orang-orang yang ingin permohonannya dikabulkan lalu diminta menyerahkan uang sebagai imbalan. Namun, tentu saja semua itu hanya akal-akalan Marwoto dan kawan-kawannya untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Dalam kesempatan lain, Marwoto ditantang adu kesaktian oleh Cak Lontong untuk membuktikan siapa tabib yang paling sakti dan suci. Setelah melewati sejumlah lomba yang memancing tawa, Cak Lontong keluar sebagai pemenang. Namun, adu sakti itu ternyata hanya konspirasi Cak Lontong dan Marwoto untuk bersama-sama mendapat keuntungan.
Konspirasi yang dilakukan keduanya dibongkar oleh seorang pria tua yang diperankan Butet. Tak hanya membongkar konspirasi, Butet juga menuduh Marwoto telah menghamili Yu Ningsih. Namun, upaya membongkar konspirasi tersebut ternyata juga bagian dari sebuah konspirasi.
Konspirasi yang disajikan dalam pentas ini pun menjadi berlapis-lapis karena ada konspirasi di dalam konspirasi. Bahkan, saat akhirnya konspirasi yang dilakukan Butet dibongkar oleh Susilo Nugroho, penonton mungkin bertanya-tanya apakah peristiwa itu juga merupakan konspirasi.
Dengan menyajikan berlapis-lapis konspirasi dari orang-orang yang mengaku suci, pentas “Tabib Suci” tampaknya ingin mengingatkan kita untuk selalu kritis terhadap klaim ihwal kesucian dan kesaktian seseorang. Lewat cerita tersebut, pentas itu sepertinya juga hendak menyampaikan kritik kepada tokoh-tokoh yang memanfaatkan ajaran agama untuk kepentingannya sendiri.
Namun, selama pertunjukan, para pemain dalam pentas “Tabib Suci” juga menyinggung sejumlah isu lain, dari rencana pemindahan ibu kota negara hingga kasus chat mesum seorang tokoh. Sejumlah peristiwa yang terjadi di Yogyakarta, misalnya pemindahan pedagang kaki lima di kawasan Malioboro dan pemasangan pagar di Alun-alun Utara Yogyakarta, juga tak luput dari komentar mereka.
Tak ketat
Komentar terhadap isu-isu aktual itu dimungkinkan karena pentas “Tabib Suci” memang tidak berjalan dengan plot ketat. Masing-masing pemain diberi keleluasaan berimprovisasi dan melontarkan candaan yang tak berkait langsung dengan inti cerita. Dengan pola semacam itu, pentas “Tabib Suci” berhasil menjadi pertunjukan komedi yang rileks, menghibur, dan bisa mengobati kerinduan terhadap ibadah kebudayaan ala “Indonesia Kita”.
Di sisi lain, pentas tersebut juga membawa optimisme mengenai kondisi seni pertunjukan di tanah air. Butet mengatakan, sesuai dengan harapan Presiden Joko Widodo, seni pertunjukan di Indonesia harus bangkit kembali setelah terpuruk akibat pandemi.
“Harapannya bukan hanya untuk seni pertunjukan semacam ini, tapi juga terutama untuk seni pertunjukan tradisional yang dua tahun ini betul-betul terkapar. Kita berharap, wayang kulit, ludruk, ketoprak, semua seni tradisional di Bali, Kalimantan, Sumatera, hidup kembali, bangkit kembali,” ungkap Butet.
Agus Noor menuturkan, penyelenggaraan pertunjukan secara luring sangat berbeda dengan pertunjukan yang digelar secara daring. Sebab, dalam pertunjukan luring, kehadiran penonton ikut memberi energi kepada para pemain yang tampil. Oleh karena itu, ke depan, diharapkan lebih banyak pertunjukan yang digelar secara luring.
“Penonton punya pengaruh penting untuk energi para pemain di panggung. Hakikat seni pertunjukan ya memang interaksi langsung. Kalau daring kan sudah editing dan manipulasi kamera. Saya selama dua tahun banyak (pertunjukan) daring tapi sepertinya ada yang hilang,” tutur Agus.