Upaya-upaya ini membuktikan bahwa seni sebagai wadah kreativitas selalu mencari celah untuk terus bertumbuh. Bahkan, di tanah asing pun, ia lahir sebagai ”makhluk” baru yang terus beradaptasi dan berkembang.
Oleh
Putu Fajar Arcana & Nawa Tunggal
·5 menit baca
Empat seri teater sinema bertajuk ”Di Tepi Sejarah” yang dihelat Titimangsa Foundation bersama Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru Ditjen Kebudayaan Kemendikbud menjadi jawaban kegelisahan para pelaku seni pertunjukan. Teater sinema ini menjadi bentuk hibrida antara teater dan film, yang ditayangkan secara daring lewat kanal Youtube Budaya Saya.
Tahun 2020, saat pertama pandemi merebak, seni, terutama seni pertunjukan, seolah mati angin. Seri pertunjukan Indonesia Kita, inisiatif seniman Butet Kartaredjasa, Djaduk Ferianto, dan Agus Noor, yang telah berlangsung sejak 2011, tiba-tiba terhenti. Aktor-aktor kawakan, seperti Marwoto dan para personel Trio GAM (Guyonan Ala Mataram), yang jadi pemain tetap Indonesia Kita, kehilangan panggung.
Sebagai upaya mencari celah di tengah pandemi Covid-19 yang mengamuk antara Juli dan Agustus 2020, ditayangkan ulang dokumentasi pementasan lewat kanal Yotube. ”Tetapi itu tidak menolong, itu hanya dokumentasi,” kata Agus Noor, sutradara Indonesia Kita.
Data yang dipaparkan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, saat melakukan focus group discussion (FGD) dengan penyelenggara Indonesian Dance Festival (IDF) menunjukkan angka yang menyedihkan. Data yang diambil pada Agustus 2021, Hilmar menyebut hanya 35,34 persen pelaku budaya yang masih bekerja.
”Artinya, sisanya sudah tidak lagi melakukan aktivitas budaya,” kata Hilmar.
Bahkan, tambah Hilmar, seni pertunjukan dan musik memiliki risiko tertinggi terdampak pandemi, yakni mencapai 32,14 persen. Angka ini, katanya, menjadi persentase pelaku budaya yang terdampak parah.
Oleh sebab itu, Ditjen Kebudayaan merancang skema pembiayaan untuk menghidupkan komunitas-komunitas budaya, sembari mencari bentuk ekspresi baru yang paling ideal di tengah kecamuk pandemi. Seri pertunjukan ”Di Tepi Sejarah”, lalu menghelat nomor-nomor monolog, seperti Nusa yang Hilang, Radio Ibu, Sepinya Sepi, dan Amir, Akhir Sebuah Syair pada bulan Agustus.
Ditjen Kebudayaan merancang skema pembiayaan untuk menghidupkan komunitas-komunitas budaya, sembari mencari bentuk ekspresi baru yang paling ideal di tengah kecamuk pandemi.
Seri ini melibatkan penulis naskah Ahda Imran, Felix Nesi, dan Iswadi Pratama. Terlibat pula sutradara Heliana Sinaga, Yosep Anggi Noen, dan Kamila Andini. Happy Salma, produser ”Di Tepi Sejarah”, mengatakan, bentuk pentas monolog ini sebagai adaptasi dan kompromi di tengah pandemi. Pentas-pentas panggung yang melibatkan banyak orang, ujarnya, tidak dimungkinkan. ”Oleh sebab itu, harus dicari bentuk baru yang sesuai dengan situasi pandemi.”
Seluruh bentuk pertunjukan ”Di Tepi Sejarah” direkam di atas panggung Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) dengan penonton terbatas. Pada saat perekaman, para aktor berakting seperti bermain teater. ”Tanpa cut to cut dan tanpa editing gambar seperti dalam pembuatan film,” kata Happy.
Metode ini ditempuh untuk tetap mempertahankan citra teater sebagai pertunjukan di atas panggung.
Seluruh hasil perekaman itu kemudian ditayangkan lewat kanal Youtube dalam masa terbatas. Jika dalam pertunjukan panggung, kata Happy, penonton yang aktif mendatangi gedung pertunjukan, pada tayangan daring seni yang hadir di ruang-ruang tanpa batas waktu. Lewat pertunjukan daring, teater sinema diharapkan menjadi bentuk baru yang tetap mampu menghidupkan seni pertunjukan.
Upaya serupa dilakukan oleh Teater Koma. Sutradara N Riantiarno beringsut mencari bahasa baru untuk mewadahi kreativitas para aktornya. Pada November 2021, Koma meluncurkan empat nomor pentas yang disutradarai oleh empat perempuan sutradara. Keempat nomor itu termasuk dalam program Koma sepanjang tahun 2021, yakni #TeaterKomaPentasDiSanggar. Keempat sutradara itu adalah Sari Madjid (Padang Bulan), Rita Matu Mona (Siti Seroja), Palka Kojansow (Arsena), dan Sekar Dewantari (Arkanti). Seluruh lakon itu ditulis oleh N Riantiarno.
Menurut Nano, panggilan Riantiarno, program Perempuan Berkarya ini merupakan kelanjutan dari program #TeaterKomaPentasDiSanggar, yang memanfaatkan secara maksimal tempat mereka berlatih. Ketika pentas di gedung pertunjukan belum dimungkinkan karena harus melibatkan banyak penonton, pentas di sanggar menjadi pilihan. ”Cuma semuanya nanti tayang di kanal Youtube Teater Koma,” ujar Nano.
Tayangan teater secara daring dan perekaman dengan menggunakan teknologi video, kata Nano, tidak membuat teater menjadi seperti film. ”Karena perekaman dilakukan tanpa cut dan tidak ada editing gambar. Jadi, ini berbeda dengan film, yang gambarnya diedit serta pengambilan gambar bisa diulang,” kata Nano.
Oleh sebab itu, ia cenderung menyebut ”genre” baru ini sebagai teater sinema, pentas teater yang difasilitasi oleh teknologi video digital. Dengan cara ini, teater tetap bisa bergairah dan bahkan ”menjemput” penontonnya ke rumah masing-masing. ”Penontonnya bahkan jadi makin meluas,” kata Nano.
Perhelatan tari yang diinisiasi Yayasan Loka Tari Nusantara sebagai induk dari gelaran IDF juga menggunakan teknologi digital sebagai medium menjemput penonton. Pada akhir November-awal Desember 2021, mereka menggelar program Layar Terkembang sebagai bagian dari 30 tahun IDF. Pada seri Tubuh Mandala, antara lain, terlibat koreografer muda Fitri Setyaningsih (Solo), Retno Sulistyorini (Solo), dan Otniel Tasman (Banyumas). Lalu, seri Tubuh Virtual terlibat sejumlah koreografer, yakni Abib Igal (Kalteng), Maharani Pane (Jakarta), Minori Sumiyoshima (Yokohama), Buboy Raquitico (Manila), dan Pythos Harris (Jayapura).
”Semua pentas tari direkam dengan video, kemudian ditayangkan di kanal Youtube IDF,” ujar Manajer Program IDF Ratri Anindyajati.
Dalam seni rupa tercatat parade pameran tunggal 51 perupa di studio masing-masing yang tersebar di wilayah Jabodetabek, memberikan gambaran tentang gairah para perupa kita. Pameran dilakukan secara hibrida, mempertemukan daring dan luring sebagai siasat menghadapi pandemi. Para perupa saling mengunjungi studio masing-masing, lalu mengunggahnya di media sosial. William Robert selaku penggagasnya mengatakan, membanjiri media sosial dengan potret karya dan aktivitas para seniman adalah salah satu cara yang mungkin dilakukan saat pandemi.
Parade di studio
Parade ini telah dimulai pada 2 Desember 2021 dan akan berakhir pada 2 Februari 2022. Diskusi tidak hanya berkutat soal karya. Salah satu peserta, Lenny Ratnasari Weichert, sempat menggelar diskusi dengan mendatangkan narasumber praktisi NFT (nonfungible token) Irvin Domi pada 20 Desember 2021. NFT menjadi hal yang relatif baru dalam memperdagangkan karya seni di dunia digital.
Ketika mempersiapkan studio untuk pameran, banyak di antara perupa ”dipaksa” berbenah. Salah satu peserta, Dani Sugara, di Serpong, Tangerang Selatan, harus membersihkan semak belukar di kebun luas selama sebulan demi mempersiapkan pameran karya instalasi luar ruang. Ada juga yang berbagi studio untuk berpameran bersama. Di antaranya di Studio Artpora milik peserta Revoluta di Jakarta Timur, berbagi tempat pameran dengan peserta lain, Eko Banding dan Karya Indah.
Upaya-upaya ini membuktikan bahwa seni sebagai wadah kreativitas selalu mencari celah untuk terus bertumbuh. Bahkan, di tanah asing pun, ia lahir sebagai ”makhluk” baru yang terus beradaptasi dan kemudian berkembang menjadi jiwa dari banyak orang. Seni tak (jadi) mati karena kreativitas selalu membutuhkan energi yang membuat hidup semakin bergairah.