Latihan seni teater menjadi kunci keberhasilan perekaman adegan. Perekaman menggunakan lima atau enam kamera. Ini memungkinkan ada kekayaan stok rekaman dalam adegan dengan waktu yang sama.
Oleh
Nawa Tunggal
·5 menit baca
Sebuah pertunjukan teater-sinema menjadi jalan keluar bagi Teater Koma agar tetap bisa berkreativitas selama pandemi Covid-19. Pilihan ini menjadi inovasi menyuguhkan teater yang biasanya ditonton langsung di panggung. Kini, lakon-lakon itu bisa disimak lewat layar telepon seluler, kapan dan di mana pun.
Dalam perpaduan ini, rasa panggung memang bisa menghilang. Oleh sebab itulah Teater Koma tetap berteguh menjadikan panggung sebagai basis pertunjukan. Alhasil, pengambilan gambar bergerak bisa menggunakan tempat yang lebih sempit. Bahkan, sebuah sanggar yang biasa digunakan untuk latihan teater pun bisa disulap menjadi panggung tanpa penonton.
Dalam tiga pekan terakhir, kelompok pimpinan tokoh teater N Riantiarno ini telah meluncurkan empat karya teater-sinema. Keempat teater-sinema itu lahir dari pengambilan gambar di sanggar latihan Teater Koma yang hanya seukuran delapan meter kali lima meter. Peluncuran teater sinema dilakukan lewat kanal Youtube Teater Koma.
Teater sinema pertama diluncurkan pada 24 November 2021 berjudul Arsena. Berikutnya berjudul Arkanti (1 Desember 2021), Siti Seroja (8 Desember 2021), dan Padang Bulan, yang direncanakan peluncurannya pada 15 Desember 2021 nanti.
Melalui platform Youtube, cakupan penonton meluas. Namun, di sisi lain, muncul kekurangan. Teater Koma yang berdiri sejak 1977, selama hampir 45 tahun sudah memanggungkan lebih dari 100 pementasan. Sebelum pandemi Covid-19, pementasan di panggung menghadirkan sejumlah penonton yang membeli karcis. Karcis penonton kerap terjual habis. Hasil dananya bisa menutupi biaya produksi.
Ketika pementasan diluncurkan di internet, sumber pendapatan dari hasil penjualan karcis penonton ini hilang. Penonton tidak lagi memberikan pendapatan dana lewat pembelian karcis. Satu-satunya jalan yang harus ditempuh ialah mengandalkan sponsor.
”Melalui karya-karya ini, saya sekaligus ingin mengenalkan empat sutradara perempuan, yang sebelumnya sering menjadi pemeran di Teater Koma. Saya sendiri belum tahu nama untuk jenis sinema yang dipadukan dengan seni teater seperti ini,” ujar Riantiarno dalam percakapan melalui telepon, Jumat (10/12/2021) pagi.
Melalui karya-karya ini, saya sekaligus ingin mengenalkan empat sutradara perempuan, yang sebelumnya sering menjadi pemeran di Teater Koma. —N Riantiarno
Teater perpaduan
Pementasan karya-karya perpaduan sinema dan teater kemudian diberi tajuk ”Perempuan Berkarya” #TeaterKomaPentasdiSanggar. Keempat sutradara itu meliputi Palka Kojansow (Arsena). Kemudian Sekar Dewantari (Arkanti), Rita Matu Mona (Siti Seroja), dan Sari Madjid (Padang Bulan).
Sekar Dewantari mengatakan, pekerjaan sutradara ini untuk yang pertama kalinya. Salah satu fokus yang diperjuangkan melalui penggarapannya ialah mengupayakan ”rasa” panggung tidak menghilang.
”Hal yang terpenting saya upayakan ialah membuat kenikmatan di dalam menikmati seni teater. Rasa panggung saya jaga supaya tidak menghilang. Teknik pengerjaannya memang seperti film, tetapi ini seni teater,” ujar Sekar.
Salah satu hal penting yang terus dijaga berupa konsistensi emosional setiap karakter dalam satu adegan digarap utuh. Bahkan, pengambilan rekaman gambar dari satu keutuhan adegan bisa dilanjutkan dengan adegan berikutnya, tanpa dipotong. Kesalahan dialog mungkin saja terjadi. Di dalam pengerjaan film, biasanya revisi bisa dilakukan untuk sepotong kesalahan pada dialog tertentu. Akan tetapi, hal ini tidak dilakukan untuk pembuatan teater-sinema ini. Pengulangan pengambilan gambar tetap diupayakan dalam satu adegan penuh.
Latihan seni teater menjadi kunci keberhasilan perekaman adegan. Perekaman menggunakan lima atau enam kamera. Ini memungkinkan ada kekayaan stok rekaman dalam adegan dengan waktu yang sama. Ini menunjang efek sinema, seperti dalam waktu hampir bersamaan penonton bisa menyaksikan wajah karakter pemain ditampilkan dalam jarak pendek, menengah, atau jauh.
Karakter yang dimainkan menjadi keindahan tersendiri. ”Arkanti membicarakan sosok yang memiliki kompleksitas kepribadian. Ia memberontak dan berusaha membentuk diri,” ujar Sekar.
Kompleksitas tokoh utama menjadi penting. Kompleksitas tersebut memberikan lapisan demi lapisan peristiwa yang harus dikuliti. Dari peristiwa ke peristiwa, karakter diri Arkanti ditampilkan secara detail.
Olah teatrikal menggiring penonton supaya terhanyut. Kisah Arkanti pada akhirnya bermuara pada kebebasan diri, yang entah pada akhirnya memilih untuk berada di mana. Arkanti ataupun teater sinema berikutnya memiliki durasi penampilan tidak terlampau panjang. Tidak seperti durasi pementasan Teater Koma di panggung yang biasa sampai tiga jam, karya beberapa sinema seni teater itu berkisar 35-45 menit.
Para pemeran juga tidak banyak. Dalam satu judul hanya melibatkan tiga atau empat pemeran saja. Naskah dibuat Riantiarno juga lebih sederhana dan bertitik tolak dari realitas-realitas sosial yang ada.
Latar teater sinema yang berjudul Padang Bulan dikerjakan secara berbeda dengan karya-karya lainnya. Ketiga teater sinema lain memanfaatkan latar natural. Sutradara Sari Madjid dalam teater sinema Padang Bulan banyak menampilkan citra multimedia.
”Multimedia saya butuhkan untuk menciptakan latar bulan yang berbeda-beda,” ujar Sari Madjid. Padang Bulan mengambil idiom bulan dalam ranah beragam budaya dunia. Ada ragam bulan Jawa, China, Jepang, bahkan sampai Afrika. Bagi Sari Madjid, teater sinema garapannya itu ingin merefleksikan untuk menjadi bulan purnama, sebuah bulan mengalami berbagai proses.
Ketika menjadi bulan purnama pun tidak selamanya menjadi bulan yang romantis. Bulan purnama bisa ditelan gerhana. Setiap naskah Riantiarno terlihat ada upaya memancing penonton untuk terkesima di akhir dan memberikan kesimpulannya sendiri. Keempat naskah itu dikerjakan dalam dua tahun selama masa pandemi.
Di awal masa pandemi, saya merasa sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan Teater Koma. Akan tetapi, saya merasa harus melakukan sesuatu. —N Riantiarno
”Di awal masa pandemi, saya merasa sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan Teater Koma. Akan tetapi, saya merasa harus melakukan sesuatu, tidak bisa terdiam diri di sepanjang pandemi ini,” ujar Riantiarno, yang kini sudah mempersiapkan rencana latihan untuk pementasan naskah karya terbarunya.
Pada akhirnya, rasa panggung itu pula sebagai pertaruhan dari semua garapan, terutama yang memadukan antara sinema dan seni teater yang kini sedang disuguhkan Teater Koma.