Ibu dari kebaikan adalah kebaikan juga. Dalam kondisi seperti ini, diperlukan banyak tindakan kebaikan agar muncul energi saling menguatkan. Itu antra lain yang menjadi landasan digelar pertemuan para seniman ini.
Oleh
Mohammad Hilmi Faiq
·6 menit baca
Hampir dua tahun kita dikungkung pandemi dan karena itu lebih banyak saling sapa lewat jalur daring. Tatkala pandemi melandai hingga tersiar kabar tidak ada lagi penambahan kasus positif Covid-19, orang-orang merencanakan pertemuan untuk menebus rindu. Ada yang memakai nama reuni ada yang sekadar merayakan ulang tahun. Apa pun namanya, yang penting kumpul. Mereka mengumpulkan teman lalu membagi energi kehabagiaan.
Kota Yogyakarta yang semula panas, perlahan menyejuk seiring mendung yang memayung. Kesejukan itu merambat pelan mengisi Balai Silaturahmi di rumah Dhohir Farisi atau Gus Faris, tempat diselenggarakannya pertemuan kecil yang menghadirkan puluhan seniman Yogyakarta, Selasa (30/11/2021). Hadir antara lain perupa Djoko Pekik, Kartika Affandi, Jumaldi Alfi, Putu Sutawijaya atau Putu Liong, dan Hari Budiono. Mereka ini sedang menggarap satu lukisan bersama dalam satu kanvas.
Semula Djoko Pekik dan Kartika Affandi yang menggores kanvas berukuran lima meter per segi itu disusul tiga seniman lainnya diiringi lagu yang dinyanyikan hadiri secara bergiliran. Lagunya suka-suka. Siapa bisa nyanyi apa saja dipersilakan naik panggung. Jika tak hapal lirik, silakan buka HP. Suasananya demikian cair dan kultural. Sementara mereka melukis atau bernyanyi, hadirin lainnya menikmati suasana sambil mengudap pisang dan mangga, bisa juga santap siang dengan menu utama tumpeng.
Sebenarnya, acara utama pada Selasa (30/11/2021) adalah perayaan ulang tahun wartawan Thomas Pudjo yang demikian akrab di kalangan seniman. Kebetulan tanggal ulang tahunnya berdekatan dengan Kartika Affandi yang lahir pada 27 November dan Hari Budiono pada 30 November. Maka Tumpeng menjadi menu istimewa. Beberapa tamu yang diundang juga istimewa bagi Pudjo, seperti Romo Sindhunata, komedian Marwoto, dan Marzuki Mohammad ”Kill The DJ” yang didapuk sebagai ketua panitia.
Sebagai ”pengantin” ulang tahun, Pudjo mendapat perlakuan istimewa. Dia diminta duduk di singgasana khusus yang bertuliskan ”Dimana Pujo?”, sebuah ungkapan kerinduan teman-temannya terhadap dia lantaran jarang bertemu selama pandemi. Orang-orang yang hadir pun diminta panitia memakai kaus putih bergabar wajah Pudjo dan bertuliskan ”Di Mana Pujo?”. Selain itu, juga karena Pudjo tengah memasuki fase baru untuk menjalani hidup yang lebih sehat, setelah kesehatannya sempat melorot.
Selepas berpose untuk difoto, memotong tumpeng, dan memberi sambutan, Pudjo diminta bergeser untuk membuka kado yang terbungkus kertas coklat diiringi tepuk tangan dan lagu ”Selamat Ulang Tahun” milik Jamrud yang dinyanyikan Yenny Wahid, istri Gus Faris. Begitu kado dibuka, ternyata bergambar wajah Sindhunata. Kado yang semestinya secara khusus diberikan kepada Sindhunata. ”Salah-salah. Woi keliru kadone!” teriak Juki, sapaan akrab Mohammad Marzuki ”Kill The DJ”. Adegan ini sontak mengundang tawa.
Kado lain dibuka. Kali ini justru isinya lukisan bergambar bumi dengan tulisan arab Nahdlatul Ulama, kado yang semestinya untuk Gus Faris. Semua kembali ngakak. Tinggal satu kado. Jika ini juga salah, memang panitia sengaja mengerjai Pudjo. ”Kali ini benar!” teriak Ampun Sutrisno, perupa yang saat itu bersama Putu Sutawijaya menjadi pembawa acara. Terbukalah kado bergambar wajah Pudjo yang tersenyum dipegang Pudjo yang juga tersenyum.
Soal kado tadi, satu kesalahan bisa jadi hal memalukan, tetapi dua kesalahan bisa berubah jadi komedi karena itu bisa dimaknai bahwa semua disengaja dan dalam kendali. Maka, tidak ada aib dalam kesalahan yang disengaja. Begitulah antara lain kegayengan acara siang itu yang demikian membahagiakan.
Peristiwa-peristiwa konyol seperti itu rupanya efektif membangun keceriaan dan kebahagiaan. Bahkan, orang-orang yang sejak tadi memilih berdiam diri, hanya menikmati suasana dari kursi pun ikut tertawa riang. Sebagaimana kesedihan, kebahagiaan juga menular. Inilah salah satu hal pokok dalam acara-acara seperti ini, pertemuan yang sudah jarang digelar selama pandemi. Kali ini pandemi melandai dan kesempatan untuk menguar kebahagiaan.
Putu Sutawijaya bilang, pertemuan seperti ini menjadi penting di masa pendemi. Setidaknya untuk mengetahui kabar bahwa teman-teman lain dalam kondisi baik-baik saja. Sejak awal dia amat semangat ketika dikabari akan dilibatkan dalam acara ini. Selain menjadi pembaca acara bersama Ampun, dia ikut melukis bersama.
Joget bersama
Lamat-lamat suara azan ashar terdengar di sela ”gojek kere” dan tawa peserta pertemuan. Giliran Jogja Hip Hop Foundation yang dimotori Juki ambil bagian. Hampir semua ikut berdiri berjoget dan beryanyi, termasuk Sindhunata. Bahkan, Kartika Affandi pun turut bergoyang ringan dari atas kursi rodanya.
Selepas lagu ketiga, semua mata tertuju ke salah satu pintu masuk. Di sana Butet Kartaradjasa berjalan dibantu kruk dan dipegangi istrinya, Rulyani Isfihana alias Bu Ageng. Kesehatan aktor sekaligus perupa itu belum pulih dan karena itu dia harus berjalan dibantu kruk empat kaki. ”Aku mrene golek energi!” kata Butet tetang tujuannya mencari energi datang ke acara ini. Butet saat itu bersarung batik dan memakai kaus oblong bergambar Gundala bertuliskan ”Terima Stroom Accu”.
Sejak beberapa bulan lalu, kesehatan Butet menurun. Pertengahan tahun ini dia dikabarkan menjalani operasi tulang belakang. Setelah itu pun dia masih susah jalan dan beberapa kali mengeluh sakit karena urat dan saraf di pinggangnya masih bermasalah. Dia diundang ke acara kali ini, antara lain, sebagai bentuk dukungan sekaligus untuk mendukung yang lain agar saling menguatkan. Setidaknya begitu yang dijelaskan Juki.
Butet lalu duduk bersama Bu Ageng menikmati steak sembari sesekali mengangkat sendok garpu ke udara dan menggoyang-goyangkan kepala menikmati lagu yang dinyanyikan Jogja Hip Hop Foundation. Rupanya dia hapal liriknya sehingga ikut menyanyi bersama. Selepas makan, Butet masih bernyanyi.
Kali ini Jogja Hip Hop Foundatuion menyanyikan lagu ”Cintamu Sepahit Topi Miring”. Sejak terdengar intro, Butet membetulkan sarungnya. Dia lalu bangkit memegangi kruknya kemudian manari riang dengan wajah semringah dan ikut bernyanyi bersama dengan suara keras hingga urat-urat lehernya menonjol. Tangannya meliuk-liuk mirip orang sedang menari jaipong. ”Sengkuni leda-lede. Mimpin baris ngarep dhewe. Eh, barisane menggok, Sengkuni kok malah dheprok. Nong, nong ji, nong ro…,” begitu potongan liriknya.
Melihat itu, Juki, Sinhdunata, Ampun beserta lainnya mengelilingi Butet, berjoget dan bernyanyi bareng. Butet menjadi episentrum kebahagiaan baru. Rupanya dia sudah mendapat strum semangat kebahagiaan yang sejak tadi meliputi Balai Silaturahmi ini. Sebaliknya, orangorang yang hadir mendapat energi yang sama dari Butet, yang tadi saat datang tampak lemas sekarang semringah dan sorot matanya berninar bahagia.
”Edan, ya. Butet bisa sampai begitu. Aku tidak menyangka dia ikut joget dan menyanyi. Ini energi yang sangat penting untuk dia,” kata Juki seusai menyanyi.
Dia lalu menjelaskan, acara ini digelar antara lain untuk saling memberi semangat karena pada dasarnya semua sedang menderita. Bukan hanya mereka yang pernah terkena Covid-19, tetapi juga keluarga, teman, kenalan dari orang-orang penderita Covid-19 maupun penyintasnya. Dengan kata lain, pertemuan ini menjadi wadah untuk saling menguatkan dengan cara saling membahagiakan. Selama ini barangkali sudah ada yang saling sapa di ruang obrolan pribadi lewat HP atau saling telepon. Namun, tentu saja energinya berbeda dibanding saat bertemu fisik begini.
Pertemuan ini digelar pas kasus Covid-19 melandai sehingga relatif aman. Selain itu, Gus Faris sengaja tidak mengundang banyak orang karena demi menjaga jarak. Ruang yang bisa diisi ratusan orang ini akhirnya hanya menghadirkan sekitar 50 orang.
Gus Faris berkisah latar belakang menggelar acara ini adalah untuk mengembangbiakkan kebaikan. Kata dia, ibu dari kebaikan adalah kebaikan juga. Dalam kondisi seperti ini, diperlukan banyak tindakan kebaikan agar muncul energi saling menguatkan.
Tidak bisa disangkal, tujuan tadi nyata hasilnya. Semua bergembira. Yang sakit pun lupa sakitnya dan berjoget ria. ”Wes, aku pamit. Waktunya pulang. Terima kasih sudah dapat energi dari sini,” kata Butet dalam bahasa jawa sembari melambaikan tangan menuju pintu keluar diantar Gus Faris, Yenny Wahid, dan rekan-rekannya. Siang itu seisi balai telah mengumpulkan lalu membagikan energi kebahagiaan.