Di tengah kondisi kesehatannya yang belum benar-benar pulih, seniman Butet Kartaredjasa merayakan ulang tahun ke-60. Momen itu dirayakan dengan peluncuran buku dan pameran seni rupa yang diikuti 60 seniman.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
Di tengah kondisi kesehatannya yang belum benar-benar pulih, seniman Butet Kartaredjasa merayakan ulang tahun ke-60. Peristiwa itu dimulai dengan peluncuran buku dan pameran seni rupa yang diikuti 60 seniman. Mengaku sempat kehilangan harapan karena sakit, Butet kembali bersemangat berkat dukungan teman-temannya.
Butet Kartaredjasa bangkit pelan-pelan dari tempat duduknya, lalu berjalan perlahan dengan alat bantu walker, Minggu (21/11/2021). Dengan ditemani beberapa orang, dia berjalan naik ke atas panggung di kompleks Sangkring Art Space, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Meski terus tertatih, senyum mengembang di bibir seniman yang dikenal lewat pentas monolog-monolognya itu.
Sesampainya di panggung, Butet disambut sastrawan Agus Noor yang merupakan sahabat dekatnya. Senyum di bibir Butet pun berganti dengan tawa lebar yang menjadi ciri khasnya. Tepuk tangan dari hadirin menggema meski Butet naik ke panggung bukan untuk bermain monolog atau terlibat dalam pentas teater.
Sore itu, Butet merayakan ulang tahunnya yang ke-60. Momen ulang tahun itu ditandai dengan peluncuran buku Urip Mung Mampir Ngguyu: 60 Tahun Butet Kartaredjasa serta pembukaan pameran seni rupa Menawar Isyarat. Buku dan pameran seni rupa itu menjadi kado bagi Butet dari teman-temannya yang berasal dari lintas profesi.
Buku Urip Mung Mampir Ngguyu berisi tulisan dari para tokoh, seperti Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan, mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, penyair dan esais Goenawan Mohamad, sastrawan Putu Wijaya, aktor Slamet Rahardjo, wartawan senior Bre Redana, seniman Sudjiwo Tejo, arsitek Eko Prawoto, penyair Joko Pinurbo, sutradara Riri Riza, dan produser film Mira Lesmana.
Banyaknya tokoh yang ikut menulis itu menunjukkan luasnya pergaulan Butet. Pertemanan Butet yang melintasi sekat-sekat itu juga tampak dalam perayaan ulang tahun di Sangkring Art Space.
Selain dihadiri para seniman dari Yogyakarta dan kota-kota lain, acara itu juga dihadiri oleh beberapa tokoh, seperti Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, mantan Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf, dan Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid. Bahkan, Presiden Joko Widodo juga menyampaikan ucapan selamat ulang tahun kepada Butet melalui video rekaman.
Perayaan ulang tahun ke-60 Butet itu penuh dengan suasana haru sekaligus canda. Suasana haru muncul karena perayaan itu digelar saat kondisi kesehatan Butet belum sepenuhnya pulih. Setelah menjalani operasi saraf tulang belakang beberapa bulan lalu, Butet memang sempat mengalami kesulitan beraktivitas.
Seniman yang aktif di Teater Gandrik itu bahkan sempat terpaksa menggunakan kursi roda untuk beraktivitas. Namun, beberapa waktu belakangan, Butet sudah bisa berdiri dan berjalan kaki menggunakan walker.
”Sepanjang hidup saya, saya mengalami ketidakberdayaan yang luar biasa baru kali ini. Sampai hari ini, saya masih diabetes dan saya masih (punya penyakit) jantung, tapi saya tidak pernah ada rasa takut dengan penyakit-penyakit seperti itu. Tapi kali ini, enam bulan saya tidak berdaya, saya tidak bisa bangun, tidak bisa berdiri,” ungkap Butet dalam perayaan ulang tahunnya.
Menurut Butet, ketidakberdayaan yang dialaminya sejak Juni 2021 itu membuat cemas dan seperti kehilangan kepercayaan diri serta kehilangan harapan. Bahkan, dokter sempat mendiagnosis Butet mengalami depresi. ”Oleh dokter, ternyata saya diberi obat antidepresi,” ujar putra seniman tari Bagong Kussudiardja itu.
Namun, setelah dimotivasi oleh teman-temannya, Butet mulai bersemangat kembali. Dia lalu mengikuti fisioterapi sehingga akhirnya bisa berdiri dan berjalan lagi. ”Ini energi dari kawan-kawan semua, para perupa, para penulis, para tetamu, yang menyemangati hidup saya. Saya masih merasa tanggung jawab yang besar untuk lingkaran dan lingkaran pergaulan saya di dunia seni budaya,” ujar kakak seniman (alm) Djaduk Ferianto itu.
Isyarat
Dalam kata pengantar buku Urip Mung Mampir Ngguyu, Agus Noor menceritakan, Butet adalah orang yang tidak percaya pada simpanan. Bahkan, yang dilihat dan diyakini Butet menjadi kenyataan. Di sisi lain, Agus menyebut Butet juga percaya bahwa penyimpanan atau firasat buruk yang dirasakan harus disampaikan kepada orang lain agar tidak menjadi kenyataan.
Itulah mengapa kemudian muncul istilah ”menawarkan” yang bisa dimaknai sebagai upaya untuk menetralkan atau menjernihkan solusi buruk yang dirasakan. Dari sini lalu muncul tema pameran seni rupa Menawar Isyarat meski tentu tema tersebut bisa dimaknai dengan cara-cara lain yang kreatif.
Pameran Menawar Isyarat digelar oleh kelompok perupa Suka Parisuka dan diikuti 60 seniman dengan sebagian besar karya berukuran 60 cm x 60 cm. Karya yang dipamerkan adalah lukisan, tetapi ada juga yang berupa karya fotografi.
Sejumlah karya dalam pameran Menawar Isyarat menampilkan wajah Butet dengan beragam ekspresi. Salah satu yang menarik adalah lukisan berjudul ”Menyapa Bayangan” karya Iwan Yusuf. Lukisan tersebut menampilkan sosok Butet dengan ekspresi terkejut karena melihat sesuatu: apakah begini ekspresi Butet saat melihat tentang persiapan menjelang usia 60 tahun?
Foto karya Risman Marah yang menampilkan Butet sedang merokok juga menarik untuk dicermati. Dalam foto hitam putih yang diberi judul ”Butet dan Durmagati” itu, mata Butet tampak menerawang jauh, seolah sedang ada sesuatu yang sangat berat. Di belakang sosok Butet itu, bayangan tokoh wayang Durmagati yang dikenal pandai bicara dan kocak.
Sementara itu, beberapa seniman lain merespons tema ”Menawar Isyarat” dengan beragam cara. Sejumlah perupa, seperti Bambang Herras, Bambang Pramudiyanto, Hari Budiono, I Wayan Cahya, Sigit Santoso, dan Yuswantoro Adi, memilih menafsir tema tersebut dengan menggambar mata di dalam lukisan mereka. Tentu saja yang hadir dalam lukisan-lukisan itu tak harus dimaknai sebagai indera penglihatan semata, tetapi juga bisa sebagai simbol dari ”mata batin” seseorang yang merasakan keberadaan dalam kehidupannya.
Ada juga beberapa perupa yang menafsir lewat karya yang lebih kontemplatif. Pelukis senior Djoko Pekik, misalnya, menampilkan lukisan berisi gambar pemandangan sebuah gunung dan matahari terbit. Di antara bentang alam itu, tampak samar-samar sejumlah sosok manusia yang berjalan ke puncak gunung.
Apakah orang-orang sedang menuruti petunjuk dan mencari yang mereka rasakan? Apakah Butet ada di antara orang-orang yang berjalan ke puncak gunung itu? Sulit untuk menjawabnya. Yang jelas, Butet sepertinya memang mencari isyarat sebelum usianya genap 60 tahun.
Dalam sebuah tulisan di katalog pameran Menawar Isyarat, Butet mengatakan, angka 60 adalah angka wingit atau keramat dalam budaya China. Usia 60 tahun pun dianggap sebagai patok yang menjadi penanda apakah kehidupan seseorang akan berhenti atau berlanjut. Itulah mengapa, Butet merasa cemas dan gentar saat usianya hendak mencapai 60 tahun.
Akan tetapi, berkat dukungan dari teman-temannya, ia pun menjadi bersemangat kembali. Bahkan, usia 60 tahun kini dianggap Butet sebagai momen untuk merayakan kehidupan. ”Jika boleh berharap, ini adalah penanda perayaan,” ujar Butet.