Pekerja Tetap Berbagi THR di Tengah Hidup yang Jumpalitan
Ada orang yang THR-nya habis dibagi-bagi, tetapi ada pula yang bisa menabung selama bisa tegas mengalokasikan dana.
Pekerja dari berbagai latar belakang tetap menyisihkan tunjangan hari raya atau THR untuk sanak saudara dan tetangga. Ada kesungkanan kalau tidak bagi-bagi cuan saat Lebaran. Pasalnya, mereka terlanjur dicap sebagai orang berpenghasilan oleh mereka di kampung halaman.
Bagi pekerja yang keuangannya stabil, tunjangan rutin tahunan ini masih bisa disimpan untuk keperluan lain. Akan tetapi, mereka dengan finansial cekak akan langsung kandas uangnya seiring bergulirnya hari raya.
Pani Anggriani (37) saat pulang ke rumah orangtuanya di Bogor, Jawa Barat, sudah mulai dipanggil “bos” oleh para bocah di sana. Mereka tahu, menjelang hari raya Pani akan memberi THR.
Baca juga: Masalah Keuangan Kerap Dijadikan Alasan Perusahaan Enggan Bayar THR
Tak besar, memang. Untuk anak para tetangga, jumlahnya Rp 10.000-Rp 15.000 per kepala. Tetapi, kebiasaan yang rutin itu sudah sedemikian tertanam di benak mereka.
"Saya paksain untuk dibagi-bagi (THR-nya). Kalau kita enggak ngasih sudah pasti ditagih,” ujar pekerja kebersihan pada salah satu gedung perkantoran di Jakarta Pusat, ini, Kamis (28/3/2024). Ia mengatakannya sembari tertawa.
Saat berkumpul di hari raya, sudah jadi tradisi Pani dan keluarga berbagi uang. Tidak saja kepada orangtua atau keponakan, anak-anak tetangga juga kebagian.
“Setahun sekali lah kita berbagi. Di hari-hari biasa kan enggak bisa karena gajinya pas-pasan,” tambahnya.
Awal April 2024 nanti, ibu dua anak ini akan menerima THR Rp 4,5 juta. Setengahnya langsung ditukar dengan uang baru, kemudian dibagikan kepada saudara dan tetangga. Sisanya dialokasikan untuk membeli pakaian dan jalan-jalan bersama suami. Uang THR itu diperkirakan bakal habis.
“Sejak 2018 saya kerja jadi cleaning service, THR itu selalu habis,” ujarnya.
Secara finansial, Pani tidak bisa disebut berkecukupan. Ia dan suami indekos di salah satu gang sempit di dekat Palmerah, Jakarta Barat. Tiap bulan, sejumlah cicilan rutin menggerogoti gajinya dan suami, sehingga tak bisa menabung. Tetapi, ini tak menyurutkan niatnya untuk berbagi.
“Orang kan tahunya kita kerja di Jakarta, kerja di gedung. Cuma itu. Kondisi sebenarnya kan mereka enggak tahu,” tambahnya lagi.
Baca juga: Pusingnya Warga Jakarta Belanja Daring untuk Lebaran
Pekerja pabrik di Gresik, Jawa Timur, Dwi Erlangga (36), sama polanya dengan Pani. Uang THR tersedot semua untuk keperluan hari raya. Alokasinya antara lain untuk biaya mudik, membeli pakaian, dan dibagikan. Sekitar 30 persen uang THR ayah satu anak ini akan didistribusikan kepada orangtua, keponakan, dan anak-anak tetangga saat Lebaran tiba.
"Sungkan kalau enggak ngasih. Yah, namanya bertetangga. Kadang kita menerima, kadang memberi. Ini biasa,” kata laki-laki yang sudah 18 tahun bekerja di pabrik.
Orang kan tahunya kita kerja di Jakarta, kerja di gedung. Cuma itu. Kondisi sebenarnya kan mereka enggak tahu
Lebaran kali ini, Dwi dan keluarga mudik ke Kediri, Jawa Timur. Selama bekerja, ia tak pernah berhasil menyisakan uang THR. Bahkan, THR ini jadi biaya tambahan saja untuk seluruh biaya operasional selama hari raya.
“Di keluarga saya, yang bekerja hanya saya. Kalau teman-teman yang istrinya juga kerja mungkin THR-nya bisa sebagian ditabung,” ujarnya.
Baca juga: THR dan Upaya Distribusi Kebahagiaan
Bersyukur
Lebih nelangsa lagi nasib pekerja informal seperti Apri (34), barista pada kedai kopi di Balikpapan, Kalimantan Timur. Tahun ini, belum ada tanda-tanda bosnya akan memberi THR. Pada Lebaran sebelumnya, dia sempat mendapat tunjangan, namun jumlahnya hanya Rp 300.000.
“Kalau saya dikasih bersyukur, kalau enggak ya sudahlah, tak apa-apa,” kata laki-laki lajang yang akan menikah pada Mei 2024 ini.
Ia tetap menyediakan anggaran untuk para keponakan, meski belum pasti mendapat tunjangan Lebaran. Beruntung, kebiasaan di keluarganya tidak harus wajib bagi-bagi cuan. Jadi, dia bisa memberi seikhlasnya.
“Untuk keponakan saya pasti ngasih, tetapi nominalnya tidak berlebihan,” ujarnya.
Baca juga: THR, Oase Pekerja Kelas Menengah di Hari Raya
Harus memilih
Kendati sesama lajang, kondisi Gina Mardani (28) lebih mendingan. Ia bekerja di salah satu perusahaan rintisan di Jakarta. Kondisi finansialnya terbilang lapang sehingga lebih leluasa dalam mengalokasikan THR.
Rencananya, THR yang sudah cair sejak Selasa (26/3) itu akan disisihkan sekitar Rp 1,5 juta untuk membeli kue dan makanan selama hari raya. Khusus THR para bocah juga disiapkan sekitar Rp 1,5 juta. Bedanya, Gina fokus memberi THR kepada anak-anak sepupunya saja.
Sejak dua tahun lalu, ia tidak lagi membagikan THR kepada anak-anak sekitar rumahnya di Tangerang Selatan, Banten. Setelah dipikir-pikir, kata Gina, aktivitas ini membuatnya repot sendiri. Ini karena anak-anak yang tidak kebagian akan protes, sementara anggaran yang disiapkan sudah habis.
"Dulu, almarhum ibuku yang memandu. Sejak ibu berpulang dan aku sendirian yang ngasih, aku kesulitan ngatur pembagiannya. Makanya distop,” ujar dia.
Sebagai salah satu cara menghemat THR, Gina tidak membeli baju pada Lebaran kali ini. Ia berpikir baju gamis hari raya tidak efektif karena hanya dikenakan pada saat-saat tertentu. Ditambah lagi, baju lungsuran almarhum ibunya beberapa juga masih bagus.
Baca juga: Mengelola THR, Anak Muda Menabung dan Generasi Senior Berzakat
Aktualisasi diri
Kemungkinan, lebih separuh nominal THR Gina akan selamat pada hari raya. Uang ini akan disimpan, terutama untuk membiayai aktivitas pelesirannya yang sewaktu-waktu bisa "kumat".
Berkaca pada tahun lalu, Gina dua kali melakukan perjalanan yang lumayan merogoh kocek. November 2023, ia ke Malaysia menengok temannya yang wisuda S2. Sebelumnya, ia pelesir sendirian ke Banda Neira, sebuah pulau dengan pantainya yang indah di Maluku.
Biaya untuk semua perjalanan itu disisihkan dari pendapatan per bulan di luar tabungan wajib. Contoh, saat ke Banda Neira, ia menghabiskan Rp 8 juta. Uang ini didapat setelah menyisihkan gaji selama delapan bulan sebelum berangkat. Jadi, hobinya jalan-jalan itu tidak menggerus tabungan pokok.
Pola ini juga berlaku untuk membiayai hobi lainnya, seperti fitness dan ikut pelatihan pengembangan karier. Fitness sudah dilakoninya sejak tiga bulan lalu, kemudian stop selama Ramadhan.
Ia melakukan olah tubuh ini karena kekurangan aktivitas fisik lantaran bekerja dari rumah (WFH). Fitness baginya semacam kompensasi karena kurangnya gerak harian.
Baca juga: Program Swadaya Gojek Sebagai Pengganti THR
Mengacu kepada pos-pos pengeluaran yang dikeluarkan Gina, ia menyadari apabila menurut sebagian orang kegiatan yang dia lakukan itu tidak substansial. Akan tetapi, ia berpendapat aktivitas ekstrakurikuler semacam ini penting, karena bisa menggenapi hidupnya.
Di sasana olahraga ia berkenalan dengan orang-orang baru yang menginspirasi, seperti saat ngobrol dengan ibu-ibu yang sama-sama ikut kelas yoga. Begitu juga saat ia mengikuti pelatihan pengembangan karier yang biaya masuknya saja mencapai Rp 5 juta.
Hal-hal semacam ini, kata Gina, barang kali termasuk pengeluaran yang tidak pernah terpikirkan generasi terdahulu, termasuk orangtuanya. Tetapi, sebagai pekerja yang kerjanya nyaris duduk seharian di depan komputer, ia butuh penyegaran. Hal terpenting ialah semua kegiatan senang-senang itu jangan sampai membuat bokek.
THR buat bocah kesayangan toh tetap ia sisihkan. Saat bersamaan, hobinya yang bermacam-macam itu juga tetap berjalan.