Pusingnya Warga Jakarta Belanja Daring untuk Lebaran
Era digital membuat pembelian lebih praktis. Namun, proses menentukan barang dirasa melelahkan bagi sejumlah warga.
Menjelang Lebaran, sebagian masyarakat kini tengah asyik berselancar di gawai untuk mencari baju, gamis, hingga mukena dengan model terbaru. Meski menyenangkan, nyatanya belanja daring justru mengakibatkan sejumlah warga Jakarta stres.
Sejak pandemi, kecenderungan masyarakat untuk berbelanja melalui platform digital semakin meningkat. Menurut laporan Hootsuite dan We Are Social bertajuk ”Digital 2021”, lebih dari 87 persen pengguna internet di Indonesia membeli beragam produk secara daring pada beberapa bulan terakhir di pengujung tahun 2020.
Seorang warga Jakarta Pusat, Ashifa Sakinah (25), bisa menghabiskan waktu berjam-jam, bahkan berhari-hari, untuk menentukan satu baju pilihan.
Baca juga: THR: Buat Belanja, Tabungan, atau Bayar Utang?
Saat mencari gamis untuk menyambut perayaan Lebaran mendatang, contohnya. Ashifa setidaknya menghabiskan waktu hampir satu minggu untuk berselancar di sejumlah aplikasi di gawainya.
”Rasanya itu seperti ketagihan mencari barang yang lebih bagus. Barang-barang yang menurut saya bagus, saya taruh di keranjang dulu, tidak langsung saya checkout,” katanya, Senin (25/3/2024).
Banyaknya toko di banyak kota dengan berbagai harga dan ulasan membuatnya menjadi seorang pemilih. Akan tetapi, terlalu memilih demi mendapatkan barang terbaik membuat Ashifa pening. Bahkan, aktivitas sehari-harinya juga kerap terganggu akibat kepikiran barang-barangnya yang masih di keranjang e-commercekarena masih dalam tahap pertimbangan.
”Saat belanja daring, saya menulis sejumlah keyword di pencarian toko. Memperhatikan satu per satu baju di toko, membaca ulasan, serta menimbang kelebihan dan kekurangan setiap baju di toko berbeda. Melelahkan sekali dan kadang bikin stres,” tutur Ashifa.
Keresahan belanja daring untuk kebutuhan Lebaran tidak berakhir sampai proses pemilihan barang. Ashifa juga masih harus menunggu berhari-hari karena sebagian besar baju lebaran menggunakan sistem pre-order, yakni memesan terlebih dahulu, baru dibuatkan bajunya.
”Bahkan, hingga hari ini, saya masih menunggu baju lebaran saya tiba. Katanya dijanjikan minggu ini dikirim. Jujur saja saya khawatir,” ucap Ashifa.
Warga Jakarta Barat, Deby Sartika (22), juga merasa stres sepanjang belanja daring. Bahkan kepalanya sempat sakit karena terlalu sering scroll layar gawai untuk mencari barang incaran.
Proses panjang dari mulai mencari barang, membandingkan harga barang, lalu menjelajahi ulasan dirasakan Deby sangat melelahkan.
”Karena saat belanja daring, kita tahu harga di semua toko. Jadi, rasa ingin membeli dengan harga termurah dan kualitas terbaik itu sangat tinggi. Belum lagi kalau melihat ada satu ulasan jelek, pasti takut untuk beli barang di sana. Padahal, ulasan lainnya di toko tersebut bagus-bagus saja,” kata Deby.
Sebelumnya, Deby sudah bertanya dan melihat baju lebaran di toko luring. Namun, harga yang dipatok terlalu mahal. Jika membeli di lokapasar, ia bisa mendapatkan harga yang lebih murah dengan kualitas hampir sama.
”Makanya lebih memilih belanja daring meskipun bikin pusing. Setidaknya tidak bikin kantong kering,” ujarnya.
Makanya lebih memilih belanja daring meskipun bikin pusing. Setidaknya tidak bikin kantong kering.
Herman Ahmad Deru (27) juga memilih belanja daring untuk kebutuhan Lebaran. Kesibukan bekerja membuatnya kurang waktu untuk sekadar berkelana ke mal atau pasar.
Awalnya, warga Jakarta Pusat ini tidak begitu tertarik belanja daring. Sebab, saat belanja daring, ia tidak bisa mencoba dan menyentuh barangnya untuk melihat kualitasnya.
Namun, kebiasaan berbelanja daring terbentuk semenjak ia mengalami keterbatasan kegiatan di luar rumah saat pandemi Covid-19. Kenyamanan itu tetap berlanjut hingga kini.
”Tapi, tetap saja, sebelum barang datang, saya suka deg-degan. Takut barang yang sampai tidak sesuai,” ujar Herman.
Dalam proses mencari barang secara daring, Herman juga mengalami sejumlah kegalauan. Saat membeli baju lebaran contohnya. Banyak iklan tiba-tiba muncul di sejumlah aplikasi di gawainya yang menawarkan baju untuk Lebaran saat ia sudah checkout baju pilihannya.
Lihat juga: Belanja Masyarakat Saat Ramadhan Meningkat
”Awalnya sudah yakin dengan pilihanku. Tapi tiba-tiba ada iklan. Pas dicek, kok, lebih bagus. Jadi galau lagi. Akan begitu terus,” katanya.
Herman pun mengingatkan kepada sesama pembeli terkait harga yang lebih murah di lokapasar. Promosi di lokapasar tidak selalu menjadi jaminan bahwa pembeli akan mendapatkan produk berkualitas dengan harga terbaik. Bisa jadi harganya dimurahkan karena produknya palsu atau sudah melewati masa garansi. Untuk itu, pembeli harus selalu hati-hati.
Keniscayaan
Psikolog klinis dan Guru Besar di NYU Langone Health, Thea Gallagher, menilai, saat berbelanja daring, sebenarnya hanya perilaku mengisi keranjang atau membeli barang saja yang membuat orang antusias dan merasa puas. Akan tetapi, ketika barangnya sudah sampai di tangan, sensasinya berkurang. Malah ada yang sudah tidak menginginkannya lagi ketika paketnya datang (Kompas.id, 16 Maret 2024).
Meski berisiko tinggi mengganggu kesehatan mental, belanja daring di zaman sekarang adalah keniscayaan. Hampir semua orang berbelanja daring, apalagi semasa pandemi Covid-19 ketika orang tak bisa berbelanja ke toko fisik.
Agar masyarakat bisa berbelanja daring dengan lebih sehat dan bahagia, Gallagher menyarankan untuk tidak terlalu mengejar barang-barang yang tepat dan ”terbaik”. Masyarakat hanya perlu mencukupkan diri dengan pilihan yang ada saja.
Baca juga: Belanja Daring Bisa Bikin Pening
”Jika perlu membeli sesuatu, jangan khawatir soal menemukan barang yang tepat. Penelitian menunjukkan, orang-orang yang membuat keputusan memilih barang yang cukup baik akan merasa lebih bahagia dan tidak terlalu kewalahan,” kata Gallagher.
Belanja secara daring juga dinilai sering membuat otak kewalahan. Guru Besar Psikiatri Klinis pada Stanford Medicine yang juga Direktur Stanford OCD Clinic, Elias Aboujaoude, menjelaskan, berbelanja di internet bisa membuat ketagihan dan menciptakan aliran dopamin.
Aboujaoude, yang mempelajari gangguan pembelian kompulsif atau kecanduan belanja, mengingatkan, keinginan berbelanja bisa dipenuhi lebih cepat karena dilakukan secara daring sehingga lebih sulit untuk ditolak. Risikonya, dapat menghadirkan kecemasan dan depresi (Kompas.id, 16/3/2024).
Tips belanja
Senior Vice President Campaigns, Traffic, and Onsite Marketing Lazada Indonesia Amelia Tediarjo mengatakan, selama bulan Ramadhan, platform lokapasar Lazada bisa mencatatkan kenaikan transaksi hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan hari biasa.
Berdasarkan survei yang digelar Lazada Indonesia baru-baru ini terhadap 600 pelanggan berusia 19-35 tahun, 89 persen di antaranya mengaku kebutuhan untuk Ramadhan cenderung lebih banyak dari bulan-bulan lainnya. Lalu, 88 persen dari total responden mengatakan sudah memiliki perencanaan daftar belanja Ramadhan dari 1-2 minggu sebelum hari pertama puasa.
Amelia menambahkan, di antara pengguna platform Lazada. terdapat kelompok konsumen yang selalu memaksimalkan diskon. Oleh karena itu, tidak heran jika 95 persen dari total responden yang disurvei mengaku telah mencari informasi diskon dan promo belanja selama periode Ramadhan.
Baca juga: Sahur Jadi Waktu Favorit ”Check Out” Belanja Daring
Meningkatnya tren berbelanja daring ini perlu diiringi dengan perilaku konsumen yang lebih cerdas saat membeli barang dan jasa untuk menghindari berbagai kerugian.
Chief Customer Care Officer Lazada Indonesia Ferry Kusnowo mengatakan, sebelum berbelanja, konsumen wajib jeli dan teliti melihat barang yang akan dibeli. Konsumen bisa mencermati foto dan deskripsi tentang barang yang akan dibeli untuk melihat ukuran dan bahan.
Kemudian, konsumen disarankan untuk berkomunikasi dengan penjual melalui platform belanja agar saat ada kendala, petugas layanan konsumen bisa memberikan jaminan transaksi.
Ketika sudah membeli barang, konsumen juga perlu memperkirakan tanggal berapa barang tersebut akan dikirim. Melihat barang tersebut ready atau pre-order juga sangat penting.
Sebelum membeli, konsumen juga bisa menerapkan sejumlah perilaku agar proses belanja tidak terlalu bikin pening. Saat belanja daring, pembeli cenderung khawatir tentang ukuran, tapi yang lebih penting sebenarnya adalah mengetahui bentuk tubuh masing-masing.
Seseorang bisa mencatat ukuran lingkar dada, lingkar panggul, ukuran panjang kaki, dan lainnya di catatan ponsel atau kertas. Namun, jika ragu tentang ukuran pakaian yang harus dibeli, sebaiknya memilih ukuran yang lebih besar.
Kemudian, budgeting atau menentukan anggaran dapat mencegah seseorang untuk melakukan pemborosan saat berbelanja daring. Dengan demikian, seseorang akan fokus kepada apa yang ia cari dengan budget yang tersedia. Misalnya, jika sudah berniat membeli gamis dengan harga di bawah Rp 500.000, harus fokus mencari gamis itu saja.
Jadi, tidak harus pusing untuk belanja keperluan Lebaran secara daring tho? Syukur-syukur malah bisa jadi sarana healing.