Pekerja kelas menengah perlu bijak mengatur THR. Investasi, evaluasi, dan penggunaan fasilitas negara bisa membantu.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
Di tengah zaman yang semakin sarat kebutuhan hidup, tunjangan hari raya ibarat oase yang dirindukan para pekerja, terutama kelas menengah. Di tangan yang tepat, uangnya bakal bermanfaat. Namun, diterima orang dengan bekal literasi tidak cermat, semuanya bakal jauh dari kata hikmat.
Nyaris tidak ada yang tersisa dari tunjangan hari raya (THR) yang diterima Larika (29) dalam dua tahun terakhir. Pada tahun pertama, uang sebesar Rp 1,1 juta digunakan untuk bermain judi online. Pada tahun kedua, ia harus membayar tagihan kredit belanjaannya.
”Uangnya menguap tanpa sisa,” kata Larika, pegawai di perusahaan ritel, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (21/3/2024).
Tahun ini, ia tidak ingin kejadian yang sama terulang lagi. Rencananya, uang THR tahun ini akan menjadi titik balik untuk berubah. Sebagian besar akan digunakan untuk modal kawin. Namun, bisa jadi keinginan itu menemukan tembok besar. Hingga kini, dia masih kesulitan melepaskan kebiasaan bermain judi online.
Kamis siang itu, misalnya, dia lagi-lagi kalah. Larika rugi Rp 150.000. Teman-temannya sesama penggila judi online tidak banyak membantu. ”Tenang, THR sebentar lagi,” teriak mereka.
Candu judi online yang diderita Larika jelas anomali dari bijak mengelola keuangan. Di tengah penghasilan yang pas-pasan, Rp 1,8 juta per bulan, dia masih saja memuaskan nafsunya pada permainan yang ujungnya hanya akan berlumur kekalahan. THR yang seharusnya menjadi harapan ujungnya hanya uang sekadar lewat tanpa arti.
Perencanaan keuangan
Pengamat keuangan dari Universitas Palangka Raya, Dicky Perwira Ompusunggu, menjelaskan, THR merupakan hak pekerja yang harus dibayarkan perusahaan. Namun, pekerja, terutama kelas menengah dengan penghasilan tidak jauh dari upah minimum di daerahnya, dituntut bijak agar THR bisa benar-benar bermanfaat.
Merujuk laporan Bank Dunia bertajuk ”Aspiring Indonesian-Expanding the Middle Class” yang dirilis Januari 2020, satu dari lima masyarakat Indonesia adalah kelas menengah. Kelas menengah ini tumbuh lebih cepat dibandingkan kelompok lainnya.
Secara populasi, jumlah mereka mencapai 52 juta jiwa atau 20 persen dari total penduduk. Jumlah kelas menengah Indonesia meningkat luar biasa seiring turunnya tingkat kemiskinan dalam dua dekade terakhir.
Evaluasi pascahari raya penting untuk melihat sejauh mana rencana yang dibuat itu dijalankan. Evaluasi ini bisa melihat celah yang seharusnya bisa ditutupi tahun berikutnya sehingga bisa jauh lebih baik tahun ke tahun. (Dicky Perwira Ompusunggu)
Oleh karena itu, Dicky mengajak mereka menyiapkan perencanaan keuangan. Isinya daftar kebutuhan yang menjadi prioritas utama. Bila kesulitan, banyak aplikasi keuangan bisa membantu saat menyusun perencanaan.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis itu menyarankan, pekerja kelas menengah juga tidak malu menggunakan fasilitas atau ”promo” dari negara. Dia mencontohkan mudik dan sembako gratis. Tujuannya agar THR bisa dimaksimalkan untuk kebutuhan yang penting.
”Kalau mau berbelanja, tetap harus sesuai kebutuhan,” katanya.
Sisa dari THR, menurut Dicky, lebih baik diinvestasikan. Investasi punya beragam rupa. Namun, ia menyarankan investasi emas. ”Nilai emas bakal lebih tinggi ketimbang membeli mobil atau baju,” ungkapnya.
Tips selanjutnya, katanya, adalah evaluasi. Evaluasi pascahari raya penting untuk melihat sejauh mana rencana yang dibuat itu dijalankan.
”Evaluasi ini bisa melihat celah yang seharusnya bisa ditutupi tahun berikutnya sehingga bisa jauh lebih baik tahun ke tahun,” ujar Dicky.
Investasi
Meski tidak saling kenal, saran dari Dicky sedikit banyak sudah dijalankan Noviyanti (27), warga Pahandut, Kota Palangkaraya. Dia bekerja di sebuah perusahaan distributor dan berkantor di sebuah gudang penyimpanan barang.
Setiap bulan, ia masih menerima upah sedikit di bawah UMR Kota Palangkaraya. UMR Kota Palangkaraya sebesar Rp 3,2 juta.
Akan tetapi, di tengah keterbatasan itu, Noviyanti cukup telaten mengatur keuangan. Setiap bulan, upahnya dibagi menjadi tabungan dan pengeluaran bulanan. Karena masih tinggal bersama orangtua, dirinya bisa lebih banyak menabung. Perlakuan serupa dilakukan setiap dia menerima THR.
Setiap tahun, ia menginvestasikan uangnya di saham. Tamatan jurusan akuntansi di Universitas Palangka Raya itu sudah mempelajari soal tabungan, pendapatan, hingga saham sejak di bangku kuliah. THR, kata Noviyanti, sangat membantunya menyusun rencana keuangan terbaik.
”Belajar dari Youtube juga,” ungkap Noviyanti yang mengaku sudah memiliki cukup uang dari sejumlah perencanaan keuangannya itu.
Akan tetapi, tidak butuh lulusan perguruan tinggi untuk bisa mengatur keuangan. Yon (22), misalnya, hanya lulusan SMP di Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Namun, Yon, yang kini bekerja sebagai buruh sawit di Kalteng dengan bayaran Rp 1,7 juta per bulan, belajar sedikit demi sedikit tentang menghemat pendapatan.
Setiap gajian, Yon rutin mengirim uang ke kampung untuk biaya hidup anak dan istrinya. Di tanah rantau, ia memilih berhemat. Mengaku jarang jajan, ia cukup puas dengan beras jatah perusahaan, memancing ikan di sungai, hingga mencari sayur hutan.”Sesekali kalau lagi ingin, saya beli ayam dan masak sendiri. Dengan begitu, saya bisa menghemat penghasilan,” kata Yon.
Menjelang hari raya tahun ini, ia kemungkinan bakal mendapat uang lebih. Untuk pertama kalinya, ia dijanjikan bakal mendapat THR. Meski belum tahu pasti berapa banyak yang bakal dia dapatkan, ia sudah punya rencana.
”Kalau dapat, nanti mau saya kirim ke istri di Flores supaya kami bisa menabung untuk kepentingan mendesak,” ungkap Yon.
Bukan zamannya lagi THR menjadi sarana memuaskan beragam keinginan hanya di hari raya. Kini, dengan pemanfaatan yang tepat, THR bisa ikut menjamin keuangan yang aman di masa depan.