Internet Picu Kekhawatiran Orangtua, Literasi Digital Makin Dibutuhkan
Riset Google sepanjang Desember 2020 hingga Januari 2021 menyebut, sebanyak 51 persen orangtua di Indonesia khawatir dengan keamanan siber, khususnya ketika anak mereka bersekolah daring selama pandemi Covid-19.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan internet sebagai penunjang kegiatan anak selama pandemi memicu kekhawatiran orangtua, misalnya kejahatan siber. Literasi digital untuk semua anggota keluarga diperlukan agar internet menjadi ruang aman bagi anak.
Menurut riset yang dilakukan Google pada Desember 2020 hingga Januari 2021, sebanyak 51 persen orangtua di Indonesia khawatir dengan keamanan siber, khususnya ketika anak mereka bersekolah daring selama pandemi. Sebanyak 42 persen orangtua punya tiga kekhawatiran. Pertama, keamanan informasi anak di dunia maya. Kedua, anak-anak mendapat perhatian dari orang tak dikenal. Ketiga, anak-anak melihat konten yang tidak pantas.
”Orangtua perlu dibantu agar bisa memandu anak memanfaatkan internet dengan aman dan positif. Ada beberapa fitur daring yang bisa digunakan untuk mengawasi aktivitas internet anak. Tapi, itu saja tidak cukup. Kebiasaan digital yang baik dan benar perlu ditumbuhkan. Itu butuh komitmen seluruh anggota keluarga,” tutur Kepala Kebijakan Publik dan Hubungan Pemerintahan Google Indonesia Putri Alam, dalam pembukaan program Keluarga Tangkas Berinternet, secara daring, Senin (9/2/2021).
Program itu diluncurkan Google Indonesia menjelang Hari Aman Berinternet Sedunia (Safer Internet Day) pada 09 Februari tahun ini. Program ini antara lain berisi webinar berseri yang terbuka bagi publik.
Produk Google, seperti Google Search dan Youtube, diperuntukkan bagi orang berusia di atas 13 tahun. Anak yang belum cukup umur dapat menggunakan produk dengan pendampingan orangtua. Sejumlah fitur bisa digunakan untuk membantu orangtua mengawasi aktivitas internet anak, seperti Family Link, Safe Search, dan Youtube Kids.
Pendiri Yayasan Sejiwa, Diena Haryana, menilai pola asuh digital menjadi penting. Peran orangtua perlu diperkuat agar internet jadi wahana aman bagi anak untuk mencari informasi dan menggali potensi diri. Untuk itu, kedekatan orangtua dan anak perlu dibangun sejak dini.
”Tidak bisa dimungkiri bahwa anak ada di dua dunia, yakni dunia nyata dan digital. Peran orangtua perlu diperkuat. Keamanan dan perlindungan anak perlu diupayakan di dua dunia ini,” tutur Diena.
Risiko
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat ada tiga risiko yang dihadapi anak di dunia maya. Pertama, kekerasan siber, termasuk eksploitasi seksual secara daring, paparan konten radikalisme, dan konten eksplisit. Kedua, adiksi siber, baik terhadap gim daring, penggunaan gawai, hingga pornografi. Ketiga, perundungan siber.
Hal serupa tampak dari survei Yayasan Plan International terhadap 14.000 responden anak dan remaja di 31 negara pada 2020. Dari jumlah itu, 500 orang di antaranya anak Indonesia. Hasilnya, lebih dari setengah responden mengalami pelecehan dan kekerasan secara daring. Adapun 1 dari 4 anak perempuan mengalami kekerasan daring.
Kekerasan daring dialami anak dan remaja perempuan di berbagai media sosial. Sebanyak 39 persen kekerasan terjadi di Facebook dan 23 persen di Instagram.
”Fokus kami adalah melindungi anak di ranah daring. Ada beberapa program nasional yang dilakukan, seperti Internet Aman untuk Anak (Teman Anak). Program ini bekerja sama dengan pemda dan forum anak di seluruh Indonesia. Ada juga Pusat Informasi Sahabat Anak dan pusat pembelajaran keluarga di tiap kabupaten/kota,” papar Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ciput Eka Purwianti.
Perlindungan bagi anak di ranah siber menjadi penting karena mayoritas anak-anak masa kini menggunakan internet. Data Unicef menyebut 1 dari 3 pengguna internet di dunia adalah anak berusia di bawah 18 tahun. Adapun data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 menyebut 25,6 persen pengakses internet adalah anak berusia 5-18 tahun.
Ciput menekankan pentingnya pola asuh yang baik dari orangtua. Pola asuh ini termasuk memberi literasi digital bagi anak. Untuk itu, orangtua perlu terus belajar mengikuti perkembangan teknologi, kemudian membimbing anak memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan minat anak.
Koordinator Peserta Didik Direktorat SMP Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Maulani Mega Hapsari menilai, literasi digital harus diberi pada orangtua dan anak. Kemendikbud menyiapkan sejumlah materi untuk itu, salah satunya buku panduan berkomunikasi tentang pemanfaatan teknologi dengan anak.
Tenaga Ahli Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika Bhredipta Socarana mengatakan, pemerintah berupaya membuat lingkungan digital yang bersih dan aman bagi anak. Ini dilakukan dengan patroli siber selama 24 jam, memantau media sosial, hingga situs-situs di internet.
Menurut Ketua Umum Siberkreasi Yosi Mokalu, anak dan orangtua perlu diajarkan tentang jejak digital. Jejak digital tidak hanya foto, video, dan caption yang diunggah ke internet, tetapi juga komentar di unggahan orang lain. Jejak digital yang negatif bisa berdampak ke masa depan, misalnya kesulitan mencari pekerjaan.
”Literasi digital, kan, pelajaran. Perlu ada pendekatan personal agar anak paham mengapa pelajaran itu penting. Itu sebabnya komunikasi dan kepercayaan antara orangtua dan anak perlu dibangun. Orangtua pun harus mau belajar dasar-dasar literasi digital,” ucap Yosi.