Gawai tidak hanya menjadi alat komunikasi anak dan orangtua, tetapi juga hiburan bagi anak. Di sisi lain, ancaman dari selancar di dunia maya masih menganga. Kebijaksanaan orangtua memegang peranan penting.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak dan gawai saat ini ibarat dua hal yang sulit dilepaskan. Gawai tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga sebagai sarana belajar-mengajar di era pandemi Covid-19 serta sebagai alat hiburan. Di sisi lain, ancaman dari selancar di dunia maya masih menganga. Kebijaksanaan orangtua dalam memberikan akses gawai ke anak memegang peranan penting.
Sindu Rahayu (41) sudah memberikan gawai kepada anak bungsunya yang kini duduk di kelas VI SD. Aneira, anak bungsu Sindu, sudah diberi gawai sejak berusia sembilan tahun atau kelas III SD.
Pertimbangan Sindu untuk memberikan gawai karena Aneira memiliki aktivitas di luar sekolah, seperti les. Oleh sebab itu, Sindu perlu berkomunikasi dengan anaknya setiap saat.
”Selain itu, untuk kebutuhan mengirim gambar dan foto karena kebetulan saya dan suami sering keluar kota sehingga perlu untuk saling bertukar informasi dengan anak-anak. Tentu dengan komitmen bahwa gawai yang diberikan adalah ’alat bantu’ sehingga keberadaannya harus membantu, bukan malah menjadi kerja tambahan,” kata Sindu, ketika dihubungi Senin (20/7/2020).
Ibu dua anak ini menyadari ada ancaman dunia maya. Karena itu, ia dan suami memantau gawai Aneira. Mereka mengaku menyelidiki nomor siapa saja yang disimpan, dengan siapa saja Aneira berkomunikasi, hingga foto apa saja yang berada di ponsel anaknya.
Nonaktifkan medsos
Aneira, katanya, pernah punya akun di media sosial karena terbawa oleh teman-temannya. Sindu langsung menonaktifkan akun Aneira ketika dia tahu si anak memiliki akun media sosial. Menurut dia, Aneira belum perlu memiliki akun di media sosial. ”Aplikasi yang diunduh pun harus dengan atas seizin orangtua,” katanya.
Sindu menekankan betul kepada anaknya bahwa gawai hanya alat bantu. Jadi, unsur kemanfaatan dari gawai menjadi titik pijak. Dengan pengertian ini, Sindu bisa menerapkan kontrol terhadap Aneira tanpa mendapat protes dari anaknya.
”Intinya, sih, dia gunakan dengan normal, dengan batasan berdasarkan pengertian, dia harus dapat manfaat. Apalagi sekarang dengan pembelajaran jarak jauh, gawai menjadi sangat perlu,” jelasnya.
Dalam berita utama Kompas, 20 Juli 2020, disebutkan bahwa anak-anak korban kekerasan dalam keluarga mencari sandaran di media sosial untuk lari dari luka batin yang mereka alami. Selain rentan dieksploitasi dan menjadi sasaran kejahatan pornografi, trauma kekerasan di masa kecil berpotensi terbawa hingga dewasa karena tak tertangani dengan baik sejak awal. Akibatnya, kekerasan terhadap anak menjadi lingkaran setan.
Orangtua lainnya, Anita (33), menuturkan, anaknya yang kini berusia delapan tahun sudah jarang bermain gawai. Dulu, sewaktu berusia lima tahun, anaknya lumayan intens meminjam gawainya.
”Tapi seiring makin bertambah usia, dia pun punya kegiatan lain di luar rumah. Jadi ngefek ke berkurangnya waktu main gawai,” ujar perempuan yang tinggal di Bogor, Jawa Barat.
Agar si anak tidak terpapar gawai, Anita dan suami sepakat untuk mengurangi penggunaan gawai di rumah, terutama sewaktu akhir pekan. Untuk hiburan visual, anaknya kini menonton Youtube Kids. Durasi menonton dalam sehari maksimal dua jam.
Marantina (31), orangtua yang berdomisili di Jakarta Utara, menjelaskan, dia sudah memperkenalkan gawai ketika anaknya berusia 1,5 tahun. Saat itu, si anak mulai tertarik melihat foto dan video. Kini, anaknya sudah berusia tiga tahun. ”Di umur tiga tahun ini, ada kesepakatan bisa nonton video Youtube di gawai papanya setiap Sabtu,” katanya.
Di luar hari Sabtu, si anak sebenarnya berupaya untuk meminjam gawai. Berhubung Marantina memberikan syarat yang berat, si anak akhirnya mengurungkan niat untuk meminjam gawai. ”Kalau mau minjem, harus pel dulu rumah mama, udah dia mundur,” katanya.
Marantina dan suami berencana akan memberikan gawai ketika si anak masuk SD. Ini karena ada kebutuhan untuk berkomunikasi dengan si anak. ”Tetapi untuk awal kayanya bukan ponsel, tapi jam tangan yang bisa untuk menelepon itu,” tambahnya.
Di luar hari Sabtu, si anak sebenarnya berupaya untuk meminjam gawai. Berhubung Marantina memberikan syarat yang berat, si anak akhirnya mengurungkan niat untuk meminjam gawai. ”Kalau mau minjem, harus pel dulu rumah mama, udah dia mundur,” katanya.
Batasi waktu pegang gawai
Psikolog anak dan keluarga Saskhya Aulia Prima menjelaskan, anak sudah bisa dikenalkan dengan video interaksi dua arah ketika berusia 18 bulan hingga 2 tahun. Tetapi, hal ini juga harus diimbangi dengan kegiatan fisik agar perkembangan kecerdasan anak tidak terganggu.
Pendiri tigagenerasi.id ini menjelaskan, anak yang terlalu lama menonton video di gawai membuat konsentrasi berkurang. ”Dalam video itu, perpindahan gambar itu, kan, sangat cepat sehingga membuat rentang fokus anak menjadi berkurang. Idealnya, anak usia lima tahun maksimal menonton video satu jam per hari,” lanjutnya.
Selain itu, terlalu sering main gim membuat anak berpotensi terkena tantrum. Keluhan ini sering ditemui dari orangtua yang berkonsultasi kepadanya. Main gim daring pun, lanjutnya, mengurangi daya juang anak.
Mengontrol penggunaan gawai, katanya, akan lebih kompleks ketika si anak beranjak remaja. Orangtua tidak boleh terlalu mengintervensi ketika remaja menggunakan gawai. Sebab, anak harus tetap diberi ruang privasi.
Remaja sekarang sudah pintar. Kalau terlalu dibebani dengan aturan dan larangan, dia bakal mencari ’jalan ninjanya’ sendiri.
Tantangannya adalah membangun komunikasi secara terbuka dengan anak. Jangan sampai si anak menanyakan hal-hal krusial dan penting kepada orang asing melalui lingkar pertemanan di media sosial. Untuk itu, ruang komunikasi antara anak dan orangtua harus terbuka.
”Remaja sekarang sudah pintar. Kalau terlau dibebani dengan aturan dan larangan, dia bakal mencari ’jalan ninjanya’ sendiri,” jelasnya