Kisah ”Tiga Gol” RI dalam Tiga Isu Utama WTO
Masih ada kesempatan untuk mengaktifkan Badan Banding WTO, serta mempertahankan cadangan pangan dan subsidi perikanan.
Indonesia belum berhasil melesakkan ”tiga gol” kepentingan nasional di tiga isu utama Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO Ke-13. Ketiga isu itu adalah pengaktifan kembali Badan Banding WTO, subsidi perikanan, dan cadangan pangan nasional.
Meski begitu, sikap RI dan sejumlah negara anggota WTO lain yang memiliki kepentingan sama mampu memandulkan hasil kesepakatan ketiga isu utama tersebut. Khusus isu subsidi perikanan, gol dari Republik Indonesia (RI) berpotensi kandas.
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Ke-13 WTO digelar di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, pada 26 Februari-2 Maret 2024. Dalam KTM itu, anggota WTO bertambah menjadi 166 negara setelah Timor Leste dan Komoro resmi bergabung.
Meskipun KTM tersebut menghasilkan sejumlah putusan dan deklarasi menteri, pembahasan ketiga isu utama belum membuahkan hasil signifikan. Dalam pembahasan isu reformasi WTO, masih belum ada kesepakatan mengaktifkan kembali Badan Banding WTO.
Pembahasan perlunya cadangan pangan (public stock holding) dalam rangka ketahanan pangan negara juga masih menuai pro dan kontra. Perjanjian Subsidi Perikanan WTO juga belum bisa diimplementasikan lantaran jumlah negara yang meneken instrumen penerimaan belum sesuai syarat.
Baca juga: Pertemuan WTO Ditutup Tanpa Menghasilkan Terobosan Berarti
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Djatmiko Bris Witjaksono, Selasa (5/3/2024), mengatakan, RI dan sejumlah negara lain terus mendesak agar Badan Banding WTO kembali diaktifkan sepenuhnya. Namun, Amerika Serikat masih belum mau menunjuk hakim baru Badan Banding WTO.
”Kondisi itu menyebabkan kasus-kasus sengketa negara-negara anggota WTO mandek di Badan Banding. Hal itu termasuk upaya banding RI atas kasus sengketa dengan Uni Eropa (UE) terkait larangan ekspor bijih nikel,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta.
Baca juga: RI Resmi Ajukan Banding Sengketa Nikel ke WTO
Indonesia, lanjut Djatmiko, tidak akan mengikuti sejumlah negara anggota WTO yang melanjutkan kasus sengketa melalui mekanisme Arbitrase Banding Sementara Multi-Pihak (MPIA). Alasannya, lembaga banding yang diinisiasi Uni Eropa itu tidak masuk dalam kelembagaan WTO, tidak banyak negara yang memanfaatkan, dan memiliki prosedur penyelesaian banding tersendiri yang lebih rumit.
”Kami tidak ingin bereksperimen mengajukan banding melalui MPIA. Kami tetap akan terus mendorong pengaktifan kembali Badan Banding WTO dalam pertemuan-pertemuan WTO non-KTM sepanjang tahun ini,” katanya.
Badan Banding WTO mandul sejak 11 Desember 2019. Hal itu terjadi lantaran Amerika Serikat memblokir penunjukan hakim baru lembaga tersebut. Sebagai gantinya, 47 negara anggota WTO membentuk MPIA pada 30 April 2020.
Indonesia tidak akan mengikuti sejumlah negara anggota WTO yang melanjutkan kasus sengketa melalui mekanisme Arbitrase Banding Sementara Multi-Pihak (MPIA).
Cadangan pangan
Sementara itu, terkait isu subsidi pertanian, Djatmiko mengungkapkan komitmen RI mempertahankan pentingnya cadangan pangan sebuah negara dalam rangka ketahanan pangan. Hal itu telah dilakukan RI bersama negara-negara G33 sejak KTM Ke-9 WTO di Bali pada 2013. Meskipun belum ada solusi permanen atas persoalan itu, dalam dua tahun terakhir, RI berhasil merangkul 80 negara anggota WTO lain untuk memperjuangkan pentingnya cadangan pangan.
”Saat ini, isu pangan, termasuk cadangan pangan, sangat penting dan semakin strategis. Hal itu mengingat dunia tengah menghadapi tantangan perubahan iklim, pertambahan populasi, restriksi pangan, dan hambatan jalur maritim logistik pangan,” kata Djatmiko.
Hal serupa juga diserukan Badan Pangan Nasional (Bapanas) dalam Senior Officials Meeting WTO di Geneva, Swiss, pada 23-24 Oktober 2023. Bapanas menekankan pentingnya cadangan pangan bagi ketahanan pangan dunia, terutama di negara-negara berkembang dan kurang berkembang, termasuk Indonesia.
Dalam kesempatan itu, Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Bapanas Rachmi Widiriani menuturkan, Indonesia sebagai negara kepulauan tengah menghadapi dampak perubahan iklim, yakni El Nino. El Nino telah menyebabkan musim kemarau ekstrem di Indonesia sehingga produksi pangan dalam negeri turun.
”Untuk itu, cadangan pangan pemerintah (CPP) sangat dibutuhkan. Bapanas tengah berfokus memperkuat CPP melalui mekanisme serapan pangan dalam negeri dengan mengoptimalkan peran badan usaha milik negara, yakni Bulog dan ID Food, sebagai offtaker hasil produksi petani, peternak, dan nelayan,” katanya melalui siaran pers di Jakarta.
Selain RI, India juga turut mendukung pentingnya cadangan pangan bagi ketahanan pangan sebuah negara. Negara tersebut bahkan tidak segan untuk membatasi ekspor gandum dan beras jenis tertentu akibat gangguan produksi untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Baca juga: Semoga Tak Menjadi Dongeng
Subsidi perikanan
Sementara itu, terkait isu subsidi perikanan, Djatmiko menjelaskan, Indonesia memang turut serta dalam pembahasan hingga dicapainya kesepakatan Perjanjian Subsidi Perikanan pada KTM Ke-12 WTO di Geneva. Dalam hal pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal dan berlebihan, termasuk di perairan negara lain, Indonesia menyepakatinya.
Namun, terkait dengan larangan subsidi yang menyangkut nelayan, termasuk subsidi bahan bakar minyak, Indonesia menolaknya. Hal itu lantaran mayoritas nelayan di Indonesia adalah nelayan kecil yang masih membutuhkan bantuan dan subsidi.
”Hingga saat ini, kami belum meratifikasi perjanjian itu dan belum menandatangani instrumen penerimaan implementasi konsensus tersebut,” kata Djatmiko.
Jika persyaratan implementasi itu terpenuhi, gol Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan nelayan nasional bisa gagal.
Perjanjian itu baru dapat diimplementasikan setelah disetujui minimal dua pertiga negara anggota WTO. Dalam KTM Ke-13 WTO, sebanyak 71 negara dari 166 negara anggota WTO telah menandatangani instrumen penerimaan.
Dengan begitu, WTO masih membutuhkan penerimaan 39 negara lagi untuk mengimplementasikan perjanjian itu. Namun, jika persyaratan implementasi itu terpenuhi, gol Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan nelayan nasional bisa gagal.
Djatmiko menegaskan, RI tetap akan berupaya mengejar pentingnya solusi permanen berupa pengecualian larangan subsidi bagi negara-negara berkembang. Pendekatan dengan negara-negara anggota WTO lain yang memiliki kepentingan yang sama akan terus dilalukan.
Baca juga: Kelompok Nelayan Kecil Tolak Rencana WTO Larang Subsidi Perikanan
RI bersikeras memperjuangkan kepentingan nasional terkait isu itu lantaran perjanjian tersebut juga memuat larangan terhadap delapan jenis subsidi perikanan. Beberapa di antaranya mencakup subsidi renovasi atau peningkatan kapal; pembelian mesin dan peralatan kapal, termasuk alat tangkap; dan biaya bahan bakar, es, atau umpan. Sejumlah larangan itu dikecualikan bagi negara-negara kurang berkembang.
Deputi Pengelolaan Pengetahuan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Fikerman Saragih berpendapat, sejumlah larangan subsidi WTO itu bertentangan dengan regulasi Indonesia. Indonesia mengatur subsidi sektor perikanan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
Dalam UU itu, pemerintah wajib memberikan subsidi bahan bakar, asuransi perikanan, asuransi jiwa, dan mewujudkan harga ikan yang menguntungkan nelayan. Jika menyetujui kesepakatan WTO itu, RI berarti harus meratifikasi UU tersebut sehingga nelayan tidak akan mendapatkan subsidi tersebut sebagaimana mestinya.
”Pertandingan” di WTO menyangkut tiga isu utama itu masih belum usai. RI bersama negara-negara yang memiliki kepentingan sama masih berkesempatan melesakkan ”tiga gol” kepentingan nasional dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya.
Baca juga: Dilema Subsidi Perikanan