RI resmi banding kasus sengketa nikel melawan UE ke Badan Banding WTO untuk mempertahankan hilirisasi nikel guna menopang industri baterai kendaraan listik. Bersamaan dengan itu, UE tengah merivisi regulasi baterai.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia resmi mengajukan banding atas kasus sengketa nikel melawan Uni Eropa ke Badan Banding Organisasi Perdagangan Dunia atau AB WTO. Indonesia menilai kesimpulan Badan Penyelesaian Sengketa WTO keliru dan meminta AB WTO mengkaji kembali dan membalikkan kesimpulan itu.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono mengatakan, RI resmi mengajukan banding ke AB WTO pada 8 Desember 2022. Dalam surat pengajuan banding itu, RI menilai kesimpulan panel Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO keliru.
”Indonesia tidak sependapat dengan pandangan dan keputusan panel DSB WTO,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (14/12/2022).
RI resmi mengajukan banding ke AB WTO pada 8 Desember 2022. Dalam surat pengajuan banding itu, RI menilai kesimpulan panel DSB WTO keliru.
Djatmiko juga menegaskan, RI hanya akan menempuh banding melalui AB WTO, dan tidak akan menempuh jalur lain. Selama ini, RI mendukung penuh mekanisme penyelesaian sengketa (DSM) WTO.
Bukan salah RI jika sampai saat ini AB WTO masih vakum. WTO harus mempertanyakan dan menyelesaikan persoalan itu dengan pihak-pihak yang menghambat berfungsinya AB WTO.
”Kebijakan larangan ekspor bijih nikel RI dan hilirisasinya masih akan berjalan. Sebab, masih belum ada keputusan yang mengikat atau inkracht sampai panel AB WTO mengeluarkan keputusan,” katanya.
Pada 12 Desember 2022, WTO resmi mengumumkan pengajuan keberatan RI atas kesimpulan final DSB WTO kepada para anggota melalui dokumen nomor WT/DS592/6. Sebelumnya, hasil laporan final panel pada 30 November 2022, DSB WTO memutuskan RI melanggar Pasal XI Ayat (1) Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GATT) WTO Tahun 1994. Kebijakan RI itu juga tidak dapat dijustifikasi atau dikecualikan dengan Pasal XI Ayat (2a) dan XX (d) GATT 1994.
Dalam surat permohonan banding yang diajukan ke Sekretariat AB WTO pada 8 Desember 2022 itu, RI menilai kesimpulan panel DSB WTO atas larangan ekspor bijih besi dan pengolahan bijih ekspor untuk kebutuhan di dalam negeri yang dilakukan RI keliru. RI beragumen bahwa DSB keliru menafsirkan dan menerapkan pasal-pasal GATT 1994 tersebut.
RI melarang ekspor bijih nikel benar-benar untuk diolah guna memenuhi kebutuhan industri di dalam negeri. Pengolahan bijih nikel di dalam negeri itu tidak dapat dikategorikan sebagai larangan atau pembatasan sementara untuk mencegah atau meringankan kekurangan kritis bahan esensial bagi Indonesia.
RI juga berpendapat, kesimpulan panel tidak menemukan tindakan alternatif seperti diusulkan UE tentang sistem otorisasi ekspor dalam rangka membangun tata kelola nikel berkelanjutan keliru. RI sudah mengatur syarat untuk memastikan kepatuhan terhadap tata kelola nikel berkelanjutan itu dalam Pasal 96 (c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Sejumlah poin dalam surat permohonan banding itu sebenarnya menegaskan kembali pembelaan RI dalam panel DSB WTO. Indonesia membutuhkan bijih nikel di dalam negeri untuk memasok kebutuhan bahan baku besi dan baja nirkarat.
Bijih nikel tersebut juga akan diolah untuk menopang pembangunan ekosistem baterai kendaraan listrik nasional. Indonesia juga mengedepankan pentingnya menata kembali penambangan dan pengolahan hasil tambang berkelanjutan atau berorientasi pada lingkungan.
Dalam rapat kerja dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu, Menteri Investasi dan juga Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menuturkan, hilirisasi nikel Indonesia merupakan harga mati karena memberikan nilai tambah. Oleh karena itu, Indonesia harus banding ke WTO dalam sengketa nikel melawan UE.
”Indonesia harus menjadi negara berdaulat. Negara kita ini sudah merdeka, tidak boleh ada yang mengintervensi negara kita. Masa yang lain boleh mainkan seperti itu, kita tidak boleh,” tuturnya.
Regulasi baterai UE
Sementara itu, di saat RI tengah mengembangkan ekosistem kendaraan listrik, termasuk baterai, UE menggulirkan atau memperbarui regulasi untuk merealisasikan Kesepakatan Hijau Eropa (European Green Deal). Salah satunya adalah merevisi regulasi Arahan Baterai Eropa 2006 berdasarkan usulan proposal Komisi UE pada Desember 2020.
Pada 9 Desember 2022, Parlemen dan Dewan UE telah sepakat, semua baterai di pasar UE harus mengedepankan prinsip berkelanjutan, sirkular, dan keamanan. Baterai tersebut tidak hanya diuji kinerja dan daya tahannya, tetapi juga harus memenuhi persyaratan jejak karbon dan daur ulang.
Syarat daur ulang baterai portabel maupun kendaraan listrik ini cukup berat. Produsen baterai diminta dapat membuktikan bahwa komponen-kompenen baterai, seperti tembaga, kobalt, litium, nikel, dan timah, dapat dipulihkan atau digunakan kembali.
Syarat daur ulang baterai portabel ataupun kendaraan listrik ini cukup berat. Produsen baterai diminta dapat membuktikan bahwa komponen-kompenen baterai, seperti tembaga, kobalt, litium, nikel, dan timah, dapat dipulihkan atau digunakan kembali.
UE akan memperkenalkan regulasi baru itu secara bertahap mulai 2024. Adapun kerangka peraturan yang lebih komprehensif terkait tanggung jawab produsen baterai akan digulirkan dan diterapkan pada pertengahan 2025.
Wakil Presiden Eksekutif untuk Kesepakatan Hijau Eropa Frans Timmermans mengatakan, baterai memainkan peran yang semakin penting dalam kehidupan, baik untuk menggerakkan mobil, sepeda, peralatan rumah tangga, maupun penggunaan lainnya. Oleh karena itu, baterai harus ramah lingkungan dan mudah didaur ulang.
”Kesepakatan yang dicapai hari ini menetapkan aturan yang jelas untuk mendukung peningkatan penggunaan dan produksi baterai, dan memastikannya dilakukan dengan cara yang aman, sirkular, dan berkelanjutan,” ujarnya melalui siaran pers.