Regulasi Hijau UE Bisa Buat RI Makin Transparan dan Pindah Pasar
Implementasi regulasi hijau Uni Eropa bisa membantu RI meningkatkan transparansi dan pengelolaan komoditas berkelanjutan. Implementasi itu juga bisa bakal merepotkan sehingga pelaku usaha RI memilih pindah pasar.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rentetan guliran regulasi hijau Uni Eropa menuai tanggapan positif dan negatif pelaku usaha dan petani Indonesia. Di satu sisi, regulasi itu bisa mendorong transparansi dan pengelolaan komoditas berkelanjutan. Di sisi lain, aturan itu memungkinkan pelaku usaha RI memindah pasar ekspor di luar Uni Eropa.
Pada 6 Desember 2022, UE telah melahirkan undang-undang produk bebas deforestasi. Regulasi itu menyasar minyak sawit, sapi, kedelai, kopi, kakao, kayu, dan karet, berserta produk turunannya seperti daging, furnitur, kertas, kulit, dan cokelat.
Regulasi itu berbasis sistem uji tuntas (due diligence) yang akan diimplementasikan menggunakan e-paspor produk. Tujuannya memastikan komoditas tertentu yang masuk pasar UE tidak berasal dari lahan yang terdeforestasi setelah 31 Desember 2020.
UE juga telah memiliki Arah Kebijakan Energi Terbarukan (RED) II yang akan dilanjutkan dengam RED III. Selain itu, UE tengah mematangkan skema tarif preferensi umum plus (GSP+) dan Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (CBAM).
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto, Kamis (8/12/2022), mengatakan, regulasi hijau UE itu akan membuat tata kelola komoditas di RI semakin baik dan transparan. Meski telah mengadopsi Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO), masih banyak tandan buah segar (TBS) sawit yang masuk ke pabrik pengolahan kelapa sawit tidak berbasis sistem ketertelusuran.
”Regulasi UE dapat memicu RI memperbaiki data perkebunan dan petani kelapa sawit yang benar-benar telah menerapkan tata kelola sawit berkelanjutan,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
Di sisi lain, kata Darto, UE, pemerintah RI, dan pengusaha juga harus berkomitmen mendukung para petani sawit rakyat mengembangkan praktik tata kelola sawit berkelanjutan. Dalam UU produk bebas deforestasi, produk yang masuk UE tidak hanya wajib mengedepankan aspek lingkungan, tetapi juga hak asasi manusia dan masyarakat adat atau lokal.
Pada akhir November 2022, SPKS bertemu UE di Brussels, Belgia. SPKS menyampaikan petani swadaya telah menerapkan sistem ketertelusuran TBS. Oleh karena itu, SPKS berharap petani swadaya diakui secara hukum dan dalam rantai pasok sawit di kawasan UE.
”UE perlu memberikan dukungan kepada petani swadaya melalui perdagangan dan investasi. Termasuk juga turut memantau mekanisme penetapan harga TBS di tingkat petani yang kerap merugikan petani swadaya,” kata Darto.
UE perlu memberikan dukungan kepada petani swadaya melalui perdagangan dan investasi. Termasuk juga turut memantau mekanisme penetapan harga TBS di tingkat petani yang kerap merugikan petani swadaya.
Ketua Presidium Himpunan Pengusaha Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Abdul Sobur berharap agar UE juga bisa menerima standardisasi produk ramah lingkungan Indonesia. Di sektor industri mebel dan kerajinan, Pemerintah RI telah menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang juga mengadopsi sistem uji tuntas.
”Dengan begitu, pelaku usaha RI tidak perlu lagi mengurus sertifikat Dewan Pengelolaan Hutan (Forest Stewardship Council/FSC) UE,” katanya.
Director of Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) Agus Purnomo mengemukakan, implementasi UU produk bebas deforestasi itu bakal merepotkan pelaku usaha. Teknis pelaksanaannya masih belum detail, bakal rumit, dan berbiaya tinggi.
Kalaupun mau dilawan melalui forum bilateral atau multilateral, kemungkinan bisa memengaruhi UE sangat kecil. Boleh dikata bahwa EU telah meninggalkan atau menutup pintu bagi Indonesia.
”Dalam pelaksanaan RED II saja, biodiesel sawit RI jelas ditutup. Peluang Indonesia adalah membuka pasar-pasar alternatif selain EU,” ujarnya dalam Diskusi Grup Terfokus ”Deforestation Free Supply Chain European Union” yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rabu lalu.
Kalaupun mau dilawan melalui forum bilateral atau multilateral, kemungkinan bisa memengaruhi UE sangat kecil. Boleh dikata bahwa EU telah meninggalkan atau menutup pintu bagi Indonesia.
Menurut Agus, banyak negara di UE yang mulai menerapkan kebijakan nol biodiesel sawit pada 2023. Namun, kebijakan itu sebenarnya banyak dikeluhkan oleh pelaku usaha negara-negara tersebut.
Pelaku industri di Italia, misalnya. Banyak yang bergantung pada biodiesel sawit. Pada saat energi baru terbarukan itu dikurangi, beberapa di antara mereka berpotensi menghentikan usahanya.
”Kontradiksi kebijakan tersebut di EU sebenarnya sangat besar. Kita tunggu saja akan terjadi tekanan-tekanan alternatif di internal EU terkait implementasi kebijakan tersebut,” katanya.
Peneliti Indef Bidang Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan, Ari Rakatama, berpendapat, dampak kampanye negatif sawit di UE tidak terlalu signifikan. RI sebaiknya menggencarkan menyasar pasar-pasar sawit ke negara-negara alternatif, seperti China, India, Amerika Serikat, dan Afrika. Selain itu, Indonesia juga harus memperkuat pasar domestik sawit dan produk turunannya.