RI Sebut UU Produk Bebas Deforestasi UE Anti-multilateralisme dan Diskriminatif
RI menilai UU Komoditas Bebas Deforestasi UE itu anti-multilateralisme karena melanggar berbagai komitmen internasional dan multilateral. Kebijakan UE itu juga merupakan bentuk diskriminasi dan melanggar aturan WTO.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
ANTARA FOTO/WAHDI SEPTIAWAN
Buruh mengangkat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di lahan perkebunan Renah Mendaluh, Tanjungjabung Barat, Jambi, Minggu (29/10/2017).
JAKARTA, KOMPAS – Uni Eropa melahirkan Undang-undang Komoditas Bebas Deforestasi. Regulasi ini bakal jadi hambatan perdagangan sejumlah komoditas Indonesia. Namun, Indonesia tak tinggal diam dan menilai regulasi itu antimultilateralisme dan diskriminatif.
Parlemen dan Dewan Uni Eropa (UE) telah menyepakati dan mengesahkan rancangan undang-undang (UU) itu menjadi UU pada 6 Desember 2022. Melalui UU baru ini, UE menjamin produk-produk yang dijual di negara-negara anggotanya tidak terkait dengan perusakan atau degradasi hutan.
Komoditas yang wajib memenuhi persyaratan UU itu adalah minyak sawit, sapi, kedelai, kopi, kakao, kayu, dan karet. Selain itu, UU ini juga menyasar produk-produk turunannya, antara lain daging, furnitur, kertas, kulit, dan cokelat. UE tidak mengizinkan komoditas dan sejumlah produk tersebut memasuki pasar UE jika diproduksi di lahan yang terdeforestasi setelah 31 Desember 2020.
UU itu mewajibkan pelaku usaha memiliki sertifikat verifikasi atau uji tuntas (due diligence) komoditas atau produk berbasis geolokasi atau berdasarkan citra satelit dan koordinat sistem pemosisi global (GPS). UE akan melacak asal-usul komoditas itu dengan mengimplementasikan e-paspor produk digital.
Komoditas yang wajib memenuhi persyaratan UU itu adalah minyak kelapa sawit, sapi, kedelai, kopi, kakao, kayu, dan karet. Tidak hanya itu, UU itu juga menyasar produk-produk turunan dari komoditas tersebut antara lain seperti daging, furnitur, kertas, kulit, dan coklat.
Staf Kerja Sama Intrakawasan dan Antarkawasan Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri Emilia H Elisa, Rabu (7/12/2022) mengatakan, UE memang menerapkan UU itu bagi pelaku usaha di kawasannya. Namun, hal itu juga akan berdampak ke pelaku usaha bahkan produsen kecil di Indonesia, karena harus memenuhi syarat pembeli dari UE.
Apalagi UE memberikan waktu 18 bulan bagi pelaku usaha untuk memenuhi kewajiban sesuai regulai itu sejak UU itu dipublikasikan. Bagi pelaku usaha UE mungkin tak jadi soal. Namun, bagi pemangku terkait di Indonesia, waktu 18 bulan itu dianggap tidak cukup.
“Bagi Indonesia, kesiapan yang dilakukan tak sekadar administrasi, juga masih harus menyesuaikan regulasi, sistem, bahkan teknis pengelolaan di tingkat perkebunan,” kata Emilia dalam Diskusi Grup Terfokus “Deforestation Free Supply Chain European Union” yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef) secara daring di Jakarta, Rabu (7/12/2022).
Emilia juga mengemukakan, ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam regulasi itu. Pertama, UU itu tidak hanya mensyaratkan keberpihakan kepada lingkungan hidup, tetapi juga hak asasi manusia dan masyarakat lokal atau adat.
Kedua, UU itu juga menetapkan penolokukuran (bencmarking) berdasarkan negara, bukan komoditas. Penolokukuran itu ada tiga kategori, yakni negara dengan tingkat deforiestasi rendah, standar atau sedang, dan tinggi.
“Mekanisme penolokukuran seperti itu berpotensi mendiskreditkan sebuah negara. Jika satu dari enam komoditas masih menyumbang deforestasi tinggi, maka negara tersebut tetap terkategori sebagai negara dengan tingkat deforestasi tinggi,” kata Emilia.
Sikap dan langkah RI
Menurut Emilia, pemerintah RI menilai UU Komoditas Bebas Deforestasi UE itu anti-multilateralisme karena melanggar berbagai komitmen internasional dan multilateral. UU itu juga melanggar kedaulatan hukum sebuah negara lantaran regulasi itu tidak bisa diterapkan di negara lain.
Selain itu, UU itu anti-pembangunan dan anti-hak atas pembangunan yang merupakan hak negara berkembang dalam mencapai pembangunan. Kebijakan UE itu merupakan bentuk tindakan diskriminatif dan melanggar aturan WTO, terutama Pasal XI Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GATT) Tahun 1994.
Pemerintah RI menilai UU Komoditas Bebas Deforestasi UE itu anti-multilateralisme karena melanggar berbagai komitmen internasional dan multilateral. Kebijakan itu juga merupakan bentuk tindakan diskriminatif dan melanggar aturan WTO.
M Syafei (39), petani Desa Tambak Jaya, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, memilah biji kopi merah, Jumat (8/2/2019). Sejumlah petani mulai mengembangkan pertanian organik untuk meminimalkan penggunaan bahan kimia.
Oleh karena itu, kata dia, Indonesia telah mengambil sejumlah sikap merespons kebijakan itu. Pada 14 Januari 2022, Menteri Perdagangan telah bersurat kepada 27 menteri perdagangan negara lain. Isinya cukup keras, yakni penilaian RI dan ajakan RI untuk mengkritisi UU itu. Kedutaan Besar RI Brussel juga telah mengumpulkan dukungan dari 14 negara dan membuat surat bersama yang mengkritisi rencana UE menerapkan UU itu.
Dalam kesempatan itu, Deputi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud berpendapat, UE terlalu banyak mengeluarkan regulasi yang menuntut negara lain untuk mengikutinya. Belum kelar RI menghadapi persoalan sawit akibat Arah Kebijakan Energi Terbarukan (RED) II UE, muncul lagi regulasi-regulasi lainnya.
Ketika bertemu perwakilan UE, RI telah menyampaikan agar UE tak hanya menuntut dan mengatur negara lain. UE harus punya komitmen menghijaukan hutan dan membantu negara lain, terutama petani di negara-negara berkembang untuk mengembangkan produk-produk berkelanjutan.
Di sektor sawit, lanjut Musdhalifah, RI telah menerapkan sertifikasi berkalanjutan dan moratorium sawit. Di sektor agrikultur lain, RI telah menjalankan peta jalan Forest, Agriculture and Commodity Trade (FACT) Dialogue. “Percontohannya kami terapkan di lima provinsi antara lain untuk komoditas beras, sawit, kakao, dan kopi,” ujarnya.
Ada empat area kunci dalam Peta Jalan FACT Dialogue itu. Keempat kunci dialog dan aksi konkret itu adalah pengembangan perdagangan dan pasar, dukungan kepada petani kecil, ketertelusuran dan transparansi, serta riset, pengembangan, dan inovasi.
Delegasi Uni Eropa yang diketuai Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend (batik biru) mengunjungi pengelolaan perkebunan kepala sawit berkelanjutan di perkebunan Tungkal Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, Senin (16/4/2018). Kegiatan yang difasilitasi Kementerian Luar Negeri itu bertujuan untuk memaparkan fakta pengelolaan sawit berkelanjutan secara langsung kepada Uni Eropa.
Head Climate and Market Transformation WWF Indonesia Joko Sarjito menuturkan, UU Komoditas Bebas Deforestasi itu dapat membuat Indonesia semakin transparan dan memiliki data komoditas yang lebih baik. Dengan penerapan geolocation, Indonesia dapat menelusuri asal muasal komoditas.
“Di sektor sawit misalnya. Geolocation dapat melacak tandan buah segar sawit itu berasal dari kebun yang legal atau tidak. Melalui geolocation itu, perkebunan sawit di Indonesia akan semakin terdata dengan baik,” tuturnya.
Di sisi lain, tambah Joko, EU juga tidak bisa terlalu memaksakan regulasi itu terutama jika menyangkut petani kecil. EU juga harus memilki komitmen kepada petani kecil untuk membantu mereka mengelola lahan dan menghasilkan produk berkelanjutan.