Ke depan, RI tak hanya menghadapi tantangan ekspor paksa, tetapi juga ekspor bersyarat dari UE. Komoditasnya tak hanya nikel dan sawit, tetapi juga semen, besi-baja, aluminium, pupuk, listrik, tekstil, dan mebel.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
Dulu zaman VOC, zaman kompeni, itu ada yang namanya kerja paksa, ada yang namanya tanam paksa. Zaman modern ini muncul lagi, ekspor paksa. Ekspor paksa. Kita dipaksa untuk ekspor. Lho ini barang kita kok.
Begitu kata Presiden Joko Widodo dalam Kompas100 CEO Forum ke-13 "Membuat Terang di Tahun Menantang" yang digelar di Istana Negara, Jakarta, Jumat (2/12/2022). Pernyataan Presiden itu terkait dengan kekalahan Indonesia dari Uni Eropa (UE) dalam kasus larangan ekspor nikel di Badan Penyelesaian Sengketa (DBS) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Dalam laporan final putusan panel WTO atas sengketa nomor DS 592 pada 17 Oktober 2022, kebijakan larangan ekspor nikel, serta kewajiban pengolahan dan pemurnian nikel RI melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994. Panel WTO juga menolak pembelaan yang diajukan RI terkait keterbatasan jumlah cadangan nikel nasional dan pelaksanaan tata kelola penambangan berbasis lingkungan.
Dulu zaman VOC, zaman kompeni, itu ada yang namanya kerja paksa, ada yang namanya tanam paksa. Zaman modern ini muncul lagi, ekspor paksa. Ekspor paksa. Kita dipaksa untuk ekspor. Lho ini barang kita kok.
Kendati kalah di level DBS, Indonesia masih bisa banding melalui Badan Banding (AB) WTO. RI masih punya cukup waktu lantaran AB WTO saat ini masih vakum lantaran AS masih memblokir penunjukan anggota hakim baru sejak 2019.
Jokowi sudah tegas bersikap. Indonesia akan mengajukan banding. Presiden ingin membawa Indonesia menjadi negara maju. Negara yang melahirkan produk bernilai tambah tinggi buah dari hilirisasi. Negara yang menjadi tumpuan ketergantungan negara lain.
Menurut Presiden, RI kaya dengan potensi sumber daya alam. Banyak negara yang bergantung pada Indonesia. Maka tak heran jika banyak pimpinan negara menelepon Jokowi ketika Indonesia melarang ekspor batubara, nikel, serta minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan sejumlah produk turunannya.
Jokowi punya alasan jelas melarang ekspor ketiga komoditas itu. Ketiganya sangat dibutuhkan di dalam negeri. Batubara dibutuhkan untuk menyuplai pasokan bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap.
CPO dilarang diekspor untuk mangatasi kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng. Nikel dibutuhkan untuk memasok bahan baku industri besi baja nirkarat dan menopang pembangunan ekosistem baterai kendaraan listrik nasional.
”Yang namanya negara maju itu juga ingin mempertahankan dirinya tetap menjadi negara maju. Itu pasti. Mereka itu tidak akan rela negara berkembang ada yang maju, menjadi negara maju,” kata Jokowi.
Yang namanya negara maju itu juga ingin mempertahankan dirinya tetap menjadi negara maju. Itu pasti. Mereka itu tidak akan rela negara berkembang ada yang maju, menjadi negara maju.
Indonesia melarang ekspor bijih nikel sejak awal 2020. Badan Pusat Statistik mencatat, dalam periode 2020-Agustus 2022, ekspor bijih nikel Indonesia memang turun drastis. Namun, produk turunan nikel, meningkat signifikan.
Pada 2020, nilai ekspor produk turunan nikel baru 808,4 juta dollar AS. Kemudian pada 2021 dan Januari-Agustus 2022, nilanya meningkat masing-masing 1,28 miliar dollar AS dan 3,59 miliar dollar AS. Ekspor produk turunan nikel lainnya, yakni feronikel, juga meningkat. Pada 2020, nilai ekspornya sebesar 4,74 miliar dollar AS. Kemudian pada 2021 dan Januari-Agustus 2022, nilainya meningkat masing-masing menjadi 7,09 miliar dollar AS dan 8,76 miliar dollar AS.
Selain nikel, UE juga telah mendiskriminasikan CPO dan produk turunannya, terutam biodiesel. UE mencoret komoditas ekspor utama RI itu dari daftar energi baru terbarukan demi merealisasikan kebijakan Arah Energi Terbarukan (RED) II.
RI pun melawan. Pada akhir 2019, RI menggugat UE atas diskriminasi itu di DBS WTO. Saat ini, RI tengah menunggu hasil putusan final DBS WTO yang diperkirakan bakal diumumkan pada akhir 2022 atau awal 2023. RI juga telah menyiapkan skenario menang-kalah.
RI bahkan mengantisipasi banding UE jika kawasan ekonomi tersebut kalah. Indonesia akan menghindari banding UE melalui Multi-Party Interim Appeal Arbitration Arrangement (MPIA). MPIA merupakan salah satu alternatif banding yang diinisiasi UE dan negara-negara pendukungnya sehingga dikhawatirkan akan lebih mengakomodasi kepentingan UE. Selain itu, Indonesia tidak memiliki keleluasaan memilih arbitrator di luar 10 arbitrator yang telah tergabung dalam MPIA.
Namun, jika RI kalah, RI akan banding ke DBS WTO. Selain banding, ada skenario lain yang bisa dilakukan Indonesia, yakni melalui mekanisme mutually agreed solution atau mencari dan menyepakati solusi bersama yang saling menguntungkan.
Selain banding, ada skenario lain yang bisa dilakukan Indonesia, yakni melalui mekanisme mutually agreed solution atau mencari dan menyepakati solusi bersama yang saling menguntungkan.
Sebenarnya RI dan UE juga memiliki forum emas untuk ngobrol bersama merampungkan adu sengketa itu. Forum itu adalah forum negosiasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Uni Eropa (IEU-CEPA). Melalui forum itu, Indonesia dapat meminta komitmen UE untuk bereinvestasi meningkatkan nilai tambah komoditas mentah RI, termasuk nikel.
Adu atau perang sengketa ini masih akan berlanjut ke depan. Bahkan, tensinya bisa jadi bertambah tatkala UE mulai menerapkan RED III, skema tarif preferensi umum plus (GSP+), Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (CBAM), dan e-paspor produk (digital product passport).
Komoditasnya tak hanya nikel dan sawit, melainkan juga semen, besi baja, aluminium, pupuk, peralatan listrik, tekstil dan produk tekstil, serta mebel dan kerajinan. Tantangannya ke depan tak hanya soal ekspor paksa, melainkan juga ekspor bersyarat.