Program hilirisasi dinilai bisa terhambat jika Indonesia kalah dalam sengketa soal nikel di WTO. Namun, RI bisa mencari solusi lain, seperti berunding dengan Uni Eropa dan menawarkan investasi di sektor pengolahan nikel.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Hilirisasi nikel nasional bisa terhambat jika Indonesia kalah dalam kasus sengketa nikel di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Hal itu akan berpengaruh pula ke program Pengembangan Industri Baterai Kendaraan Listrik Terintegrasi dan industri baja nirkarat Indonesia.
Direktur Eksekutif Next Policy dan juga ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi, Selasa (22/11/2022), mengatakan, Indonesia saat ini sangat membutuhkan nikel untuk menopang program Pengembangan Industri Baterai Kendaraan Listrik Terintegrasi dan industri baja tahan karat. Jika kalah dalam sengketa itu, program tersebut bisa terganggu dan terhambat, serta pertumbuhan industri baja tahan karat nasional bakal melambat.
Oleh karena itu, dalam pengajuan banding nanti, Indonesia harus memiliki alasan dan bukti kuat bahwa nikel dibutuhkan di dalam negeri untuk menopang industri nasional dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, Indonesia juga perlu memberikan bukti kuat jika menggunakan argumen keterbatasan cadangan nikel.
Indonesia, lanjut Fithra, juga masih punya cukup waktu untuk menyiapkan materi banding mengingat Badan Banding (AB) WTO masih vakum. Hal itu terjadi lantaran Amerika Serikat telah memblokir penunjukan hakim baru sejak 2019.
“Namun jika nanti tetap kalah dalam banding di AB WTO, RI dapat mencari peluang dan solusi lain melalui perundingan perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA). Misalnya saja, RI bisa meminta Uni Eropa (UE) untuk berinvestasi di sektor pengolahan nikel atau produk-produk berbahan baku nikel di Indonesia,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta.
Jika nanti tetap kalah dalam banding di AB WTO, RI dapat mencari peluang dan solusi lain melalui perundingan perjanjian IEU-CEPA. Misalnya saja, RI bisa meminta UE untuk berinvestasi di sektor pengolahan nikel atau produk-produk berbahan baku nikel di Indonesia.
Senin lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menyatakan Indonesia kalah melawan Uni Eropa (UE) di Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO terkait larangan ekspor nikel yang dilakukan Indonesia sejak 2020. Dalam laporan final putusan panel WTO atas sengketa nomor DS 592 pada 17 Oktober 2022, kebijakan larangan ekspor nikel, serta kewajiban pengolahan dan pemurnial nikel RI melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994.
Panel WTO juga menolak pembelaan yang diajukan RI terkait keterbatasan jumlah cadangan nikel nasional dan pelaksanaan tata kelola penambangan berbasis lingkungan. Namun, menurut Arifin, keputusan itu belum berkekuatan hukum tetap, sehingga Indonesia bisa mengajukan banding. Indonesia juga tetap akan berupaya mempertahankan hilirisasi nikel (Kompas, 22/11/2022).
Kementerian Perdagangan juga berpendapat serupa. Meski enggan menginformasikan rencana dan materi banding, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono menyatakan Indonesia masih dapat menyampaikan keberatan atas putusan DSB itu.
Indonesia melarang ekspor bijih nikel sejak awal 2020. Larangan untuk meningkatkan nilai tambah nikel itu membawa keuntungan bagi Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat, dalam periode 2020-Agustus 2022, ekspor bijih nikel Indonesia memang turun drastis. Namun, produk turunan nikel, meningkat signifikan.
Dalam periode tersebut, Indonesia sudah tidak memiliki pemasukan ekspor bijih nikel. Padahal, pada 2019, nilai ekspor bijih nikel Indonesia senilai 1,097 miliar dollar AS. Namun, nilai ekspor nikel dan produk turunannya justru meningkat sangat signifikan. Pada 2020, nilainya baru 808,4 juta dollar AS. Kemudian pada 2021 dan Januari-Agustus 2022, nilanya meningkat masing-masing 1,28 miliar dollar AS dan 3,59 miliar dollar AS.
Hal tersebut juga terjadi pada produk turunan nikel lainnya, yakni feronikel. Pada 2020, nilai ekspornya sebesar 4,74 miliar dollar AS. Kemudian pada 2021 dan Januari-Agustus 2022, nilainya meningkat masing-masing menjadi 7,09 miliar dollar AS dan 8,76 miliar dollar AS.
Selain itu, nikel di Indonesia saat ini dibutuhkan untuk pengembangan industri baterai kendaraan listrik itu terbagi menjadi dua proyek. Pertama, proyek Titan yang ditangani konsorsium LG Energy Solution (LGES) dengan investasi senilai 8 miliar dollar AS dan proyek Dragon yang dipegang konsorsium T Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co, Ltd, (CBL) dengan investasi senilai Rp 6 miliar dollar AS.
Proyek Titan merupakan proyek pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik serta pengolahan nikel dan bahan baku baterai kendaraan listrik. Pada triwulan II-2024, proyek Titan bakal menghasilkan baterai kendaraan listrik berkapasitas total 10 giga watt hour (GWh).
Adapun proyek Dragon merupakan proyek pembangunan pabrik pemurnian nikel, bahan baku baterai dan baterai daur ulang, serta pabrik baterai kendaraan listrik. Fasilitas pemurnian nikel berbasis teknologi tungku putar listrik dan hidrometalurgi ditargetkan kelar pada triwulan I-2025. Untuk fasilitas produksi bahan baku baterai dan baterai daur ulang serta pabrik baterai kendaraan listrik ditargerkan selesai masing-masing pada triwulan III-2025 dan triwulan I-2026.
Di UE, nikel dibutuhkan untuk memproduksi baja tahan karat. UE adalah produsen baja terbesar kedua di dunia setelah China. Produksi baja tahan karat UE rata-rata mencapai 139,3 juta ton per tahun atau sekitar 7,3 persen dari total produksi global.
Industri baja menjadi tulang punggung di UE karena terkait erat dengan berbagai sektor industri seperti otomotif, konstruksi, elektronik, dan industri terbarukanotomotif, konstruksi, elektronik, dan industri terbarukan. Komoditas itu juga berkontribusi sebesar 19 miliar dollar AS dan menyerap sekitar 230.000 pekerja langsung dan tak langsung.
Dengan kemungkinan Indonesia akan kalah di WTO, konsensi kelapa sawit-nikel tersebut diharapkan dapat meyakinkan Indonesia untuk menyesuaikan larangan ekspor bijih nikel.
Pakar tata kelola dan diplomasi internasional dan juga asisten peneliti Columbia-Harvard China dan World Program, William Yuen Yee, berpendapat, EU dan RI dapat duduk bersama untuk menghasilkan konsensus. EU dapat mengakui kemajuan Indonesia meningkatkan minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya untuk menegosiasikan ekspor bijih nikel yang terbatas.
UE juga harus membuka pasar untuk meningkatkan impor CPO dan produk turunannya yang memiliki sertifikat berkelanjutan. Sebagai gantinya, Indonesia harus mengekspor bijih nikel dalam jumlah terbatas ke UE.
"Dengan kemungkinan Indonesia akan kalah di WTO, konsensi kelapa sawit-nikel tersebut diharapkan dapat meyakinkan Indonesia untuk menyesuaikan larangan ekspor bijih nikel," ujarnya (The Diplomat, 2 November 2022).