Dilema Subsidi Perikanan
Keberlanjutan subsidi perikanan disuarakan Indonesia. Namun, pekerjaan rumah terkait subsidi juga perlu dituntaskan.
Aspirasi pembatasan subsidi perikanan mengalir dalam Konferensi Tingkat Menteri ke-13 Organisasi Perdagangan Dunia, 26-29 Februari 2024. Sejumlah negara mulai menyepakati pelarangan atas subsidi yang mendorong penangkapan ikan berlebih dan mengancam keberlanjutan stok ikan itu.
Pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-13 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), 26 Februari 2024, sembilan negara menyatakan menerima perjanjian subsidi perikanan. Dikutip dari wto.org, sembilan negara itu meliputi Brunei Darussalam, Chad, Malaysia, Norwegia, Rwanda, Arab Saudi, Togo, Turki, dan Filipina.
Baca juga: Subsidi Perikanan, Penyelesaian Sengketa, hingga Kenaikan Harga Netflix Jadi Bahasan WTO
Penerimaan terbaru dari negara-negara anggota WTO tersebut menambah jumlah anggota WTO yang menerima kesepakatan subsidi perikanan menjadi 70 negara. Dengan demikian, hanya tersisa 40 negara anggota lagi untuk menyepakati perjanjian menuju berlakunya pembatasan subsidi perikanan.
Kesepakatan melarang subsidi perikanan yang merugikan dianggap sebagai langkah maju bagi keberlanjutan laut. Terdapat delapan jenis subsidi perikanan yang dilarang oleh WTO. Pertama, subsidi untuk konstruksi, akuisisi, modernisasi, renovasi atau peningkatan kapal.
Kedua, subsidi untuk pembelian mesin dan peralatan kapal. Subsidi ini termasuk alat tangkap dan mesin kapal, mesin pengolahan ikan, teknologi pencarian ikan, lemari pendingin, serta mesin untuk menyortir atau membersihkan ikan.
Pembicaraan alot
Ketiga, subsidi untuk pembelian atau biaya bahan bakar, es, atau umpan. Keempat, subsidi untuk biaya personel, biaya sosial, atau asuransi. Kelima, dukungan pendapatan kapal atau operator atau pekerja yang mereka pekerjakan.
Keenam, dukungan harga ikan yang ditangkap. Ketujuh, subsidi untuk mendukung kegiatan di laut. Kedelapan, subsidi yang mencakup kerugian operasi kapal atau penangkapan ikan atau kegiatan terkait penangkapan ikan.
Pembahasan mengenai pelarangan subsidi perikanan dan isu ketahanan pangan berlangsung alot untuk menemukan konsensus antara kepentingan negara berkembang, negara kurang berkembang (LDCs), dan negara maju. Permasalahan yang belum terselesaikan, antara lain, penangkapan ikan berlebih dan melebihi kapasitas (over fishing over capacity/OFOC) serta perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment/SDT) di pilar OFOC.
Baca juga: Kelompok Nelayan Kecil Tolak Rencana WTO Larang Subsidi Perikanan
Dikutip dari wto.org, KTM ke-13 WTO diperpanjang satu hari, dari yang semula berakhir pada 29 Februari 2024 diundur menjadi Jumat, 1 Maret 2024. Perpanjangan waktu itu untuk memfasilitasi isu-isu utama dan mencapai kesepakatan.
Hingga kini, Indonesia termasuk negara yang belum meratifikasi atau menyetujui perjanjian pelarangan subsidi perikanan tersebut. Perlindungan dan pemberdayaan nelayan kecil di Indonesia telah diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Perlindungan Nelayan Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
”Pemerintah RI pada posisi untuk memastikan bahwa subsidi perikanan tetap dapat diberikan utamanya kepada nelayan skala kecil yang menangkap ikan di wilayah yurisdiksi indonesia,” ujar Juru Bicara Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Muryadi, saat dihubungi, Jumat (1/3/2024).
Perlakuan khusus
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Budi Sulistyo, secara terpisah, mengemukakan, Indonesia bersama negara-negara berkembang dan kurang berkembang telah meminta agar subsidi kepada nelayan kecil di wilayah yurisdiksi tetap bisa diberikan tanpa batas waktu dan batasan geografis (tanpa dibatasi jarak 12 mil/22 kilometer), serta tanpa persyaratan yang rumit.
”Pemerintah RI mendorong diberlakukannya pembatasan atau pelarangan subsidi terhadap negara-negara maju yang sudah memiliki manajemen perikanan yang baik, tetapi tetap menginginkan subsidi perikanan, termasuk untuk kapal-kapal besar yang menangkap ikan di laut lepas. Praktik itu menimbulkan tekanan terhadap sumber daya ikan dan berkontribusi terhadap penangkapan ikan yang berlebih dan melebihi kapasitas (OCOF).
Selain itu, dalam perundingan, Pemerintah RI terus mengkaji pemberian subsidi melalui fleksibilitas pengelolaan perikanan (fisheries management) serta prinsip perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang (SnDT). RI juga berupaya memastikan nelayan kecil tetap mendapatkan subsidi untuk menangkap ikan di wilayah yurisdiksi RI.
Pemerintah RI terus mengkaji pemberian subsidi melalui fleksibilitas pengelolaan perikanan (fisheries management) serta prinsip perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang (SnDT).
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan, subsidi perikanan yang selama ini digulirkan pemerintah ke nelayan kecil umumnya berupa subsidi bahan bakar minyak, bantuan kapal/mesin kapal, alat tangkap, ataupun premi asuransi nelayan. Subsidi bahan bakar minyak, misalnya, diberikan untuk nelayan dengan kapal berukuran di bawah 30 GT.
Per November 2023, realisasi bantuan pemerintah untuk nelayan meliputi 17.436 unit alat penangkapan ikan, 1.205 unit mesin kapal perikanan, bakti nelayan termasuk bantuan perbekalan melaut di 85 lokasi, dan sarana prasarana produksi kampung nelayan maju di 79 lokasi.
Tahun 2024, pemerintah menargetkan bantuan nelayan. Di antaranya berupa 1.100 unit mesin kapal perikanan, 15.000 unit alat penangkapan ikan, dan sarana-prasarana produksi dalam penataan 55 lokasi kampung nelayan maju.
Jutaan nelayan kecil
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan, saat dihubungi secara terpisah, mengemukakan, Pemerintah Indonesia memang seharusnya tidak meratifikasi perjanjian subsidi perikanan. Delapan jenis subsidi perikanan yang masuk kategori dilarang WTO seharusnya diberikan pemerintah kepada nelayan kecil. Dukungan atau subsidi perikanan kepada nelayan kecil diperlukan karena jutaan nelayan kecil di Indonesia masih dalam garis kemiskinan ekstrem dan prasejahtera.
”Dalam praktiknya, tidak semua jenis subsidi perikanan tersedia dalam anggaran pemerintah,” kata Dani, Jumat.
CEO dan Founder Ocean Solutions Indonesia Zulficar Mochtar menilai, perlakuan khusus dan keberpihakan kepada nelayan kecil dan negara berkembang justru harus menjadi klausul yang kuat di tingkat global. Perlindungan terhadap nelayan kecil diperlukan di tengah tekanan ekonomi global, konflik, cuaca dan perubahan iklim, kondisi kemiskinan, tingginya biaya operasional perikanan, dan lemahnya nilai tawar nelayan. WTO perlu memetakan dengan tepat opsi yang lebih strategis.
Indonesia berada dalam posisi dilematis terkait kesepakatan subsidi perikanan.
Indonesia sebagai salah satu korban utama yang sangat dirugikan oleh praktik penangkapan ikan ilegal tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU Fishing), menghendaki penghentian praktik kejahatan perikanan, pemanfaatan tidak ramah lingkungan, dan eksploitasi berlebihan.
Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia gencar memberantas IUU Fishing. Di antaranya dengan menenggelamkan lebih dari 600 kapal ilegal, mengusir kapal yang potensial IUU Fishing, pengetatan pendataan dan perizinan, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas pengawasan. Akan tetapi, nelayan kecil umumnya bukan pelaku atau terlibat langsung dalam praktik IUU Fishing atau penyebab over fishing.
”Indonesia berada dalam posisi dilematis terkait kesepakatan subsidi perikanan. Indonesia ingin agar praktik kejahatan perikanan, pemanfaatan tidak ramah lingkungan, dan eksploitasi berlebihan dihentikan. Akan tetapi, melarang subsidi bagi nelayan Indonesia yang didominasi oleh nelayan kecil, dengan banyak keterbatasan, apalagi negara masih berkembang, tentu memberikan dampak sangat besar bagi dunia perikanan Indonesia,” ujar Zulficar.
Tak tepat sasaran
Di lain pihak, ia menyoroti masih banyak bantuan dan subsidi perikanan yang diberikan pemerintah selama ini tidak tepat sasaran. Subsidi lebih dinikmati manfaatnya oleh pelaku-pelaku kapal perikanan berskala lebih besar, dan bukan nelayan kecil sebagaimana ditargetkan. Subsidi perikanan yang tidak tepat sasaran merupakan ironi bagi upaya pemberdayaan dan perlidungan nelayan kecil.
Oleh karena itu, Zulficar melanjutkan, pemerintah Indonesia juga perlu melakukan evaluasi dan strategi agar subsidi dan bantuan kepada nelayan tepat sasaran ke nelayan kecil. Selain itu, tetap gencar dan memberantas modus dan praktik IUU Fishing serta mendorong tata kelola perikanan berkelanjutan, berkeadilan, dan bertanggung jawab. Secara paralel, kebijakan penangkapan ikan terukur diterapkan sebagai upaya pengelolaan perikanan berkelanjutan (fisheries management).
Sebagai salah satu negara perikanan terbesar dunia dengan dominasi nelayan kecil, Indonesia perlu mengusulkan skema perlindungan nelayan kecil serta pekerja perikanan.
Dalam menghadapi kesepakatan subsidi perikanan global ke depan, Indonesia perlu mendesak WTO untuk memprioritaskan agar negara maju dan distant fishing nations yang menjadi target utama dalam penghapusan subsidi perikanan.
Sebagai salah satu negara perikanan terbesar dunia dengan dominasi nelayan kecil, Indonesia perlu mengusulkan skema perlindungan nelayan kecil serta pekerja perikanan. Indonesia juga perlu mengusulkan adanya kebijakan afirmatif bagi negara berkembang perikanan yang sering menjadi korban praktik IUU Fishing dari berbagai negara, seperti Indonesia.
Sebagai negara maritim dan kepulauan, kegiatan perikanan tangkap di Indonesia tidak hanya sebagai sumber pendapatan masyarakat dan sumber devisa bagi negara. Lebih dari itu, perikanan tangkap menjadi penyangga ketahanan pangan dan penanganan masalah gizi nasional melalui pemenuhan protein dari ikan.