UMKM Butuh ”Makcomblang” untuk Pikat Australia-Selandia Baru
Pelaku UMKM di Indonesia membutuhkan paparan terinci mengenai proses ekspor serta prosedur mendapatkan kemudahan untuk memasukkan produknya ke Australia dan Selandia Baru.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
Perjanjian dagangASEAN dengan Australia dan Selandia Baru menandakan kedua negara di selatan Asia Tenggara itu membuka pasarnya, termasuk untuk Indonesia. Namun, keterbukaan pintu pasar saja tak cukup. Indonesia, terutama pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM, membutuhkan ”makcomblang” yang mampu membuat produk-produk unggulannya dibeli oleh dua negara tersebut.
Sepanjang 17-22 Agustus 2023, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan bakal memimpin pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Ministers (AEM) Meeting ke-55 di Semarang, Jawa Tengah. Terdapat 19 pertemuan dan sembilan kegiatan unggulan sepanjang AEM Meeting ke-55. ”Hasil pertemuan tersebut akan dilaporkan pada Dewan Masyarakat Ekonomi ASEAN serta Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN pada September mendatang,” kata Zulkifli dalam siaran pers yang diterima, Kamis (17/8/2023).
Zulkifli menyatakan, penandatanganan protokol kedua persetujuan pendirian ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA) menjadi salah satu wujud penyelesaian capaian prioritas ekonomi Indonesia di bawah kewenangan AEM selama pertemuan ke-55 tersebut. Dengan demikian, pertemuan AEM dapat bermanfaat dalam meningkatkan partisipasi pelaku usaha domestik dan mancanegara serta promosi dan peningkatan partisipasi pelaku UMKM.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan InternasionalKementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono merinci, terdapat penambahan bab baru dalam AANZFTA, yakni mengenai UMKM, perdagangan dan pembangunan berkelanjutan, serta pengadaan pemerintah. Dalam bab UMKM, terdapat persetujuan terhadap kerja sama yang dapat dimanfaatkan Indonesia dan ASEAN dalam memperoleh pengembangan kapasitas dan asistensi teknis dari Australia terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah. Bab tersebut juga menegaskan, pelaku UMKM dapat menikmati penghapusan tarif atas produk yang masuk ke pasar Australia dan Selandia Baru.
Kesepakatan membentuk AANZFTA terjadi sejak 30 November 2004. ASEAN, Australia, dan Selandia Baru menandatangani kesepakatan tersebut pada 26 Agustus 2014 dan menerapkannya pada 1 Maret 2019 atau protokol pertama. Perjanjian ini menghapuskan tarif untuk 90 persen barang yang diperdagangkan di antara ASEAN, Australia, dan Selandia Baru.
Sementara itu, Ketua Umum Komite Pengusaha Mikro Kecil Menengah Indonesia Bersatu (Kopitu) Yoyok Pitoyo menilai, penambahan bab baru tentang UMKM dalam AANZFTA dapat berdampak optimal apabila ditindaklanjuti dengan tim pendukung yang menjadi katalis bagi realisasi perjanjian perdagangan tersebut. Tim ini tak cukup jika relasinya hanya antarpemerintah. Pelaku bisnis di tiap negara perlu menjadi anggota, termasuk pelaku UMKM.
Tim pendukung yang menurut dia mesti berkedudukan di Indonesia itu bertugas memantau dan mengevaluasi realisasi ekspor ke Australia dan Selandia Baru. Artinya, tim ini akan meninjau grafik dan data perdagangan itu serta memetakan produk-produk Tanah Air yang berpotensi besar diserap oleh kedua negara tersebut.
Intelijen pasar
Selain itu, dia melanjutkan, tim pendukung tersebut juga perlu menjalankan fungsi sebagai intelijen pasar. Pelaku UMKM di Indonesia membutuhkan paparan terinci mengenai proses ekspor serta prosedur mendapatkan kemudahan untuk memasukkan produknya ke Australia dan Selandia Baru.
Kementerian Perdagangan mencatat, nilai total ekspor Indonesia ke Australia sepanjang semester I-2023 mencapai 1,53 miliar dollar AS, sedangkan impornya 4,3 miliar dollar AS. Adapun total ekspor ke Selandia Baru sebesar 291,9 juta dollar AS dan impor 609,3 juta dollar AS.
Yoyok menyatakan, UMKM Indonesia berpeluang mengekspor produk makanan-minuman ke kedua negara tersebut, misalnya alpukat atau bumbu rendang. ”Daya saing kami siap dan pelaku UMKM juga dapat menuliskan keterangan bahan pangan pada produknya dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Kami berharap, izin edar yang telah diperoleh dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) dapat terintegrasi dengan pasar luar,” tuturnya.
Menanggapi keberadaan bab baru tentang UMKM dalam AANZFTA, Kepala Sekolah Ekspor Handito Joewono menggarisbawahi aspek volume dan kontinuitas ekspor, apalagi jika ingin mendorong partisipasi dari pelaku UMKM. ”Pelajari struktur perdagangan besar di kedua negara tersebut, bukan hanya berjualan. Australia dan Selandia perlu diikat secara teknis (perdagangan di dalam kedua negara itu). Terkait volume, pelaku usaha perlu mengekspor produknya beramai-ramai dalam satu kontainer agar ongkosnya tidak terasa mahal,” katanya.
Berdasarkan pengamatannya, dia menilai, produk Indonesia dapat dijual lewat ritel besar (hipermarket), ritel menengah-besar (supermarket), dan toko-toko bahan pangan Asia di Australia dan Selandia Baru. Mengikat secara teknis dapat berarti pelaku UMKM Indonesia mendapatkan pendampingan teknis oleh pemain ritel besar di kedua negara tersebut sehingga produknya dapat langsung dijual kepada konsumen di gerai ritel yang membimbing.
Tak hanya ritel, dia menambahkan, Indonesia dapat menjajakan produk unggulan di kedua negara dengan membuka restoran. ”Indonesia perlu mendapatkan kemudahan izin untuk membuka ritel khusus dan restoran di Australia maupun Selandia Baru. Akses pasar saja tidak cukup,” ujarnya.
Pelaku UMKM menantikan makcomblang atau tim khusus yang mendampingi mereka untuk merealisasikan, bahkan mempercepat, ekspor hingga produknya bisa berjajar di rak toko-toko di Australia dan Selandia Baru. Kehadiran makcomblang itu menandakan perjanjian dagang untuk memperkuat ekspor UMKM bukan sekadar jargon.