Perusahaan Didorong Menciptakan Ekosistem Pekerja ”Kerah Hijau”
Guna memanfaatkan bonus demografi, Indonesia perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Tak hanya digitalisasi, tetapi mengikuti tren pada konsep keberlanjutan. Fenomena ini jadi perhatian region Asia Pasifik.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pembangunan sumber daya manusia atau SDM perlu menekankan konsep keberlanjutan dan digitalisasi menjelang puncak bonus demografi Indonesia yang diprediksi terjadi pada 2035. Namun, sektor itu saja tak cukup karena Indonesia masih didominasi pekerja ”kerah biru”, padahal tren terbaru bergeser pada pekerja ”kerah hijau”.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, survei Forum Ekonomi Dunia (WEF) 2023 menunjukkan permintaan sejumlah pekerjaan yang bersifat klerikal dan rutin akan makin menurun. Sebaliknya, permintaan terhadap pekerjaan-pekerjaan dengan pemanfaatan teknologi digital makin meningkat.
Meski demikian, fenomena tersebut tak diimbangi dengan kompetensi digital pekerja sehingga terjadi ketidaksesuaian di pasar kerja. Menurut Indeks Masyarakat Digital Indonesia 2022, penduduk Indonesia masih minim akses pelatihan digital.
”Jikapun mampu mengakses, tingkat keterampilan yang dilatih masih berada dalam level dasar atau basic,” ujar Ida dalam simposium mengenai modal manusia (human capital)di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Kamis (3/8/2023).
Dalam simposium bertajuk ”Towards the Digital and Sustainable Future: Human Capital Imperatives” hadir pula sejumlah pembicara lain. Beberapa di antaranya adalah Direktur Human Capital PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Agus Winardono, Direktur Eksekutif Konsultan Deloitte Mark Teoh, serta Direktur SDM dan Digital PT Aviasi Pariwisata (Persero) Herdy Harman.
Ida melanjutkan, mayoritas masyarakat Indonesia menggunakan internet untuk mengakses media sosial, berita, dan hiburan. Pemanfaatan untuk bekerja masih terbatas.
Pemerintah menilai bonus demografi pada 2020-2035 jadi modal untuk meningkatkan perekonomian. Namun, saat ini, Indonesia menghadapi tantangan minimnya tenaga ahli. Hanya ada sekitar 13 juta tenaga ahli dibandingkan dengan 113 juta tenaga non-ahli berdasarkan proyeksi Organisasi Buruh Internasional (ILO). Ia juga menyayangkan, penduduk Indonesia masih didominasi pekerja sektor tersier, informal, dan kerah biru (blue collar) yang memanfaatkan tenaga fisik.
Sementara itu, guna menjawab tantangan ke depan, konsep keberlanjutan perlu diutamakan. Teoh mengatakan, organisasi-organisasi perlu bersiap menghadapi evolusi pekerjaan menuju pekerja kerah hijau (green collar). ”Di Indonesia, beberapa klien saya mengalokasikan hingga 50 juta dollar AS per tahun pada (skema) keberlanjutan,” ujarnya. Nilai itu setara dengan Rp 759,9 miliar dengan kurs Rp 15.198 per dollar AS.
Setidaknya ada empat tahapan transisi mengarah pada jenis pekerjaan ini. Pertama, organisasi perlu menjelaskan keahlian dan perannya dalam cakupan keberlanjutan. Peran-peran baru saat ini ditujukan untuk dekarbonisasi. Investasi dilakukan sebagai bagian pengembangan lingkungan, sosial, dan pemerintahan (ESG).
Teoh melanjutkan, organisasi dapat meningkatkan kebutuhannya terhadap keahlian ”hijau” pada peran-peran nonspesialis. Hal ini diikuti pula dengan transisi para pekerja dari sektor-sektor tak berkelanjutan pada peran baru yang berkelanjutan. Harapannya, muncul permintaan terhadap keahlian berkelanjutan pada sektor hijau.
Laporan Deloitte berjudul ”Work Toward Net Zero in Asia Pacific” mendefinisikan kerah hijau sebagai pekerja di seluruh bidang yang berkontribusi menangani isu lingkungan. Selain itu, ia juga berperan membuka peluang baru untuk berkembang.
Negara-negara Asia Pasifik menghadapi risiko ganda dari perubahan iklim. Hal ini sejalan dengan pekerjaan-pekerjaan industri yang menghadapi disrupsi karena transisi rendah emisi. Sekitar 43 persen pekerja di region tersebut rentan terhadap perubahan iklim, antara lain dari industri agrikultur, energi konvensional, manufaktur, transportasi, dan konstruksi. Apabila Asia Pasifik memanfaatkan peluang dekarbonisasi, negara-negara ini berkontribusi menambah hingga 47 triliun dollar AS untuk perekonomian region pada 2070 dan menciptakan 180 juta pekerjaan pada 2050.