Pekerja Perkotaan, antara Paksaan Mundur dan Revolusi ”Kerah Baru”
Melimpahnya tenaga kerja perkotaan diselimuti ironi. Ada praktik memaksa karyawan mundur demi menyelamatkan perusahaan. Ada yang terpacu meningkatkan keterampilan dan melahirkan ”kerah baru” penguasa pasar kerja.

Pemutusan hubungan kerja menjadi cerita berulang yang selalu membuat suasana hati sendu. Tak terkecuali kisah karyawan usaha jasa pengiriman yang baru-baru ini dipaksa mengundurkan diri tanpa kejelasan pemenuhan hak-hak mereka sebagai pekerja yang dilindungi undang-undang. Pedih rasanya.
Keriuhan di media sosial atas kasus tersebut menjadi jalan selamat bagi para pekerja urban tersebut. Saat kisah itu viral dan direspons publik, juga pemerintah, buru-buru perwakilan perusahaan minta maaf atas kesalahan prosedur pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mereka lakukan. Janji untuk memperbaiki kekeliruan dan pemberian kompensasi cepat-cepat pula dilontarkan.
Belum reda isu PHK massal di perusahaan jasa pengiriman atau kurir itu, beredar informasi kebijakan serupa di salah satu perusahaan media. Lagi-lagi, publik dari berbagai macam latar belakang kompak mengultimatum agar perusahaan mematuhi aturan yang berlaku.
Desakan publik ini turut menjadi peringatan bagi perusahaan lain yang sudah, sedang, ataupun yang sekarang tengah menimbang-nimbang untuk memecat pekerjanya. Meskipun ada alasan untuk melakukan PHK, seperti mengurangi kerugian perusahaan akibat terdampak pandemi, kebijakan itu tidak dapat dilakukan sembarangan.
Baca juga: Sepiring Nasi untuk Kota yang Selalu Lapar

Kurir barang mengecek muatan di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Selasa (24/9/2021).
Dalam Pasal 153 Undang-Undang Cipta Kerja disebutkan, perusahaan dilarang melakukan PHK sepihak. Memang ada pengecualian, yaitu jika terjadi keadaan tertentu yang memaksa, PHK bisa dilakukan. Namun, tetap dilakukan dalam koridor Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Masyarakat yang melek dan blakblakan menyuarakan penegakan ataupun perbaikan setiap sisi lemah produk hukum memang sangat diperlukan. Kekritisan yang disampaikan melalui media massa ataupun media sosial itu bukan semata bela rasa. Terkait perburuhan, dukungan itu menjadi kebutuhan setiap tenaga kerja dan calon tenaga kerja demi menghindari kesewenang-wenangan dari pemberi kerja.
Di negara berkembang, ILO melihat pekerjaan sementara sering kali berupa pekerjaan informal dengan sedikit atau tanpa akses ke sistem perlindungan sosial dan pekerjaan.
Di perkotaan dengan angka angkatan kerja besar, isu tenaga kerja juga selalu menjadi persoalan besar. Persoalan makin pelik akibat terdampak pandemi. Tanpa menafikan pengusaha dan perusahaan yang tak kalah babak belur dihantam pagebluk, perlindungan pekerja tidak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi, data Badan Pusat Statistik menunjukkan tekanan bagi pekerja perkotaan lebih berat daripada sesamanya di perdesaan.
Data BPS menyebutkan, dari sekitar 270 juta warga Indonesia, 206,71 juta di antaranya penduduk usia kerja. Pada Agustus 2021, tercatat 9 juta lebih orang menganggur. Dari 131,05 juta orang yang bekerja, hanya 84,26 juta orang yang bekerja penuh.

Tangkapan layar data tingkat pengangguran terbuka (TPT) Agustus 2021 sesuai revisi BPS yang dipublikasikan pada November 2021

Tangkapan layar dari Booklet Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2021.
Dilihat dari rasio penduduk bekerja terhadap jumlah penduduk usia kerja (employment to population ratio/EPR), angka EPR di perkotaan 60,64 persen dan di perdesaan 67,11 persen. Ini berarti ada sekitar 60 orang yang bekerja dari setiap 100 penduduk usia kerja. Merujuk angka EPR itu, pengangguran di perkotaan lebih tinggi daripada perdesaan.
Berapa rata-rata nasional upah buruh atau gaji bersih yang diterima buruh, guru, karyawan, dan pegawai? Kecil saja ternyata, Rp 2,74 juta per bulan. Hanya Kepulauan Riau, DKI Jakarta, dan Papua yang disebut BPS sebagai provinsi dengan rata-rata upah sekitar Rp 4 juta per bulan.
Baca juga: Menghitung Hidup dengan Upah Minimum Rp 150.000 Per Hari
Dengan upah minimum rata-rata kurang dari Rp 100.000 per hari, kaum pekerja se-Nusantara dihadapkan pada harga bahan pokok yang terus berfluktuasi dalam 1-2 tahun terakhir. Setelah heboh naiknya harga telur beberapa waktu lalu, masyarakat pusing menghadapi melambungnya harga minyak goreng yang sempat disertai kelangkaan di pasaran. Harga daging sapi stabil tinggi sekarang. Di beberapa daerah, solar sempat susah didapat.

Tangkapan layar dari Booklet Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2021.
Kondisi tak nyaman yang dirasakan pekerja di Indonesia sesuai prediksi Organisasi Buruh Internasional (ILO). Laporan World Employment and Social Outlook: Trends 2022 dari ILO, memproyeksikan total jam kerja global pada 2022 akan tetap hampir 2 persen di bawah tingkat pra-pandemi. Ini sesuai defisit 52 juta setara pekerjaan waktu penuh dengan asumsi 48 jam kerja per pekan.
Pengangguran global diproyeksikan mencapai 207 juta pada 2022 atau naik 21 juta dibandingkan dengan 2019. Pada tahun ini, rasio lapangan kerja terhadap populasi diproyeksikan 55,9 persen atau 1,4 poin di bawah persentase tahun 2019. Tingkat pengangguran global diproyeksikan akan tetap di atas level 2019 setidaknya hingga 2023.
Baca juga: Berpacu Menyelamatkan Kota-kota Pesisir
Pemulihan pasar tenaga kerja paling cepat terjadi di negara-negara berpenghasilan tinggi. Hanya sekitar 15 persen pekerjaan di negara maju adalah pekerjaan sementara atau temporer. Di negara berpenghasilan rendah, termasuk Indonesia, lebih dari sepertiga pekerjaan adalah pekerjaan sementara.
Di negara berkembang, ILO melihat pekerjaan sementara sering kali berupa pekerjaan informal dengan sedikit atau tanpa akses ke sistem perlindungan sosial dan pekerjaan. Pekerja sementara berpotensi lebih tinggi kehilangan mata pencarian daripada pekerja non-sementara.

Pengemudi ojek daring mengantarkan makanan dan berbagai barang kiriman ke Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (17/1/2022).
Selama pandemi ini diakui ada peningkatan dalam penciptaan pekerjaan temporer. Jasa kurir dan ojek daring yang booming di perkotaan Indonesia bisa jadi termasuk dari jenis pekerjaan sampingan. Namun, mau tak mau kemudian menjadi satu-satunya tempat bergantung banyak orang karena tidak terserap pasar pekerjaan tetap.
Pada Konferensi Perburuhan Internasional tahun lalu, 187 negara anggota ILO mendengungkan panggilan global demi bertindak untuk pemulihan yang berpusat pada manusia dari krisis akibat Covid-19. Panggilan global itu menyerukan pemulihan ekonomi dengan menciptakan pasar kerja yang inklusif, berkelanjutan, dan tangguh.
Mencapai pemulihan yang berpusat pada manusia itu membutuhkan keberhasilan implementasi empat pilar, yaitu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi inklusif; perlindungan semua pekerja, perlindungan sosial universal, dan dialog sosial. Masing-masing memiliki bagian penting untuk dimainkan dan diakui tak mudah dilakukan, bahkan oleh negara-negara anggota ILO sendiri.
Pekerja kerah baru
Di tengah kesenduan dunia perburuhan, ada gelombang harapan baru dengan hadirnya kelas ”new collars”. Pekerja kerah baru ini adalah respons pekerja, terutama pekerja rendahan, yang gerah dengan tekanan bertubi-tubi dan masa depan yang tak jelas di masa pandemi juga setelahnya nanti.
Publikasi riset Renaissance 2022, The New People Shaping Our Future dari Oliver Wyman Forum menyatakan, ”kerah baru” ini adalah pekerja kerah biru yang menggunakan kondisi jungkir balik di masa pandemi justru untuk mempelajari keterampilan baru. Sama-sama merasakan efek buruk penyebaran infeksi virus korona jenis baru dan varian-variannya sampai tingkat tertentu, respons pelopor kerah baru ini berbeda.
Alih-alih menerima nasib ini, sebagian pekerja kerah biru mengarahkan pandangan mereka ke cakrawala baru. Mereka mempelajari keterampilan baru bukan untuk mempertahankan pekerjaan, melainkan menaikkan kompetensi agar mudah meraih pekerjaan dambaan.

Renaissance 2022 ini memaparkan, banyak pekerja kerah biru atau pekerja rendahan yang sering disamakan dengan buruh berupah minimum, kehilangan pekerjaan atau mengalami pengurangan pendapatan karena berbagai pembatasan saat pandemi ini.
Tak hanya itu, rata-rata pekerja kerah biru ini harus tetap ada di lapangan dan menanggung risiko tertular Covid-19 juga menularkannya kepada keluarga mereka. Di saat bersamaan, mereka menyaksikan karyawan kerah putih nyaman terlindungi karena lancar bermigrasi dari bekerja di kantor menjadi bekerja di rumah dengan pekerjaan dan gaji mereka terlindungi.
Alih-alih menerima nasib ini, sebagian pekerja kerah biru mengarahkan pandangan mereka ke cakrawala baru. Lebih optimistis, berorientasi pada komunitas, tangguh, dan berani mengambil risiko di era digitalisasi ini. Mereka mempelajari keterampilan baru bukan untuk mempertahankan pekerjaan yang sudah ada, melainkan menaikkan kompetensi agar makin mudah meraih pekerjaan dambaan.
Baca juga: Kota Sepeda Amsterdam Setelah 50 Tahun
Banyaknya kursus daring terjangkau di masa pandemi membantu banyak orang bertransformasi makin memahami dan menguasai seluk-beluk dunia digital, mulai dari bisnis daring sampai terjun di bidang kerja kecerdasan buatan. Penguasaan di bidang digital mendukung lahirnya kelas pekerja kerah baru. Kelas pekerja baru ini tidak melulu didominasi kaum milenial atau yang lebih muda, mereka yang dari generasi lebih tua pun terbukti mampu masuk barisan pembelajar dan optimistis ini.
Transendensi karier kerah baru diyakini akan membantu menuju revolusi tenaga kerja. Saat ini, menurut Renaissance 2022, setidaknya empat dari setiap lima orang sudah berada dalam jalur pekerja kerah baru.

Tangkapan layar dari Rennaisance 2022 dari Oliver Wyman Forum terkait hasil survei mereka terhadap "New Collars".
Bloomberg menuliskan lahirnya kerah baru diyakini turut mendorong jutaan orang memilih mundur dari pekerjaannya di Amerika Serikat tahun lalu. Mereka mencoba peruntungan baru di bidang yang memungkinkan mereka memiliki waktu fleksibel dalam berkarya dengan pendapatan lebih baik dari keterampilan baru yang dimiliki.
Akibatnya, Pemerintah AS mengumumkan ada 10 juta lowongan pekerjaan pada November 2021. Ada perubahan kebijakan yang memberikan angin segar bagi pekerja, seperti iming-iming pendapatan dan jaminan perlindungan sosial ataupun yang lebih baik agar orang mau mengisi jutaan lowongan tersebut.
Baca juga: Jurnalisme Urban untuk 7,9 Miliar Penduduk Bumi
Revolusi tenaga kerja ini juga telah terdeteksi ada di Indonesia, terutama tenaga kerja yang mulai terjun di dunia digital. Seperti dikutip dari Kontan, untuk mendukung berkembangnya pekerja kerah baru, pada 3 Agustus 2020, Presiden Joko Widodo menyatakan Indonesia butuh melakukan transformasi digital.
”Negara kita membutuhkan talenta digital sebanyak kurang lebih 9 juta orang untuk 15 tahun ke depan. Ini perlu betul-betul sebuah persiapan,” kata Presiden.

Tangkapan layar dari Booklet Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2021
Disengaja atau tidak, angka 9 juta yang disebut Presiden sesuai dengan angka pengangguran di Indonesia. Sekitar 1,5 tahun seusai pidato tersebut, PHK massal masih terus menjadi momok bagi pekerja. Kaum pekerja ketar-ketir akan nasibnya karena belum semua dapat menggapai peluang baru dengan bertransformasi menjadi pekerja kerah baru.
Ekosistem yang mendukung agar tercipta makin banyak pekerja bertalenta, terutama di bidang digital, sepertinya masih jauh dari harapan. Berbagai pelatihan daring yang tersedia di Indonesia belum sepenuhnya terjangkau oleh angkatan kerja.
Selain itu, data BPS yang menunjukkan masih rendahnya kualitas sebagian angkatan kerja di Indonesia. Secara total, angkatan kerja didominasi penduduk berpendidikan tingkat dasar sebesar 53,26 persen dan 1,05 persen bahkan tidak pernah sekolah. Jika pendidikan dasar saja belum dipenuhi, sulit bagi angkatan kerja untuk menguasai talenta digital yang dibutuhkan.
Kerja ekstrakeras dengan program serta kebijakan yang lebih fokus dibutuhkan agar revolusi pekerja kerah baru berhasil baik pula di Indonesia.
Baca juga: Catatan Urban