Selain bertentangan dengan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), kredit perbankan untuk pembangunan PLTU batubara dinilai menghambat pencapaian target emisi nol bersih nasional.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah bank milik negara masih mendanai proyek pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batubara. Selain bertentangan dengan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), kredit perbankan itu dinilai menghambat capaian emisi nol bersih nasional. Di sisi lain, pemberian kredit itu dianggap sebagai langkah pragmatis bank karena PLTU batubara masih menguntungkan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, kredit perbankan pada sektor energi kotor menguntungkan dalam jangka pendek, tetapi merugikan dalam jangka panjang. Hal ini mengingat tren investasi dan konsumsi global yang mulai bergeser dengan mengutamakan prinsip ESG..
Pendanaan oleh bank milik negara itu, antara lain, terlihat dalam proyek pembangunan smelter yang memanfaatkan listrik dari PLTU baru berbahan bakar batubara. Menurut lembaga swadaya masyarakat (LSM) bidang lingkungan Market Forces, total pendanaan yang diberikan perbankan milik negara mencapai 1,75 miliar dollar AS atau Rp 25,83 triliun, merujuk kurs 12 Mei 2023.
”PLTU batubara merupakan proyek jangka panjang. Bertambahnya PLTU baru berarti menambah pekerjaan rumah untuk memensiunkan dini PLTU yang ada,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ”Menagih Komitmen Bank BUMN” yang digelar LSM bidang lingkungan 350.or Indonesia secara hibrida di Jakarta, Kamis (6/7/2023).
Indonesia sejatinya berkomitmen menutup seluruh operasi PLTU batubara pada tahun 2050 untuk mencapai target emisi nol bersih. Pemerintah juga menargetkan pengakhiran dini operasi PLTU sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden No 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Akan tetapi, target itu dinilai tidak mudah. Operasi PLTU batubara masih dominan. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2022, batubara berperan 67,21 persen dalam bauran energi pembangkit.
Pro dan kontra
Campaigner Market Forces Nabilla Gunawan menuturkan, penambahan PLTU juga bertentangan dengan laporan Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA). Laporan itu mengemukakan, tidak boleh ada pembangunan PLTU baru untuk mencapai batas kenaikan suhu 1,5 derajat celsius, selaras dengan komitmen emisi nol bersih.
”Dengan perubahan perilaku konsumen, produk seperti aluminium hingga mobil atau motor listrik yang dihasilkan dari pemanfaatan energi kotor bisa ditinggalkan,” ujarnya.
Prinsip ESG memang sudah menjadi bagian dari komitmen perbankan milik negara. Namun, proses transisi energi yang masih belum jelas membuat perbankan bersikap pragmatis.
Nabilla juga mempertanyakan mengapa pendanaan tidak didorong pada sektor energi baru terbarukan (EBT). Sebab, selain menurunkan emisi, pembangunan pembangkit listrik tenaga EBT juga meningkatkan tingkat bauran energi.
Secara terpisah, pengajar dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Toto Pranoto, berpandangan, prinsip ESG memang sudah menjadi bagian dari komitmen perbankan milik negara. Namun, proses transisi energi yang masih belum jelas membuat perbankan bersikap pragmatis.
”Artinya, selama feasibility kredit ke sektor energi kotor, seperti batubara, masih menguntungkan, maka perbankan akan terus masuk,” ujarnya.
Dalam situasi ini, kebijakan transisi energi oleh pemerintah harus lebih konkret sehingga perbankan dapat mengambil keputusan bisnis yang tepat. Sebab, menurut Toto, perbankan tentu tidak ingin mendanai sektor EBT yang tergolong mahal dan belum jelas prospek bisnisnya.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan insentif yang lebih kuat agar sektor energi bersih dapat berkembang lebih luas. Jadi, prinsip ESG yang digaungkan bukan sekadar latah dengan tren global, melainkan kebutuhan mendesak dunia usaha.
Corporate Secretary PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Aestika Oryza Gunarto menyebutkan, portofolio kredit sektor batubara di BRI tercatat kurang dari 1 persen dari total penyaluran kredit. Ke depan, pihaknya akan terus fokus di segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Secara spesifik, penyaluran kredit akan fokus pada sektor pertanian, industri pengolahan, perdagangan, jasa keuangan, kesehatan, dan kesenian hiburan.
”Pada sektor energi, BRI terus memperbesar porsi pembiayaan kepada sektor EBT sebagai komitmen untuk mewujudkan perbankan berkelanjutan,” katanya.
Hingga Maret 2023, BRI telah memberikan pembiayaan pada kegiatan ESG mencapai Rp 710,9 triliun atau setara dengan 66,7 persen dari total pinjaman. Jumlah itu meningkat 11,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2022 yang sebesar Rp 639,8 triliun atau 65,6 persen dari total pinjaman.
Aestika menambahkan, BRI akan terus melakukan pemetaan portofolio usaha berkelanjutan dan memberikan kredit kepada sektor usaha yang ramah lingkungan. Selanjutnya, kegiatan operasional yang efisien dan ramah lingkungan akan terus didorong.
Senada, Corporate Secretary PT Bank Mandiri Rudi As Aturridha mengutarakan, pihaknya berkomitmen untuk menjalankan prinsip berkelanjutan dalam setiap proses bisnis. Hal ini mencakup dukungan pada upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Upaya itu, salah satunya, dilakukan melalui penyediaan pendanaan berkelanjutan (sustainable financing).
Hingga Maret 2023, Bank Mandiri telah menyalurkan pendanaan berkelanjutan sebesar Rp 232 triliun atau 25 persen dari total kredit perbankan, yang meningkat 13 persen secara tahunan (year on year). Dari jumlah itu, nilai pendanaan hijau (green financing) mencapai Rp 109 triliun atau 11,8 persen dari total kredit perbankan, yang meningkat 12,6 persen secara tahunan. Adapun pendanaan hijau disalurkan pada sektor EBT, pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan, serta produk dengan penggunaan sumber daya dan polusi sedikit.
”Selain pendanaan berkelanjutan, Bank Mandiri juga terus mengembangkan produk seperti sustainability linked loan bagi debitor yang bergerak di sektor dengan emisi karbon tinggi, seperti industri semen dan peternakan. Dengan demikian, kami berharap debitor dapat melakukan transisi menuju kegiatan usaha yang lebih ramah lingkungan,” kata Rudi.
Menurut Bhima, pendanaan pada sektor energi kotor yang dilakukan perbankan dapat merusak reputasi perbankan. Ekspektasi prinsip ESG berpotensi membuat nasabah beralih pada bank yang mendukung sektor energi bersih.
Selain itu, bank juga berpotensi terkena pajak karbon dari jumlah emisi yang dihasilkan dari pendanaan energi kotor. ”Nilai yang perlu dibayarkan itu tidak sedikit. Nanti akan muncul pertanyaan, pajak karbon yang perlu dibayarkan apakah akan dibebankan pada nasabah?” ungkapnya.
Pengoperasian PLTU saat ini, kata Bhima, termasuk mahal karena beban teknologi seperti co-firing (pembakaran bijih batubara bersama biomassa). Karena itu, jaminan pasokan batubara ke PLTU menjadi krusial. Di sisi lain, untuk menambang batubara berkalori tinggi diperlukan biaya tambah pula, misalnya logistik.