Jika dikalkulasikan, realisasi pendanaan transisi energi masih jauh dari biaya yang dibutuhkan. Pengumpulan dana dari masyarakat melalui surat berharga negara bisa jadi salah satu solusi alternatif.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Deni Ridwan menjelaskan mengenai surat berharga negara dalam diskusi bertajuk SUN dan Pembiayaan Transisi Energi di Indonesia yang diadakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), di Jakarta, Kamis (22/6/2023).
JAKARTA, KOMPAS - Pendanaan publik melalui penerbitan surat berharga negara atau SBN dapat menjadi salah satu alternatif untuk mewujudkan transisi energi. Sampai saat ini, pemerintah telah menerbitkan beberapa obligasi berkelanjutan dengan tujuan tertentu atau thematic bond yang dapat menjadi pilihan untuk alokasi pendanaan transisi energi.
SBN merupakan dokumen atau surat yang diterbitkan oleh pemerintah untuk menghimpun dana yang memberikan imbal hasil dengan ketentuan jangka waktu tertentu. Penerbitan SBN dilakukan oleh pemerintah sebagai sumber pembiayaan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Direktur Surat Utang Negara pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Deni Ridwan, menuturkan, selama ini SBN turut berkontribusi pada pembiayaan transisi energi. Namun, tidak terlihat secara langsung lantaran sebagian besar penerbitan SBN dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan defisit APBN.
"Dari sisi pembiayaan,pemerintah akan terus mengembangkan pembiayaan yang inovatif melalui blended financing (pembiayaan campuran), baik itu melalui partisipasi publik ataupun penerbitan thematic bonds. Upaya tersebut diharapkan bisa mendukung pembiayaan berkelanjutan untuk transisi energi," ujarnya dalam diskusi bertajuk SUN dan Pembiayaan Transisi Energi di Indonesia yang diadakan Institute for Essential Services Reform (IESR), di Jakarta, Kamis (22/6/2023).
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Deni Ridwan menjelaskan mengenai perkembangan obligasi kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (24/5/2023).
Deni menambahkan, mayoritas SBN dimiliki oleh investor domestik, baik institusi atau korporasi, maupun perorangan atau ritel. Sementara jumlah investor SBN yang tercatat hanya sekitar 15 persen.
Seperti diketahui, SBN terdiri atas dua instrumen, yakni Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara(SBSN). Beberapa instrumen SUN antara lain, Obligasi Negara (ON), ON Ritel (ORI), dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN). Sementara instrumen SBSN, antara lain terdiri atas Islamic FixedRate (IFR), Sukuk Ritel (SUKRI), dan Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI).
Selain itu, terdapat obligasi berkelanjutan untuk tujuan tertentu, yakni thematic bond. Surat utang ini terdiri atas Green Sukuk, sustainable development goals (SDGs) Bond, dan Blue Bond.
Masalahnya, pensiun dini PLTU ini tidak menarik bagi investor semetara pendanaan dari JETP (Kerja Sama Transisi Energi yang Adil) hanya sebesar 20 miliar dollar AS.
Kepala Subdirektorat Pengembangan dan Pendalaman Pasar SUN DJPPR Kemenkeu Chandra A S Wibowo menjelaskan, penerbitan thematic bond akan melengkapi portofolio pemerintah untuk memperluas basis investor dan untuk pembiayaan berkelanjutan. Upaya tersebut diharapkan akan membuka alternatif pembiayaan berkelanjutan lainnya bagi Indonesia.
"Pengelolaan utang harus dilakukan secara prudent, fleksibel, dan akuntabel. Dalam menentukan besaran dan waktu penerbitan SBN, pemerintah mempertimbangkan kondisi pasar keuangan, risiko nilai tukar, kebutuhan pembiayaan, serta kondisi kas negara. Ini dilakukan agar sesuai dengan kebutuhan dan memperoleh biaya yang paling optimal dengan risiko yang terukur," katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Untuk pertama kalinya, pemerintah menerbitkan thematic bond pada tahun 2018 berupa Global Green Sukuk sebesar 1,25 miliar dollar AS di pasar global. Lalu, setiap tahunnya pada periode 2019-2022, pemerintah menerbitkan Global Green Sukuk dengan nilai 5 miliar dollar AS.
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Pembicara bersama para peserta dalam diskusi bertajuk SUN dan Pembiayaan Transisi Energi di Indonesia yang diadakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), di Jakarta, Kamis (22/6/2023).
Kemudian, realisasi Green Sukuk yang diterbitkan sejak tahun 2019 sampai 2022 mencapai Rp 28,5 triliun. Dari jumlah tersebut, lebih dari separuhnya dimiliki oleh investor ritel.
Chandra menambahkan, SDGs Bond diterbitkan pertama kalinya pada tahun 2021 di pasar global mencapai 500 juta Euro. Sementara untuk pasar domestik, SDGs Bond yang terbit pada Oktober 2022 terealisasi sebesar Rp 7,81 triliun.
"Untuk pertama kalinya pada 19 Mei 2023, pemerintah menerbitkan SUN Blue Bonds yang berdenominasi yen sebesar 20,7 miliar yen dengan tenor tujuh tahun dan 10 tahun. Imbal hasil dari masing-masing kupon sebesar 1,20 persen dan 1,43 persen," imbuhnya.
Pensiunkan PLTU
Menurut perhitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), transisi energi dalam rangka mengejar nol emisi karbon (net zero emission/NZE) pada 2060 membutuhkan biaya sedikitnya 1.108 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 15.000 triliun. Jika dirata-rata, dibutuhkan biaya sekitar Rp 400 triliun per tahun. Namun, pada tahun 2022 realisasinya masih jauh dari target, yakni Rp 23 triliun atau baru mencapai sekitar 5 persennya.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa
Selain itu, berdasarkan peta jalan yang disusun oleh Kementerian ESDM, tingkat bauran energi baru dan energi terbarukan (EBT) ditargetkan mampu mencapai 23 persen pada tahun 2025. Namun, sampai tahun 2022, bauran EBT baru mencapai sekitar 12 persen.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa berpendapat, alokasi pendanaan transisi energi masih sangat minim sehingga membutuhkan dukungan lain berupa pendanaan campuran. Ini dapat direalisasikan baik melalui pendanaan publik maupun investor (privatefinance).
"Dalam kajian IESR, pendanaan untuk pensiun dini PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) itu penting dan menjadi kunci untuk menaikkan bauran energi terbarukan. Kami menghitung, untuk sampai tahun 2030 dibutuhkan biaya 130 miliar dollar AS sampai 150 miliar dollar AS untuk kapasitas 8,6 gigawat (GW) - 9,6 GW. Masalahnya, pensiun dini PLTU ini tidak menarik bagi investor sementara pendanaan dari JETP (Kerja Sama Transisi Energi yang Adil) hanya sebesar 20 miliar dollar AS, " tuturnya.
Pendanaan ini merupakan bentuk dukungan dari negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jepang, untuk mendorong pensiun dini PLTU dan menekan emisi karbon, termasuk transisi energi. JETP terdiri atas pembiayaan publik dan swasta senilai 20 miliar dollar AS dan mekanisme transisi energi senilai 500 juta dollar AS.
Secara teknis, salah satu target yang ditetapkan bersama untuk memperoleh pendanaan tersebut antara lain mewajibkan Indonesia mencapai bauran energi terbarukan 34 persen dalam produksi listrik pada 2030. Menurut Fabby, target ini dapat tercapai dengan mengurangi operasi PLTU, membangun infrastruktur pembangkit energi terbarukan, serta menguatkan transmisi dan penyimpanan energi (energy storage).
"Menghentikan operasi PLTU dan membangun pembangkit listrik dari energi terbarukan membutuhkan investasi. Ini harus mulai direncanakan sebelum tahun 2030 karena untuk proses transaksinya membutuhkan paling tidak hingga dua tahun. Pemerintah bersama PLN (PT Perusahaan Listrik Negara Persero) harus mulai menetapkan target yang selaras dengan JETP dan membuat inovasi pembiayaan," lanjutnya.