Mengakselerasi program transisi energi di Indonesia tak cukup hanya dengan dana investasi. Perbaikan regulasi, sistem birokrasi, dan edukasi mengenai mitigasi pemanasan global dan transisi energi juga penting.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Di sela-sela penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada November 2022, muncul sejumlah inisiatif kerja sama untuk mendukung proyek transisi energi di Indonesia. Dengan dukungan negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jepang, Indonesia mendapat sokongan dana untuk memulai proyek menghentikan operasionalisasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan membuktikan keseriusannya dalam menekan emisi karbon.
Pendanaan itu didapat dari skema Kerja Sama Transisi Energi yang Adil (JETP) melalui kerja sama pembiayaan publik dan swasta senilai 20 miliar dollar AS atau sekitar Rp 300 triliun, serta Mekanisme Transisi Energi (ETM) senilai 500 juta dollar AS atau Rp 7 triliun. Hingga kini, belum ada kejelasan kapan ”kedatangan” dana 20 miliar dollar AS tersebut.
Bahkan, dalam penyelenggaraan KTT G7 di Jepang pada Mei lalu, Presiden Joko Widodo yang diundang sebagai tamu konferensi menagih komitmen dukungan pendanaan untuk transisi energi sebesar 20 miliar dollar AS tersebut. ”Saya harap dukungan dana 20 miliar dollar AS dapat segera direalisasikan, tetapi tidak dalam bentuk utang,” kata Presiden di hadapan para delegasi G7 (Kompas.id, 20/5/2023).
Untuk JETP, Indonesia mendapat dana dari Amerika Serikat dan Jepang. Adapun kerja sama lewat ETM dilakukan dengan dukungan bank pembangunan multilateral, seperti Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Pembangunan Islam (IsDB), dan Bank Dunia (World Bank).
Dalam negosiasi skema JETP, ada empat syarat yang diajukan Indonesia. Pertama, kebijakan transisi energi jangan sampai mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kedua, harus ada dukungan berupa teknologi berbiaya rendah. Ketiga, transisi energi harus di saat yang tepat. Keempat, pinjaman yang diberikan harus berasal dari negara dengan rating kredit yang baik (Kompas, 16/11/2022).
Setumpuk masalah
Transisi energi dilatarbelakangi kesadaran untuk merawat Bumi menjadi lebih baik. Pemanasan global, udara yang makin tercemar, serta berbagai fenomena alam, seperti banjir bandang, pola cuaca yang berubah, dan angin tornado, disebut-sebut terpengaruh oleh (baik langsung atau tak langsung) efek gas rumah kaca. Salah satu penyumbang gas rumah kaca adalah sektor energi (PLTU) dan transportasi meski kontribusi terbesar ada di deforestasi.
Untuk mendukung program transisi energi dalam negeri, pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) berkomitmen ”memensiunkan” lebih dini operasi sejumlah PLTU dengan kapasitas sekitar 9 gigawatt sebelum 2030. Cara lainnya adalah dengan mempercepat pengembangan pembangkit listrik bertenaga energi terbarukan, seperti bayu, hidro, panas bumi, dan tenaga surya.
Tak hanya itu, Indonesia berangan-angan menjadi yang terdepan di kawasan ASEAN dalam hal pengembangan kendaraan listrik. Rantai pasok dari hulu ke hilir akan diupayakan lewat sejumlah cara, seperti pembangunan pabrik baterai dengan menggandeng perusahaan otomotif dari Korea Selatan, Hyundai. Begitu pula rantai pasok dari hulu ke hilir untuk energi terbarukan.
Meski ada dukungan dana 20 miliar dollar AS untuk mendukung transisi energi Indonesia, tak berarti rencana transisi energi bakal mulus. Pasalnya, untuk menuju target emisi nol bersih (net zero emission) pada 2060, Indonesia butuh 1 triliun dollar AS atau sekitar Rp 15.000 triliun. Artinya, per tahun membutuhkan sekitar Rp 400 triliun. Dengan demikian, dana JETP masih jauh dari cukup.
Indonesia juga masih bergantung pada batubara untuk menghidupi listrik di seluruh negeri. Sekitar 60 persen pembangkit listrik di Indonesia harus membakar batubara untuk menghasilkan listrik.
Tak hanya itu, Indonesia perlu menghadapi tantangan dalam membangun infrastruktur yang memadai. Hal ini termasuk pembangunan jaringan listrik yang dapat mengintegrasikan sumber energi terbarukan, peningkatan kapasitas pembangkit terbarukan, dan pengembangan sistem penyimpanan energi. Selain masalah biaya dan infrastruktur, kerangka regulasi yang jelas dan kebijakan yang mendukung sangat penting untuk mempercepat transisi energi.
Transisi energi yang sukses juga membutuhkan kesadaran dan partisipasi masyarakat yang tinggi. Pendidikan dan kampanye publik perlu ditingkatkan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang manfaat energi terbarukan, perlindungan lingkungan, dan peran mereka dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Intinya, tak cukup hanya sekadar uang ratusan triliun rupiah.