Kantongi Dana Lewat G20, Pemerintah Harus Buktikan Keseriusan Transisi Energi
Selama lima tahun terakhir atau selama 2017-2021, penggunaan batubara dalam sektor ketenagalistrikan di Indonesia adalah yang tertinggi di antara negara G20. Keseriusan Indonesia dalam mempercepat transisi energi diuji.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS — Melalui KTT G20, Indonesia mendapat komitmen pendanaan dari negara maju untuk mempercepat transisi energi dengan memakai skema Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP). Pemerintah diingatkan agar serius dan konsisten dalam menyusun skema kebijakan transisi energi. Solusi yang ditawarkan harus benar-benar mendukung pengurangan emisi, bukan solusi palsu yang ”seolah-olah hijau”.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya, Kamis (17/11/2022), mengatakan, dana senilai 20 miliar dollar AS atau Rp 310 triliun yang didapat Indonesia dari kemitraan dengan Amerika Serikat dan Jepang lewat skema JETP itu harus diterjemahkan ke dalam skema investasi yang konsisten dengan target capaian pengurangan emisi.
Menurut Berly, dengan komitmen pendanaan baru berukuran jumbo ini, pemerintah harus membuktikan keseriusannya dalam mempercepat transisi energi. Pasalnya, selama ini belum ada keselarasan antara komitmen target niremisi yang sering digaungkan pemerintah dan realisasi kebijakan serta regulasi yang dimunculkan.
Selama periode lima tahun terakhir (2017-2021), penggunaan batubara dalam sektor ketenagalistrikan di Indonesia yang paling tinggi di antara negara-negara G20, naik sekitar 40 persen. Berikutnya adalah Turki, China, India, dan Rusia. Laju pengembangan energi terbarukan di Indonesia juga termasuk yang terendah di antara negara-negara G20 lainnya.
”Memang, sejak perencanaan konstruksi awal pembangkit listrik, yang digunakan adalah batubara yang masih murah. Dulu mungkin masih dianggap tidak apa-apa polusi, yang penting murah. Sekarang, sudah polusi, mahal pula,” kata Berly dalam diskusi publik ”Urgensi dan Tantangan Transisi Energi G20”.
Menurut dia, Indonesia bisa belajar dari sejumlah negara lain untuk mendorong transisi energi. Beberapa negara memberi komitmen peningkatan subsidi feed-in tariff atau garansi bahwa pemerintah akan membeli energi terbarukan dalam jumlah cukup besar untuk waktu yang cukup panjang. Itu memberi kepastian bagi investor sehingga mereka berani untuk berinvestasi mengembangkan pembangkit listrik bertenaga energi bersih.
”Kita di Indonesia malah terbalik. Karena kapasitas berlebih, sudah ada komitmen untuk beli batubara, jadi yang bersih dibatasi, seperti solar. Kita telanjur membeli yang kotor, yang bersih dikurangi. Dan, sekarang ujung-ujungnya kita berakhir membeli yang mahal dan kotor pula,” ujarnya.
Jangan sampai sudah dibuka komitmennya, tetapi karena dilihat kita kurang serius, dana itu tidak bisa dicairkan sebagian atau bahkan semuanya.
Ia mengingatkan, dana 20 miliar dollar AS yang diumumkan bersama oleh Presiden Joko Widodo, Presiden AS Joe Biden, dan sejumlah kepala negara G7 lainnya di sela-sela KTT G20 di Bali, baru berupa komitmen pembiayaan. Oleh karena itu, pemerintah harus membuktikan melalui pilihan kebijakan dan regulasi ke depan bahwa Indonesia benar-benar serius melakukan transisi energi.
”Jangan sampai sudah dibuka komitmennya, tetapi karena dilihat kita kurang serius, dana itu tidak bisa dicairkan sebagian atau bahkan semuanya. Perlu ada kebijakan yang konsisten dan target niremisi yang lebih ambisius di sektor ketenagalistrikan,” ujarnya.
Solusi palsu
Berly juga mengingatkan akan bahaya solusi palsu transisi energi. Misalnya, transisi energi dari batubara ke energi alternatif, seperti biodiesel, nuklir, atau gasifikasi batubara. Menurut dia, meski tidak bersandar pada batubara, solusi itu tetap akan menghasilkan emisi yang cukup tinggi. Langkah tersebut juga lebih bertujuan untuk mengurangi impor, alih-alih mendorong transisi energi dan ekonomi hijau yang sebenar-benarnya.
”Kita perlu fokus, perlu serius. Ini yang sangat ditunggu oleh para donor dan warga dunia. Transisi energi berkelanjutan itu jangan hanya selama G20, tetapi sampai setelahnya,” kata Berly.
Biaya memulai transisi energi di sektor pembangkit listrik yang selama ini bergantung pada energi fosil tidak murah. Lewat sejumlah inisiatif kerja sama yang digagas di forum G20, Indonesia mendapat sokongan dana untuk memulai proyek menghentikan operasional PLTU dan membuktikan keseriusannya dalam menekan emisi karbon.
Pendanaan itu didapat dari skema JETP melalui kerja sama pembiayaan publik dan swasta senilai 20 miliar dollar AS atau sekitar Rp 310 triliun serta Mekanisme Transisi Energi (ETM) senilai 500 juta dollar AS atau Rp 7,7 triliun. Kedua inisiatif itu diluncurkan di sela-sela ajang KTT G20.
Transisi energi berkelanjutan itu jangan hanya selama G20, tetapi sampai setelahnya.
Untuk JETP, Indonesia mendapat dana dari AS dan Jepang. Adapun kerja sama lewat ETM dilakukan dengan dukungan bank pembangunan multilateral, seperti Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Pembangunan Islam (IsDB), dan Bank Dunia (World Bank).
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, saat konferensi pers di Nusa Dua, Bali, Selasa (15/11/2022) mengatakan, dalam enam bulan ke depan, melalui skema JETP, pemerintah bersama tim dari AS dan Jepang akan mengembangkan rencana investasi untuk mempercepat capaian target niremisi di sektor ketenagalistrikan Indonesia 10 tahun lebih cepat, dari awalnya tahun 2060 menjadi 2050.
Ia belum mengungkap PLTU mana saja yang akan dipensiunkan lebih cepat melalui skema pendanaan JETP. Namun, targetnya, pemerintah akan menyasar penghentian operasional 5,2 gigawatt (GW) PLTU. Adapun pembiayaan publik dan swasta itu akan dilakukan dalam periode 3-5 tahun dengan menggunakan dana hibah, pinjaman lunak, jaminan, dan investasi swasta.
”Banyak yang harus kita lakukan dalam enam bulan. Kita punya bayangan soal skemanya, tetapi itu butuh waktu untuk finalisasi. Bagaimana jadwal penghentiannya, berapa porsi pinjaman yang kita dapat, seberapa menguntungkan tingkat suku bunga yang akan kita dapat, itu nanti didiskusikan lagi,” kata Luhut.