Program Pensiun Dini PLTU Batubara Dinilai Penting
Target komitmen JETP lebih tinggi dibandingkan kebijakan dan perencanaan yang sudah ditetapkan. Misalnya, target emisi dan bauran energi terbarukan yang lebih tinggi 10 persen dari RUPTL PLN 2021-2030.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batubara dinilai krusial dalam pemenuhan target transisi energi, terutama dalam target komitmen kerja sama transisi energi berkeadilan. Setidaknya sekitar 8,6 gigawatt PLTU batubara mesti dipensiunkan sebelum 2030.
Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo mengatakan, penghentian PLTU batubara di Indonesia penting. Apalagi, Indonesia salah satu penerima komitmen pendanaaan Kerja Sama Transisi Energi Berkeadilan (JETP) yang berkomitmen mencapai puncak emisi 290 juta ton karbon dioksida (CO2) pada 2030.
Menurut Deon, target komitmen JETP lebih tinggi dibandingkan kebijakan dan perencanaan yang sudah ditetapkan. Misalnya, target emisi mencakup sektor ketenagalistrikan secara keseluruhan dan bauran energi terbarukan yang 10 persen lebih tinggi dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030.
”Artinya, untuk mencapai target tersebut dalam kurun waktu kurang lebih tujuh tahun perlu transformasi. Tidak hanya di perencanaan sistem kelistrikan, tetapi juga penghentian operasi PLTU batubara,” ujar Deon dalam keterangan tertulis, Selasa (20/6/2023)
Dengan asumsi semua pembangkit yang direncanakan dalam RUPTL 2021-2030 terbangun, IESR menghitung setidaknya sebanyak 8,6 GW PLTU batubara harus dipensiunkan sebelum 2030 agar target komitmen JETP tercapai. Lalu diikuti dengan pengakhiran operasi 7,6 GW PLTU sebelum 2040.
Sementara itu, peneliti senior IESR, Raditya Wiranegara, menambahkan, hingga 2050, investasi yang diperlukan untuk pengembangan energi terbarukan dan infrastruktur pendukung, sebagai pengganti PLTU batubara yang dipensiunkan, sebesar 1,2 triliun dollar AS. Dalam hal ini, dukungan pendanaan internasional diperlukan. Namun, upaya itu juga perlu didukung dengan pensiun dini PLTU.
Perlindungan
Communication Specialist Sekretariat JETP, Adityani Putri, mengemukakan, kemitraan JETP, yang ditandatangani di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, November 2022, ialah kerja kesepakatan Indonesia dengan sembilan negara. Kesepakatan tersebut bernominal 20 miliar dollar AS.
Salah satu target yang dicanangkan dalam JETP yakni bauran energi terbarukan ketenagalistrikan sebesar 34 persen pada 2030. ”Saat ini masih 12 persen. Dalam tujuh tahun harus menjadi 34 persen. Caranya dengan membangun pembangkit energi terbarukan sekaligus megurangi porsi energi nonterbarukan,” katanya dalam diskusi virtual ”JETP dan Inisiatif Transisi Energi di Akar Rumput”, Selasa.
Adityani menuturkan, tugas Sekretariat JETP dalam tiga tahun pertama ialah menyiapkan proyek yang akan didanai serta memikirkan bagaimana agar transisi energi adil untuk semua. Itu akan tertuang dalam Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) yang penyusunannya ditargetkan tuntas 16 Agustus 2023.
”CIPP ini panduan berupa living document. Artinya, akan terus berkembag seiring adanya masukan-masukan. Apakah CIPP adalah dokumen kebijakan? Ini yang memang masih menjadi pertanyaan besar karena landasan JETP adalah joint statement, bukan undang-undang atau peraturan,” ujarnya.
Indonesia Team Leader pada 350.org, lembaga swadaya masyarakat lingkungan internasional, Sisila Nurmal Dewi, menuturkan, pihaknya memandang krisis iklim bukan sekadar masalah lingkungan yang bisa diatasi dengan solusi-solusi teknis yang business as usual.
Namun, itu juga menyangkut perihal ekologi, sosial, ekonomi, dan politik. ”Jadi, selain implementasi berbasis energi terbarukan dalam mengatasi persoalan iklim, kita juga harus bisa mengatasi masalah ketidakadilan, atau setidaknya tak menghadirkan masalah baru,” ujarnya.
Ia menambahkan, negara-negara maju memang dituntut untuk lebih bertanggung jawab terhadap krisis iklim. Namun, bukan berarti negara-negara berkembang, termasuk Iindonesia, lepas tangan. Saat ini, energi fosil memang dianggap sebagai aset nasional, tetapi jangan sampai itu hanya menguntungkan segelintir orang.
Di level lebih bawah lagi, kata Sisila, perlu dipastikan bahwa masyarakat lokal tidak ditinggalkan dalam transisi energi. ”Kita berupaya agar solusi iklim ini menjawab kebutuhan mereka sesuai dengan kearifan lokalnya. Juga, sebisa mungkin tidak bergantung pada teknologi yang diciptakan (negara-negara) Barat,” katanya.