Pendanaan Transisi Energi Perlu Melindungi Masyarakat Terdampak
Masih banyak potensi sumber energi yang mampu dikembangkan oleh masyarakat. Hal ini harus digali dengan serius agar masyarakat dapat menghasilkan energi mereka sendiri.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan yang kuat, khususnya bagi masyarakat terdampak, sangat penting untuk dibahas dalam skema kemitraan transisi energi. Salah satu langkah yang dapat diambil ialah menjadikan pendanaan transisi energi berbentuk dana perwalian yang dapat diakses masyarakat untuk mewujudkan demokratisasi energi yang adil.
Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) Tri Mumpuni dalam diskusi daring dengan tema ”JETP dan Inisiatif Transisi Energi di Akar Rumput”, Selasa (20/6/2023), di Jakarta. Menurut dia, bantuan beberapa negara maju untuk Indonesia dalam melakukan transisi energi melalui skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) harus digunakan secara adil dan tepat.
Tri menilai, populasi yang berhak mendapatkan dana dalam porsi besar adalah masyarakat terdampak. Pendanaan tersebut juga bisa melalui lembaga tertentu yang berpihak untuk memperkuat energi di lingkungan masyarakat.
Selain itu, masih banyak potensi sumber energi yang mampu dikembangkan kelompok masyarakat. Hal ini harus digali dengan serius agar masyarakat dapat menghasilkan energi mereka sendiri. ”Oleh karena itu, pendanaan JETP seharusnya dapat berbentuk trust fund yang bisa diakses masyarakat. Banyak potensi energi terbarukan di grass root atau akar rumput yang bisa dikelola rakyat,” kata Tri.
Tri juga berharap lembaga-lembaga nonprofit dapat memberikan kontribusi dengan membantu masyarakat untuk bisa mengakses dana tersebut tanpa melihat siapa yang mendapatkan atensi beberapa pihak atas sebuah pembangunan untuk masyarakat.
Populasi yang berhak mendapatkan dana dalam porsi besar adalah masyarakat terdampak. Pendanaan tersebut juga bisa melalui lembaga tertentu yang berpihak untuk memperkuat energi di lingkungan masyarakat.
Di sisi lain, Tri melihat hambatan terbesar dalam transisi energi di Indonesia ialah kekurangkompakan semua pihak. Begitu pula dengan birokrasi di Indonesia yang mudah terkooptasi oleh pinjaman.
Koordinator Climate Rangers Cirebon Ahdi Aghni mengatakan, setelah pertemuan G20 di Bali, banyak kejanggalan muncul dan banyak pertanyaan publik terkait pendanaan JETP yang belum terjawab. Sekretariat JETP yang sudah terbentuk pun tidak membuka informasi kepada publik, apalagi mengajak keterlibatan publik.
”Namun, Sekretariat JETP justru seperti sedang menutupi sesuatu. Tidak ada keterbukaan informasi dan keterlibatan publik dalam masalah ini. Padahal, pendanaan JETP sebagian besar berbasiskan utang luar negeri,” ujar Ahdi (Kompas.id, 24/5/2023).
Mengenai hal itu, Direktur Komunikasi Sekretariat JETP Adhityani Putri menyampaikan, dokumen rencana investasi atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) bersifat living document sehingga bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Setelah dokumen CIPP diluncurkan, Sekretariat JETP akan melibatkan masyarakat sipil.
”Transisi energi di bawah skema JETP harus berkeadilan. Salah satu poinnya berupa pembagian beban biaya dan tanggung jawab yang adil atau merata,” kata Adhityani.
Adhityani menambahkan, dokumen CIPP akan fokus pada beberapa hal, antara lain, pengembangan jaringan transmisi, pensiun dini PLTU batu bara, pengembangan energi baru terbarukan (ETB) tipe baseload dan variable, serta membangun rantai pasok energi terbarukan.
Saat ini, Sekretariat JETP juga tengah menyiapkan peta jalan untuk setiap area yang akan mengerucut ke setiap proyek serta merencanakan pendanaan dan kebijakan yang diperlukan. Adapun tantangan transisi energi saat ini, menurut Adhityani, ialah kelebihan pasokan yang berasal dari pembangkit berbasis energi fosil.
Krisis iklim
Perubahan pemakaian energi fosil menuju energi terbarukan menjadi jalan untuk mereduksi dampak krisis iklim di masa depan. Ketua Tim Kampanye 350.org Sisilia Nurmala Dewi mengatakan, guna menahan peningkatan suhu Bumi atau mengantisipasi terjadinya krisis iklim, perlu kerja sama. Kolaborasi multinasional, multisektor, dan multipihak adalah kunci transisi energi global yang adil untuk mengatasi masalah perubahan iklim.
Selain itu, untuk mengurangi emisi karbon sekaligus menjadi solusi atas potensi terjadinya krisis iklim, perlu kombinasi tiga hal. Pertama, perlu menyimpan fosil di dalam tanah. Kedua, mengganti energi berbasis fosil dengan energi terbarukan, juga mentransformasikan infrastruktur energi untuk mendukung energi terbarukan dan elektrifikasi yang lebih luas. Ketiga, meningkatkan efisiensi energi dan subsistensi.
Tiga hal tersebut perlu dilakukan secara beriringan untuk mendapatkan target yang dituju, yaitu menahan peningkatan suhu muka Bumi. Namun, pemerintah ataupun masyarakat masih sering melupakan tiga hal tersebut dan hanya melakukan salah satunya.