Sejak tahun lalu, Indonesia meluncurkan skema pendanaan transisi energi bernama JETP. Namun, hingga kini belum jelas peta jalan dari proyek-proyek yang didanai JETP tersebut.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·3 menit baca
ATIEK ISHLAHIYAH AL HAMASY
Diskusi media dengan tema "Peran Anak Muda untuk Memastikan Keterbukaan Informasi dalam Proses Transisi Energi JETP Rp 310 Triliun" di Jakarta Pusat, Rabu (24/5/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Sejak adanya Just Energy Transition Partnership atau JETP pada tahun lalu, peta jalan dari proyek-proyek yang didanai JETP dinilai masih belum jelas dan tertutup. Bahkan, terdapat beberapa persoalan terkait dengan transisi energi yang berpotensi menggagalkan transisi energi secara berkeadilan. Untuk itu, beberapa komunitas peduli lingkungan dan iklim mendesak keterbukaan informasi bagi publik terkait dengan pendanaan JETP.
Juru Kampanye 350 Indonesia, Suriadi Darmoko, menilai, narasi pemerintah saat meluncurkan Sekretariat JETP tidak memprioritaskan transisi energi yang berkeadilan. Selain itu, kesimpangsiuran terkait JETP tidak hanya datang dari negara-negara donatur saja, tetapi juga Sekretariat JETP.
”Alih-alih transisi berkeadilan, dengan dana JETP, kita malah terjerumus dan bergantung lebih dalam lagi pada industri energi fosil,” kata Moko dalam diskusi media dengan tema ”Peran Anak Muda untuk Memastikan Keterbukaan Informasi dalam Proses Transisi Energi JETP Rp 310 Triliun” di Jakarta Pusat, Rabu (24/5/2023).
Hingga saat ini, masyarakat belum mengetahui sejauh mana rencana investasi atau ’investment plan’ dari JETP yang sedang dipersiapkan Pemerintah Indonesia.
Menurut Moko, kecenderungan dana JETP digunakan untuk melayani kepentingan industri energi fosil, baik untuk pensiun dini pembangkit listrik tenaga batubara maupun pengembangan industri pendukung energi baru terbarukan. Tanpa keterbukaan informasi dan partisipasi publik yang luas, kecenderungan pendanaan JETP justru akan malah mendukung keberlangsungan bisnis energi fosil.
Moko melanjutkan, keberpihakan pemerintah terhadap energi terbarukan di tingkat komunitas juga tidak jelas. Ketidakjelasan informasi terkait JETP menyebabkan potensi transisi energi dibajak kepentingan elite ekonomi-politik.
ATIEK ISHLAHIYAH AL HAMASY
Diskusi media dengan tema "Peran Anak Muda untuk Memastikan Keterbukaan Informasi dalam Proses Transisi Energi JETP Rp 310 Triliun" di Jakarta Pusat, Rabu (24/5/2023).
”Saat ini belum ada pernyataan pemerintah terkait dengan berapa porsi dana JETP yang akan digunakan untuk membangun energi terbarukan di tingkat komunitas,” ujar Moko.
Tidak hanya itu, hingga kini Sekretariat JETP juga tidak memiliki situs yang dapat diakses publik. Oleh sebab itu, tidak ada keterbukaan informasi bagi publik. Jika tidak ada keterbukaan informasi, tidak akan ada partisipasi publik.
Peneliti Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Alexandra Aulianta, mengatakan, persoalan mendasar transisi energi ialah Indonesia masih bergantung pada batubara. Selain itu, salah satu persoalan di JETP, menurut dia, adalah persoalan transparansi. Hingga saat ini masyarakat belum mengetahui sejauh mana rencana investasi atau investment plan dari JETP yang sedang dipersiapkan Pemerintah Indonesia.
”Persoalan berikutnya adalah dampak dari salah satu proyek JETP terkait penutupan PLTU batubara terhadap buruh. Selain itu, pengelolaan dana transisi energi masih gelap. Gelapnya pengelolaan dana transisi energi mencakup ketidakjelasan komitmen negara-negara donatur hingga proyek-proyek yang akan didanai oleh skema JETP,” ujar Alexandra.
Mendesak keterbukaan
Sementara itu, Komunitas Climate Rangers Cirebon mendesak Sekretariat JETP untuk segera membuka informasi dan melibatkan publik dalam pengambilan kebijakannya. Hal ini seiring dengan masih banyaknya persoalan yang melingkupi transisi energi dalam JETP.
Koordinator Climate Rangers Cirebon Ahdi Aghni mengatakan, setelah terjadinya pertemuan G20 di Bali, banyak kejanggalan muncul dan banyak pertanyaan publik terkait dengan pendanaan JETP yang belum terjawab. Sekretariat JETP yang sudah terbentuk pun tidak membuka informasi kepada publik, apalagi mengajak keterlibatan publik.
”Namun, Sekretariat JETP justru seperti sedang menutupi sesuatu. Tidak ada keterbukaan informasi dan keterlibatan publik dalam masalah ini. Padahal, pendanaan JETP sebagian besar berbasiskan utang luar negeri,” ujar Ahdi.
Oleh sebab itu, Komunitas Climate Rangers Cirebon tengah membuat petisi kepada pemerintah dan Sekretariat JETP untuk membuka informasi dan melibat publik. Pihaknya juga mengajak publik untuk bekerja sama dalam mendesak para pengambil kebijakan energi agar membuka informasi terkait JETP.