Pendanaan Energi Fosil dari Negara G7 Dinilai Menghambat Target Emisi Nol Bersih
Negara G7 diharap untuk menghentikan solusi palsu dalam skema pendanaan transisi energi di Indonesia. Negara G7 harus memperbesar komposisi hibah daripada utang dalam skema pendanaan transisi energi di Indonesia.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·4 menit baca
ATIEK ISHLAHIYAH AL HAMASY
Aktivis iklim dari masyarakat sipil melakukan aksi di depan kantor Kedutaan Besar Jepang, Jakarta Pusat, Jumat (19/5/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Negara-negara G7 didesak untuk menghentikan solusi palsu transisi energi dalam skema pendanaan berbentuk apa pun. Pendanaan terhadap proyek-proyek yang tengah berjalan berpotensi menghambat tercapainya target emisi nol bersih atau NZE di negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Apalagi, kondisi saat ini komposisi pendanaan masih mengandalkan utang dan jejak karbon negara G7 lebih besar daripada negara-negara berkembang.
Jumat (19/5/2023), aktivis iklim dari masyarakat sipil beraksi di depan kantor Kedutaan Besar Jepang, Jakarta Pusat, dalam momentum penyelenggaraan G7 di Hiroshima, Jepang. Aksi tersebut untuk mendesak negara-negara G7 untuk menghentikan dukungan pendanaan energi fosil dan solusi palsu pada transisi energi di Indonesia.
Ketua Tim Organisasi 350.org Indonesia Sisilia Nurmala Dewi mengatakan, aksi aktivis iklim menyuarakan tuntutan kepada Jepang untuk menghentikan dukungannya pada energi fosil dan solusi palsu, seperti co-firing amonia atau hidrogen untuk PLTU batubara. Kemudian, memastikan penghentian energi fosil pada sistem pembiayaan transisi energi di Indonesia, komitmen dekarbonisasi pada tahun 2035, serta memastikan komitmen phase out batubara 2030.
Tidak seharusnya mereka membuat jebakan utang baru kepada negara-negara berkembang atas nama pembiayaan transisi energi.
Sisilia melanjutkan, rakyat Indonesia harus memastikan skema pembiayaan Just Energy Transition Partnership (JETP), Komunitas Emisi Nol Asia (AZEC), dan lainnya benar-benar menuju transisi energi yang bersih, adil, dan lestari. Pembiayaan solusi palsu dapat menggagalkan cita-cita transisi energi di Indonesia dan memperparah krisis iklim.
”Negara-negara G7 sudah seharusnya menghentikan solusi palsu transisi energi dalam skema pendanaan transisi energi dalam bentuk apa pun, seperti JETP dan AZEC di Indonesia. Jika skema pembiayaan-pembiayaan transisi energi justru membiayai solusi palsu, dapat dipastikan transisi energi di Indonesia akan gagal,” kata Sisilia.
ATIEK ISHLAHIYAH AL HAMASY
Aktivis iklim dari masyarakat sipil melakukan aksi di depan kantor Kedutaan Besar Jepang, Jakarta Pusat, Jumat (19/5/2023).
Juru Kampanye Trend Asia, Novita Indri, mengatakan, pada laporan terbaru, negara anggota G7 masih mengucurkan pendanaan untuk energi fosil sebanyak 73 miliar AS dollar untuk periode 2020 dan 2022. Pendanaan tersebut 2,6 kali lebih banyak dibandingkan untuk energi terbarukan yang hanya mencapai 28,6 miliar AS dollar pada periode yang sama.
”Hal tersebut menunjukkan bahwa komitmen anggota G7 untuk lepas dari penggunaan dan pendanaan energi fosil, seperti gas, masih setengah hati,” ujar Novita.
Menurut Novia, negara-negara G7 harus memastikan Indonesia pada jalur energi terbarukan yang sebenarnya. Keraguan terhadap niat baik negara-negara G7 yang dimotori Amerika Serikat dan Jepang didasarkan pada beberapa hal. Pertama, jejak ekologi AS dan Jepang dalam krisis iklim sangat buruk.
Berdasarkan data Global Carbon Project via Our World, sejak tahun 1750 hingga 2020, AS menempati peringkat pertama (24,5 persen) emisi karbon dari energi fosil dan industri semen. Sementara itu, Jepang menduduki peringkat ke-6 atau 3,9 persen.
Kedua, pendanaan JETP bukan merupakan hibah dari negara-negara G7 kepada negara-negara berkembang. Komposisi pendanaan JETP menggunakan campuran hibah, pinjaman dengan sesuai suku bunga pasar, pinjaman lunak, dan investasi.
Ketiga, adanya potensi penggunaan solusi palsu transisi energi dalam JETP. Jepang masih terus mempromosikan co-firing amonia dan hidrogen untuk membenarkan penggunaan berkelanjutan pembangkit listrik tenaga batubara dan gas setelah tahun 2030. Kesepakatan transisi energi Jepang dengan Indonesia juga tidak mempersoalkan penggunaan gas sebagai bahan bakar transisi. Padahal, gas adalah bagian dari energi fosil penyebab krisis iklim.
Harus perbesar hibah
Menurut Juru Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Abdul Ghofar, selain menghentikan solusi palsu dalam skema pendanaan transisi energi, seperti JETP, negara-negara G7 harus memperbesar komposisi hibah daripada utang dalam skema pendanaan transisi energi di Indonesia. Negara G7 memiliki rekam dan sejarah jejak karbon yang lebih besar daripada negara-negara berkembang, seperti Indonesia.
”Oleh karena itu, tidak seharusnya mereka membuat jebakan utang baru kepada negara-negara berkembang atas nama pembiayaan transisi energi,” ujar Ghofar.
Ghofar melanjutkan, untuk membayar utang luar negeri dari negara maju dan lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), Pemerintah Indonesia masih bergantung pada corak produksi ekstraktif. Hal itu mengakibatkan kerusakan lingkungan dan pelepasan emisi karbon skala besar masih akan terus terjadi.
ATIEK ISHLAHIYAH AL HAMASY
Aktivis iklim dari masyarakat sipil melakukan aksi di depan kantor Kedutaan Besar Jepang, Jakarta Pusat, Jumat (19/5/2023).
Sementara itu, koordinator Enter Nusantara, Azka Wafi, mengatakan, keselamatan anak-anak muda di seluruh dunia akan terancam jika negara-negara kaya yang tergabung di G7 memilih keputusan yang salah dan tidak sesuai sains.
”Kita harus segera menghentikan penggunaan fosil, seperti batubara, gas, minyak, nuklir, dan solusi palsu lainnya. Pilihan energi terbarukan sudah tersedia dan murah. Komitmen-komitmen penghentian batubara di 2030 harus terjadi,” kata Azka.