Pengembangan industri kecil di pedesaan, seperti kilang tebu dan peternakan ayam yang terelektrifikasi di Sumatera Barat, ikut mengungkit perekonomian warga sekitar.
Oleh
AGNES THEODORA, ISMAIL ZAKARIA
·5 menit baca
Masuknya listrik ke kilang tebu dan peternakan ayam di Sumatera Barat tidak hanya mendatangkan keuntungan berlipat ganda bagi para pemiliknya. Warga sekitar yang menggantungkan nafkah sebagai pengolah tebu lepas dan buruh harian turut memetik berkah dari transisi elektrifikasi itu.
Hampir setiap hari, sekitar pukul 14.00 WIB, Erlinda (56) menumpang motor dari sekolah dasar tempat ia mengajar menuju kilang tebu di Jorong Katapiang, Nagari Lawang, Kecamatan Matur, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Di kilang tebu milik Desriyanto (28) itu, Erlinda dan suaminya, Nawazir (58), mengolah tebu menjadi gula saka atau gula merah. Pasangan yang sudah membuat gula saka sejak kecil itu membawa bahan baku tebu dari kebunnya sendiri atau hasil membeli dari warga.
Mereka saling berbagi tugas. Nawazir memasak air tebu hasil gilingan, Erlinda mencetaknya menjadi gula. ”Rata-rata, sehari, kami bisa membuat 100 kilogram gula,” kata Erlinda, pertengahan Juni 2023.
Di Lawang, mayoritas masyarakat hidup dari tebu yang merupakan komoditas utama desa itu. Sejauh mata memandang, hamparan ladang tebu dapat dengan mudah ditemukan di sisi kiri dan kanan jalan.
Meski umumnya sudah memiliki pekerjaan lain seperti Erlinda, warga Lawang tetap bersandar pada tebu untuk sumber nafkah atau menambah pemasukan. ”Warga di sini rata-rata punya kebun tebu karena itu warisan nenek moyang, tetapi tidak semua punya kilang sendiri untuk mengolah,” ujarnya.
Lebih dari 140 kilang tebu di Lawang pun umumnya tidak hanya dioperasikan oleh pengusaha pemilik kilang, tetapi juga dipakai warga sekitar. Pemilik kilang menerapkan bagi hasil, dengan pembagian hasil produksi sebesar 80 persen untuk warga yang mengolah dan 20 persen untuk pemilik kilang.
Erlinda telah merasakan membuat gula dari penggilingan kayu tradisional yang digerakkan dengan tenaga kerbau, diesel, hingga listrik. Sejak kilang tebu Desriyanto beralih dari mesin diesel ke listrik tahun lalu lewat sokongan program elektrifikasi dari PT Perusahaan Listrik Negara, Erlinda ikut memetik keuntungan. Pendapatannya bertambah sekitar Rp 1 juta per bulan karena produksi gula meningkat.
”Dulu hanya produksi 80-100 kilogram gula sehari. Sejak ada mesin, bisa 120-150 kilogram karena semua proses jadi lebih cepat. Giling tebu lebih cepat, masak juga lebih cepat karena ada listrik yang menghidupkan blower,” ujarnya.
Dalam sepekan, dari penjualan gula saka, Erlinda bisa mengantongi penghasilan bersih Rp 1,8 juta-Rp 2 juta.
Upah naik
Tidak semua warga Lawang memiliki kebun tebu sendiri atau modal untuk menjadi pengolah tebu lepas. Salah satunya, Maiyani (53), yang jadi buruh di kilang tebu milik Datuk Syafri Jamal (54). Sejak kilang tebu beralih memakai mesin listrik, pertengahan tahun lalu, hidup Maiyani terasa sedikit lebih mudah.
Dulu, ayah tiga anak itu harus rela menempuh perjalanan darat sekitar empat jam dari Lawang menuju Padang, dan sebaliknya. Ia menjalani dua pekerjaan sekaligus, sebagai kuli bangunan di Padang dan buruh kilang tebu di Lawang, untuk menghidupi keluarga.
Maiyani memang dapat mengumpulkan uang lebih banyak lewat kerja sampingan di Padang. Namun, usia yang sudah tidak muda, serta ongkos transportasi dan biaya makan tambahan, membuat rutinitas melelahkan itu tak setimpal dengan upah yang didapat.
Peralihan dari mesin diesel ke listrik membuat kilang tebu tempat Maiyani bekerja mampu menghemat biaya operasi hingga 60 persen dan meningkatkan omzet hingga 40 persen. Upah Maiyani pun turut naik sekitar 30 persen.
Sebelum elektrifikasi, ia diupah Rp 70.000 per hari untuk menggiling 1 ton batang tebu, memasak air nira dari hasil gilingan, hingga membersihkan kilang setelah produksi selesai. Urusan mencetak gula merah biasanya dikerjakan oleh istri pemilik kilang.
Setelah elektrifikasi, Maiyani mendapat Rp 100.000 per hari dengan tambahan Rp 20.000-Rp 50.000 jika ia lembur melewati jam kerja harian pada pukul 06.30-16.00 WIB.
Tidak berat
Syafri mengatakan, pemakaian listrik membuatnya bisa menghemat biaya secara signifikan. Upah pekerja pun pelan-pelan dinaikkan meski belum terlalu tinggi. Ia mulai menaikkan upah tahun lalu saat inflasi meninggi. Kebetulan waktu itu ia sudah beralih ke listrik dan mampu melakukan efisiensi ongkos produksi.
”Sekarang ini kalau kami kasih upah harian Rp 100.000 dan uang lembur, tidak merasa rugi. Kalau dulu, waktu masih pakai diesel, jujur saja berat karena kami sudah keluar banyak untuk cost operasional,” ujarnya.
Syafri mengatakan, dirinya ingin usahanya sebisa mungkin membawa dampak bagi warga sekitar di kampungnya itu. ”Bisa saja sebenarnya kami gaji semau kami, yang penting pekerja kami bisa makan. Tetapi juga harus pikirkan, bagaimana dengan anak-anaknya yang harus sekolah?” katanya.
Tak hanya kilang tebu, dampak elektrifikasi di sektor agrikultur terhadap kesejahteraan warga juga terasa di sentra peternakan ayam petelur di Kota Payakumbuh dan Lima Puluh Kota. Di PT Radja Poultry Shop, peternakan milik Jon Eddi (53), efisiensi berkat listrik ikut menaikkan upah harian pekerja.
Jon mampu berhemat hingga 40 persen lewat elektrifikasi sehingga ia bisa menaikkan upah pekerjanya dari Rp 135.000-Rp 180.000 per hari menjadi Rp 180.000-Rp 200.000 per hari. Ia juga memberikan fasilitas tambahan, seperti rumah kecil atau mes di lokasi peternakan bagi pekerja yang terdiri atas suami-istri, serta mendaftarkan pekerjanya ke program jaminan sosial ketenagakerjaan sejak hari pertama bekerja.
”Kami pastikan pekerja diupah sudah di atas UMR (upah minimum regional), dibayarnya per minggu. Asuransi BPJS juga diurus dari awal supaya kalau ada kecelakaan kerja sudah ditanggung,” kata Wakil Manajer PT Radja Poultry Shop Azwir Rezari.
Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, kehadiran lebih banyak industri kecil di perdesaan dapat mengungkit perekonomian warga sekitarnya.
Untuk itu, dukungan dari pemerintah dan berbagai pihak dibutuhkan demi mendorong pengembangan industri kecil tersebut. ”Belum tentu semua pemilik kilang mampu, atau beruntung mendapat bantuan. Di sini perlu ada dukungan pembiayaan agar lebih banyak industri yang bisa berkembang dan menyejahterakan warga sekitar,” tuturnya.