Lima dekade silam, sekelompok veteran pejuang kemerdekaan merintis pertanian di Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI, AGNES THEDOORA
·4 menit baca
Bambang Wahyudi (73) berjalan menyusuri pematang sawah miliknya di Kelurahan Veteran Jaya, Kecamatan Martapura, Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sabtu (17/6/2023) pagi. Langkah kakinya masih sigap, perawakannya tegap. Di titik itu, 52 tahun lalu, Bambang dan orangtuanya berjibaku membabat hutan untuk mencetak sawah baru.
Kawasan yang kini menyejukkan mata dengan pemandangan hamparan sawah yang menghijau itu dulu disesaki semak belukar. Hanya ada jalan-jalan setapak kecil yang untuk dilalui sepeda pun susah.
Saat itu, Kelurahan Veteran Jaya belum ada, masih menjadi bagian dari Paku Sengkunyit, salah satu kelurahan di Martapura. ”Di sekitar sini dulu semua belukar. Kami potong, tebang, singkirkan sendiri. Beguyur (pelan-pelan) kami buka dari nol sampai akhirnya jadi sawah seperti sekarang,” tuturnya.
Orangtua Bambang adalah veteran yang berjuang di Pertempuran Surabaya melawan Belanda pada tahun 1945, peristiwa yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan. Ibunya srikandi tenaga kesehatan, ayahnya bertempur melawan kompeni bersenjatakan bambu runcing.
Setelah kemerdekaan, pemerintah mengadakan program transmigrasi ke Sumatera. Orangtua Bambang pun terpilih untuk pindah ke Belitang, OKU Timur, yang dulu masih menyatu dengan Kabupaten OKU. Kendati demikian, saat pembagian lahan bagi para transmigran, mereka tidak kebagian jatah.
Sebanyak 33 veteran, termasuk orangtua Bambang, mendapat lahan seluas 1 hektar untuk digarap menjadi sawah dan seperempat hektar tanah pekarangan untuk dibangun rumah. ”Sepertinya pesirah (kepala marga) waktu itu tergerak, melihat banyak kawannya yang telantar tidak punya tanah,” ujar Bambang.
Butuh waktu 15-20 tahun hingga akhirnya para veteran bisa memanen padi. Kini, petani di Veteran Jaya bisa menikmati panen dua kali dalam setahun, sebagian bahkan tiga kali dengan memanfaatkan lahan untuk menanam jagung atau tanaman palawija lain.
Mulai tahun 1980-an, berkat kehadiran sawah veteran, ekonomi Martapura mulai bergerak dan kawasan yang ditinggali para veteran itu menemukan jati dirinya. Nama Veteran Jaya pun disematkan menjadi kelurahan baru di Martapura.
Perlahan, komunitas petani di Veteran Jaya berkembang. Keluarga veteran mendirikan kelompok tani perdana dan mengembangkan koperasi unit desa. Hingga kini, sudah ada 10 kelompok tani yang menaungi para petani keturunan veteran serta petani umum.
”Singkat kata, kalau veteran dulu tidak ’diimpor’ ke sini, belum tentu kita bisa melihat sawah-sawah seperti sekarang,” kata Sutikto (62), petani yang menjadi ketua pertama gabungan kelompok tani di Veteran Jaya.
Perjuangan veteran merintis pertanian tidak sia-sia. Sekarang, OKU Timur menjadi salah satu sentra pangan Sumsel dan termasuk 15 kabupaten/kota penghasil padi tertinggi nasional.
Produksi pertanian di OKU Timur juga terus meningkat. Berdasarkan data Dinas Pertanian Sumsel, pada 2022, produksi padi naik 22 persen dari 574.966 ton gabah kering giling (GKG) pada 2021 menjadi 701.510 ton GKG. Luas panen padi pun meningkat 12,8 persen dari 95.809 hektar pada 2021 menjadi 108.075 hektar pada 2022.
Sampai saat ini, sebagian anak veteran masih meneruskan jejak perjuangan orangtua mereka mengembangkan pertanian di Veteran Jaya. Namun, jalan mereka tidak mudah. Desakan biaya hidup yang berat membuat sebagian dari mereka terpaksa menjual sawah yang diwarisi.
Sebagian lagi tetap mengelola sawah di tengah keterbatasan, seperti Bambang. Ia memberikan seperempat hektar kepada adiknya, sedangkan sisanya ia kelola seadanya dengan pengairan yang masih mengandalkan air hujan serta sumur bor yang masih disedot memakai pompa bensin.
Ia tidak heran jika keturunan veteran lain ”menyerah” bersawah. Pasalnya, pemasukan dari bertani saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri dan keluarga. ”Jadi petani itu kalau enggak wong kayo, punya tanah lebar, ya, enggak banyak hasilnya,” katanya.
Tak ada penerus
Potret kesejahteraan petani yang minim itu membuat generasi ketiga keturunan veteran enggan mengikuti jejak menjadi petani. Sutikto pun mengkhawatirkan, jejak tani para veteran itu bisa berhenti di tengah jalan. Apalagi, Sutikto dan anak veteran lain kini sudah memasuki usia senja, 60-70 tahun.
Dari ketiga anaknya, tidak ada yang berminat melanjutkan menggarap sawah keluarga. Mereka berkarier di industri perikanan dan menjadi pegawai negeri sipil. Hal yang sama ditemukan di keluarga keturunan veteran yang lain.
”Saya bersyukur anak-anak saya punya skill lain di luar bertani. Tetapi, saya sering terpikir, bagaimana nasib sawah-sawah ini kalau generasi kami ini habis?” ujar Sutikto.
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Ayip Said Abdullah menilai, fenomena regenerasi petani yang mandek lebih banyak ditemukan di pertanian pangan, khususnya padi, ketimbang subsektor tanaman hortikultura yang lain.
Hal itu akan terus terjadi selama berbagai problem struktural di pertanian padi tidak teratasi. Misalnya, terbatasnya akses terhadap sumber produksi pangan (lahan, pupuk, teknologi), faktor ekonomi seperti harga jual dan pendapatan yang rendah, serta pendampingan yang minim.
Tenaga penyuluh pertanian lapangan Dinas Pertanian OKU Timur, Yunita, menyampaikan, masih banyak hal yang perlu dibenahi untuk mendorong kesejahteraan petani di Veteran Jaya. Pemerintah pun berupaya mendukung lewat penyaluran program bantuan, seperti elektrifikasi pertanian, serta mengupayakan distribusi pupuk bersubsidi yang adil dan mencukupi.