Relaksasi Ekspor Mineral Mentah Picu Citra Negatif Hilirisasi
Ketegasan pemerintah dalam hilirisasi dibutuhkan untuk menjamin penambahan nilai komoditas mineral. Jangan sampai ada lagi relaksasi atau toleransi ekspor dalam upaya hilirisasi mineral.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kebijakan pemerintah untuk tetap mengizinkan atau relaksasi ekspor konsentrat tembaga memicu citra negatif upaya hilirisasi mineral. Relaksasi ekspor itu mendiskriminasi komoditas nikel dan bauksit yang selama ini diwajibkan untuk diolah dan dimurnikan di dalam negeri. Karena itu, relaksasi ekspor mineral mentah jangan sampai terjadi kembali.
Relaksasi ekspor diberikan pada komoditas mineral mentah seperti konsentrat tembaga, besi, timbal, seng, dan lumpur anoda hasil pemurnian tembaga. Hal ini untuk memitigasi dampak Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang melarang ekspor mineral mentah per 10 Juni 2023.
Pengamat ekonomi energi yang juga dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi mengatakan, larangan ekspor mineral mentah dibutuhkan dalam mendukung hilirisasi. Kemudian, hilirisasi dapat menaikkan nilai tambah dari mineral dan mendorong pembangunan ekosistem industri.
”Dengan menunda atau merelaksasi larangan ekspor sejumlah komoditas menimbulkan diskriminasi pada jenis mineral lainnya. Hal ini juga memicu citra negatif terhadap ketegasan pemerintah mendorong hilirisasi mineral,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Rabu (28/6/2023).
Komoditas seperti nikel dan bauksit, misalnya, telah diwajibkan untuk diolah dan dimurnikan melalui smelter dalam negeri agar bisa diekspor. Ketidakadilan dari segi perizinan ekspor dapat mendorong pengusaha nikel dan bauksit menuntut relaksasi ekspor. Hal ini mengingat paradigma ”keruk-jual” yang masih berkembang di kalangan pengusaha tambang.
Menurut Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia Daymas Arangga, kebijakan relaksasi ekspor memicu reaksi dilematis. Sebab, upaya hilirisasi yang digaungkan pemerintah menjadi tertunda oleh kebijakan yang dibuat pemerintah itu sendiri.
Tidak ada keistimewaan antarkomoditas yang diberikan keistimewaan relaksasi ekspor. Hal ini murni dari pertimbangan dan evaluasi progres pembangunan smelter untuk mengolah mineral mentah.
”Kendati begitu, kondisi ini dapat dijustifikasi karena ada potensi kerugian negara yang timbul akibat pelarangan ekspor. Apalagi, saham yang dimiliki PT Freeport Indonesia mayoritas dimiliki negara,” ucapnya.
Selain itu, dampak kolateral juga muncul akibat pandemi Covid-19 yang menyebabkan pembangunan smelter menjadi mundur. Relaksasi ekspor yang diberikan, imbuh Daymas, jangan sampai ditoleransi kembali.
Adapun perusahaan yang diberikan relaksasi ekspor mineral mentah adalah PT Freeport Indonesia, PT Amman Mineral Industri, PT Sebuku Iron Lateritic Ores, PT Kapuas Prima Citra, dan PT Kobar Lamandau Mineral. Perusahaan tersebut diperpanjang izin ekspor mineral mentahnya hingga Mei 2024. Alasannya, proses pembangunan smelter masih berlangsung dan sudah di atas 50 persen.
Vice President Corporate Communications PT Freeport Indonesia Katri Krisnati menyebutkan, progres pembangunan smelter tembaga di Manyar, Gresik, Jawa Timur, telah mencapai lebih dari 72 persen pada pertengahan Juni 2023. Konstruksi fisik ditargetkan selesai Desember 2023, dilanjutkan dengan tahap pre-commissioning dan commissioning. Smelter akan mulai beroperasi dengan ramp-up produksi pada akhir Mei 2024.
Kapasitas produksi smelter PT Freeport Indonesia, nantinya, sebesar 1,7 juta ton konsentrat tembaga. Total investasi yang digelontorkan mencapai 3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 45 triliun.
”Kami terus berupaya untuk memenuhi target penyelesaian pembangunan smelter sesuai dengan rentang waktu yang disepakati bersama pemerintah,” katanya.
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDN) Irwandy Arif menjelaskan, perizinan ekspor mineral mentah hanya diberikan pada lima komoditas dan perusahaan dengan progres pembangunan smelter lebih dari 50 persen per Juni 2023.
Dia menambahkan, tidak ada keistimewaan antarkomoditas yang diberikan keistimewaan relaksasi ekspor. Hal ini murni dari pertimbangan dan evaluasi progres pembangunan smelter untuk mengolah mineral mentah.
”Seharusnya 10 Juni 2023 sudah berlaku larangan ekspor mineral mentahnya. Kebijakan relaksasi hanya berlaku bagi perusahaan yang memenuhi persyaratan. Untuk komoditas lain (di luar lima komoditas relaksasi ekspor), tidak ada relaksasi lagi,” tuturnya.
Jangan disamakan
Daymas menyampaikan, karakteristik mineral cenderung berbeda-beda sehingga perlakuannya tidak dapat sama. Perbedaan itu mencakup karakteristik material, industri, hingga pasar. Karena itu, dibutuhkan analisis yang mendalam per komoditas yang wajib dikenai hilirisasi dalam negeri.
Hilirisasi nikel, misalnya, terbukti sukses mendorong pertumbuhan perekonomian nasional. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah diolah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), nilai ekspor produk nikel pada 2017 sebesar 3,3 miliar dollar AS. Pada 2022, jumlah itu melonjak hampir 10 kali lipat menjadi 29 miliar dollar AS.
”Jangan sampai perlakuan terhadap nikel disamaratakan kepada komoditas lainnya. Analisis per komoditas harus mempertimbangkan keunggulan sumber daya yang lokal,” ungkapnya.