Pemerintah memberi kelonggaran ekspor konsentrat mineral logam pada sejumlah komoditas dengan syarat kemajuan pembangunan smelter oleh badan usaha sudah lebih dari 50 persen. Juga ada pemberian sanksi denda.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Seorang petugas pabrik mengecek sel elektrolisis anoda tembaga di lokasi pemurnian tembaga PT Smelting, Gresik, Jawa Timur, Kamis (20/6/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memutuskan untuk memperpanjang izin ekspor sejumlah jenis konsentrat mineral logam, dengan syarat dan juga sanksi denda. Kalangan pengamat menilai yang mesti dipastikan kini ialah keseriusan dalam pengawasan agar pembangunan bisa segera dituntaskan untuk tujuan hilirisasi.
Sebelumnya, dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (24/3/2023), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, dengan pertimbangan pandemi Covid-19, perpanjangan izin ekspor konsentrat mineral logam diberikan pada tembaga, besi, seng, timbal, serta lumpur anoda hasil pemurnian tembaga. Itu dengan syarat kemajuan pembangunan smelter oleh badan usaha sudah lebih dari 50 persen.
Juga dikenakan sanksi denda, sebagaimana Keputusan Menteri ESDM Nomor 89 Tahun 2023 tentang Pedoman Pengenaan Denda Administratif Keterlambatan Pembangunan Fasilitas Pemurnian Mineral Logam di Dalam Negeri. Itu terdiri dari dana jaminan kesungguhan dan denda administratif atas keterlambatan.
Penempatan jaminan kesungguhan sebesar 5 persen dari total penjualan periode 2019-2022 dalam rekening bersama. Apabila pada 10 Juni 2024 kemajuan pembangunan tak mencapai 90 persen dari target, jaminan disetorkan kepada kas negara. Adapun denda administratif sebesar 20 persen dari nilai kumulatif penjualan ke luar negeri untuk setiap periode keterlambatan.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Resvani, dihubungi di Jakarta, Kamis (25/5/2023), mengatakan, dalam pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral logam, terdapat banyak aspek teknis, di antaranya lahan, infrastruktur, teknologi, serta kepastian investasi dan pendanaan.
Merujuk pada tantangan itu, serta adanya pandemi Covid-19, menurut dia, masuk akal jika pembangunan smelter, yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dalam rangka peningkatan nilai tambah mineral logam, belum tuntas pada 2023.
Namun, dengan sudah adanya persiapan dari tahun-tahun sebelumnya, pembangunan smelter saat ini harus didorong lebih cepat. Pengenaan penempatan dana jaminan dan denda pun, menurut Resvani, sebagai hal wajar karena negara harus mendapat kepastian agar pelaku usaha serius untuk menuntaskannya.
”Di samping itu, pengawasan (kemajuan pembangunan smelter) harus dilakukan dengan serius untuk mengetahui persoalan-persoalan yang muncul. Pemerintah, DPR, dan pelaku usaha harus terbuka satu sama lain,” kata Resvani.
Lebih jauh Resvani berharap pemerintah tak hanya melihat hilirisasi mineral logam secara parsial, tetapi sebagai satu rantai proses. Tidak hanya sampai industri menengah atau intermediate, tetapi hingga paling hilir. Oleh karena itu, industri manufaktur harus betul-betul diperkuat.
KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN
Demi mendukung kebijakan hilirisasi tembaga, PT Freeport Indonesia melakukan investasi besar dalam pembangunan smelter baru tembaga di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industri Java Integrated dan Industrial Port Estate (JIIPE) di Kecamatan Manyar, Gresik, Jawa Timur, Selasa (7/2/2023). Smelter tembaga Design Single Line terbesar di dunia yang padat karya ini ditargetkan bisa beroperasi pada Mei 2024.
Berulang
Pengamat hukum pertambangan dari Universitas Tarumanagara, Ahmad Redi, berpendapat, masih adanya relaksasi larangan ekspor konsentrat mineral logam menunjukkan ketidakkonsistenan. Hal itu berulang sejak 2014, yang merupakan batas waktu pembangunan smelter merujuk UU No 4/2009 tentang Pertambangan Minerba (sebelum diubah menjadi UU No 3/2020).
Dahulu pun, menurut Redi, ada pengenaan bea keluar hingga denda, tetapi kenyataannya tak efektif dan pembangunan smelter terus molor hingga kini. Potensi dampak, termasuk pemutusan hubungan kerja, jika pelarangan ekspor konsentrat mineral logam diberlakukan juga selalu menjadi argumen hingga akhirnya perpanjangan izin ekspor diberikan.
Menurut dia, yang harus diperkuat saat ini ialah pembinaan dan pengawasan. ”Mesti betul-betul diawasi. Yang memang tidak jelas (dalam membangun smelter) diberi sanksi pencabutan IUP (izin usaha pertambangan) dan IUPK (IUP khusus),” ucapnya.
Dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR, Rabu, Arifin Tasrif mengemukakan, berdasarkan verifikasi oleh verifikator independen, terdapat lima smelter dari empat badan usaha yang telah membangun fasilitas pemurnian konsentrat mineral logam atau smelter, dengan kemajuan lebih dari 50 persen.
Keempatnya ialah PT Freeport Indonesia (tembaga) dengan kemajuan fisik sebesar 54,52 persen per Januari 2023, PT Amman Mineral Nusa Tenggara (tembaga) 51,63 persen per Januari 2023, dan PT Sebuku Iron Lateritic Ores (besi) 89,79 persen per Februari 2023. Juga PT Kapuas Prima Coal untuk dua komoditas, yakni timbal (100 persen per Mei 2022) dan seng (89,65 persen per Februari 2023).
Oleh karena itu, sebagai kelanjutan pembangunan fasilitas pemurnian, disusun rancangan Peraturan Menteri ESDM dengan substansi antara lain pemberian kesempatan ekspor hingga Mei 2024. Itu hanya terbatas pada komoditas tembaga, besi, timbal, seng, serta lumpur anoda hasil pemurnian tembaga.
”Penjualan hasil pengolahan wajib membayar (dikenai) bea keluar yang ditetapkan peraturan menteri keuangan. Penjualan wajib didasarkan pada rekomendasi ekspor dari Ditjen Minerba dan persetujuan ekspor Kementerian Perdagangan. Pengawasan dilakukan Kementerian ESDM berdasarkan kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian,” kata Arifin.
Adapun simpulan dalam rapat kerja itu di antaranya Komisi VII DPR menyetujui penggunaan Pasal 170A UU No 3/2020 tentang Pertambangan Minerba sebagai dasar untuk menyelesaikan polemik pelarangan ekspor, dalam rangka percepatan hilirisasi mineral, juga dalam rangka penyelamatan ekonomi daerah.
Komisi VII DPR juga mendorong Menteri ESDM untuk mengevaluasi secara menyeluruh perkembangan pembangunan smelter. ”Selanjutnya akan merumuskan pengaturan penjualan mineral logam hasil pengolahan sesuai Pasal 170A UU Minerba,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi PDI-P Dony Maryadi Oekon membacakan simpulan rapat.