Investasi Industri Hilir Mineral Perlu Dipergencar
Guna mempercepat industri hilir itu, bantuan regulator (pemerintah) untuk bisa menarik atau memancing perusahaan dari luar maupun dalam negeri, untuk masuk dalam bisnis itu. Ekosistem itu perlu diciptakan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Tumpukan nikel yang diolah oleh pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter berbasis nikel milik PT Virtue Dragon Nickel Industry di Konawe, Sulawesi Tenggara, Senin (25/2/2019)
JAKARTA, KOMPAS - Komitmen dan konsistensi dalam penerapan kebijakan hilirisasimineral, dalam rangka peningkatan nilai tambah, oleh pemerintah, dinilai sudah tepat. Yang saat ini perlu dilakukan ialah menggencarkan investasi pada industri lebih hilir lagi sehingga momentum peningkatan nilai tambah bisa benar-benar ditangkap.
Chairman Indonesia Mining Association (IMA) Rachmat Makkasau, dalam Tripatra Energy Talk: Kolaborasi Nasional untuk Percepatan Transisi Energi dan Hilirisasi Mineral, secara hibrida, Selasa (21/3/2023), mengatakan, dua komoditas mineral dengan peluang terbesar saat ini ialah nikel dan tembaga.
Nikel, misalnya, di mana Indonesia menjadi negara penghasil terbesar di dunia. Hal itu menguntungkan, tetapi di sisi lain ada tantangan dalam membangun industri hilir (downstream). Saat ini, banyak orang berbicara baterai kendaraan listrik, tetapi sampai mana tingkat hilirnya masih belum detail.
Sementara pada tembaga, produksi Indonesia sekitar 3 persen dari seluruh produksi tembaga di dunia. Dengan pertambangan yang ada saat ini, kata Rachmat, 10 tahun ke depan akan meningkat menjadi 6 persen. Di sisi lain, juga ada tantangan di industri tembaga dalam negeri.
"Dengan dilarangnya ekspor bahan mentah, otomatis produksi katoda tembaga akan melimpah. Namun, tentu kita juga tidak mau hanya ekspor katoda tembaga, tetapi (produk) hilirnya. Itu perlu ditingkatkan karena saat ini masih sangat sedikit industri downstream tembaga," kata Rachmat.
Rachmat menambahkan, pada 2025, Indonesia diperkirakan akan memproduksi 1,2 juta ton tembaga. Itu pun belum termasuk pertambangan yang baru akan beroperasi. Namun, di sisi lain, pemakaian dalam negeri hanya 400.000 ton. Dari 400.000 ton itu pun, hanya 200.000 ton yang diserap dari produksi dalam negeri, sedangkan sisanya impor dalam bentuk lain.
"Artinya, peluang industri atau pebisnis lain untuk masuk ke downstream tembaga sangatlah besar. Bukan hanya untuk kebutuhan dalam negeri, tetapi ekspor. Sebab, pada 2029-2030, produksi tembaga dunia akan mulai turun. Namun, di sisi lain demand naik, sehingga akan jadi peluang besar," ucapnya.
Ia menekankan, industri downstream artinya produk yang benar-benar hilir atau sudah memiliki jenama. Guna mempercepat industri hilir itu, bantuan regulator (pemerintah) untuk bisa menarik atau memancing perusahaan dari luar maupun dalam negeri, untuk masuk dalam bisnis itu. Ekosistem itu perlu diciptakan.
"(Kita) market (pasar) punya, bahan baku punya, sekarang tinggal siapa enabler-nya. Siapa yang melakukan ini. Perlu ada regulasi menarik dan cukup untuk (menarik) itu. Yang ada sekarang, menurut saya kurang cukup. Investasi di industri downstream ini bukan 3-5 tahun, tetapi rata-rata di atas 10 tahun," ujar Rachmat, yang juga Presiden Direktur PT Amman Mineral Nusa Tenggara.
Setelah berhasil pada nikel, pemerintah hendak melarang ekspor mineral lainnya, seperti bauksit yang sudah diumumkan Presiden Joko Widodo, dan akan diikuti tembaga di tahun ini. Hal itu sejatinya amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang diubah dengan UU No 3/2020.
KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG
Pekerja mengoperasikan salah satu alat pengolahan bijih nikel PT Aneka Tambang (Antam) di Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, beberapa waktu lalu.. Kompas/Mohamad Final Daeng (ENG)13-05-2011
Transisi energi
Vice President Director PT Vale Indonesia Tbk Adriansyah Chaniago menambahkan, penyiapan ekosistem industri hilir mineral bagian dari upaya menangkap momentum. Hal tersebut berkaitan dengan permintaan dunia yang juga berkait dengan transisi energi. Ia pun yakin saat ini kebijakan larangan ekspor untuk peningkatan nilai tambah mineral akan disertai komitmen.
"Transisi energi itu kesempatan kita untuk hilirisasi. Dan hilirisasi ini kesempatan kita untuk mengembangkan ekonomi dengan jauh lebih cepat dari sebelum-sebelumnya. Supaya tidak hilang (momentum). Banyak yang bilang, mineral Indonesia ini seperti Arab Saudi dengan minyaknya dulu. Jadi, hilirisasi harus dan yang penting komitmen serta kerja kolaborasi," tuturnya.
Rachmat mengatakan, perusahaan-perusahaan tambang, terutama anggota IMA, sudah melakukan good mining practices (praktik penambangan yang baik). Umumnya sudah dan akan beralih ke arah berkelanjutan. Misalnya, dengan membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga gas (PLTG), bahkan sudah ada yang menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Menurutnya, faktor pertama ialah kesadaran dari perusahaan itu sendiri. "Kedua, ada demand (permintaan) bahwa di masa mendatang, produk-produk ini juga dituntut untuk hijau dalam produksinya," kata Rachmat.
Sementara itu, Direktur Industri Logam Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian, Liliek Widodo mengatakan, pemerintah terus mengawal transformasi besar, seperti transformasi struktural, kemudahan investasi hilirisasi, hingga transformasi logam dasar.
"Pertumbuhan industri logam dasar sendiri didorong meningkatnya ketersediaan biji logam untuk bahan baku industri dan tingginya permintaan luar negeri. Terutama pada komoditas nikel dan aluminium. Itu mendorong perkembangan smelter yang juga mendorong tumbuhnya industri baterai kendaraan listrik. Ini bentuk dukungan pada transisi energi," ujarnya.