Relaksasi pada larangan ekspor konsentrat tembaga juga menimbulkan diskriminasi terhadap pengusaha mineral lain. Hal itu juga bisa membuat program hilirisasi, untuk peningkatan nilai tambah, tidak sesuai harapan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pengamat menilai keputusan pemerintah untuk merelaksasi larangan ekspor konsentrat tembaga memicu ketidakpastian hukum sehingga bisa berdampak negatif pada iklim investasi. Ketegasan dibutuhkan dalam mewujudkan hilirisasi mineral yang digadang-gadang pemerintah.
Sebelumnya, dalam rapat di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (28/4/2023), pemerintah memutuskan akan memperpanjang izin ekspor konsentrat tembaga kepada PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara. Padahal, menurut Undang Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, ekspor mineral mentah harus distop per Juni 2023.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, yang hadir dalam rapat itu, mengatakan, ada sejumlah hal yang menjadi pertimbangan pemerintah, di antaranya pandemi Covid-19, kemajuan pembangunan smelter Manyar PTFI yang sudah 61 persen, dan potensi kerugian yang bisa ditimbulkan.
Pengamat ekonomi energi yang juga dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Radhi, dihubungi dari Jakarta, Senin (1/5/2023), mengatakan, hal serupa sebelumnya pernah terjadi, tepatnya saat UU No 4/2009 (sebelum diubah menjadi UU No 3/2020).
Namun, karena berbagai kondisi dan pertimbangan, larangan ekspor yang seharusnya mulai berlaku 2014 ITU direlaksasi, bahkan berkali-kali ada kelonggaran. Menurut Fahmy, hal tersebut membuat adanya ketidakpastian hukum yang membuat sejumlah calon investor yang hendak membangun smelter pergi.
Hal itu berpotensi kembali terjadi, khususnya jika Pemerintah Indonesia mengundang investor dalam rangka hilirisasi mineral. ”Keterjaminan diperlukan bagi investor di bidang smelter. Investor bisa menghitung profitnya, misalnya sekian tahun nilainya berapa. Namun, kalau aturan diubah-ubah, itu menimbulkan ketidakpastian,” katanya.
Fahmy menambahkan, relaksasi pada larangan ekspor konsentrat tembaga juga menimbulkan diskriminasi terhadap pengusaha mineral lain, seperti nikel. Hal itu juga bisa membuat program hilirisasi porak-poranda. Padahal, tujuan mulia program hilirisasi ialah meningkatkan nilai tambah dan mengembangkan ekosistem industri dalam negeri.
Melihat apa yang terjadi pada nikel, larangan ekspor memang memberi dampak di awal penerapan. Namun, setelah itu nilai tambah menjadi berkali lipat. ”Sudah tidak ada win-win solution, tetapi ini soal bagaimana ketegasan pemerintah. Sebelumnya, (dalam pidato) Presiden juga berani menghadapi WTO, kan?” kata Fahmy.
Tak berdaya
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Akmaluddin Rachim, menuturkan, kebijakan relaksasi itu bisa menimbulkan preseden buruk di kalangan pelaku usaha di sektor pertambangan minerba. Pemerintah bisa tegas dan berani melarang pada nikel, tetapi tak berdaya terkait konsentrat tembaga.
”Tentu pelaku usaha mengamati kebijakan yang diambil pemerintah. Dampaknya, di masa depan, pelaku usaha dari berbagai sektor kurang memiliki kepercayaan terhadap kebijakan yang dibuat pemerintah karena ketidakpastian hukum yang membuat investor berpikir dua kali untuk berinvestasi,” ujarnya.
Akmaluddin menambahkan, putusan relaksasi larangan ekspor konsentrat tembaga menambah rentetan ketidaktegasan pemerintah terhadap regulasi yang dibuat sendiri. Pemerintah cenderung tak berdaya dengan pelaku usaha seperti PTFI.
Menurut dia, jika undang-undang terus dilanggar, pemerintah secara tidak sadar telah merobohkan kepercayaan publik terhadap prinsip negara hukum. ”Akhirnya, pengelolaan ekonomi yang seharusnya memberi kesejahteraan kepada masyarakat tak dilaksanakan,” kata Akmaluddin.
Sebelumnya, Presiden Direktur PTFI Tony Wenas menyebut ada dampak besar jika larangan ekspor berlaku tahun ini. Operasi tambang sulit dihentikan. Namun, pihaknya memastikan pembangunan Smelter Manyar di Gresik, Jawa Timur, berjalan. Kemajuannya sudah sesuai dengan kurva-S yang sudah disetujui pemerintah.
”Data per akhir Maret (2023), (progres pembangunan) sudah 61,5 persen,” kata Vice President Corporate Communications PTFI Katri Krisnati melalui pesan singkat, Jumat (28/4/2023).
Mengenai keputusan Pemerintah Indonesia yang akan memberi perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga, Katri mengatakan, pihaknya belum menerima konfirmasi resmi. Namun, apabila hal itu benar-benar diberikan, PTFI sangat mengapresiasi keputusan pemerintah tersebut.
”Jika keputusan tersebut diberikan, kami sangat mengapresiasi dukungan pemerintah untuk memastikan kontinuitas operasional tambang yang secara teknis sangat dibutuhkan dan keberlanjutan investasi yang akan berdampak signifikan bagi ekonomi Indonesia, khususnya masyarakat Papua,” kata Katri.
Adapun proyek Smelter Manyar PTFI, yang berlokasi di Kawasan Industri Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE), Gresik, ditargetkan selesai konstruksi pada akhir 2023 dan dilanjutkan pre-commissioning dan commissioning selama lima bulan sehingga dapat mulai beroperasi pada Mei 2024 (Kompas.id, 7/2/2023).
Pada Jumat, Arifin mengemukakan, PTFI telah mengajukan dokumen perpanjangan izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Adapun IUPK yang berlaku saat ini ialah hingga 2041. Pemerintah pun berencana memberi perpanjangan dan tengah menyiapkan aturan-aturan terkait.
Kendati berakhirnya masa IUPK masih lama, perpanjangan dimungkinkan. ”Kita harus memberi kepastian usaha. Dengan kepastian itu juga, mereka akan bisa mengalokasikan anggaran yang memadai, (termasuk) untuk eksplorasi-eksplorasi tambahan. Kami siapkan aturan-aturan. Kami masih terus dalami,” ujarnya.