Pemerintah Beri Izin Freeport Tetap Ekspor Konsentrat Tembaga Hingga 2024
Pelarangan ekspor konsentrat tembaga akan berdampak pada pendapatan bagi Pemerintah Indonesia karena 51 persen saham PTFI dimiliki Indonesia.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai dampak pandemi Covid-19, progres pembangunan smelter tembaga yang baru milik PT Freeport Indonesia atau PTFI di Gresik, Jawa Timur, baru mencapai 60 persen dari seharusnya rampung tahun ini. Pemerintah memutuskan untuk menunda rencana kebijakan pelarangan ekspor tembaga mentah atau konsentrat tembaga. PTFI dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara masih diizinkan ekspor tembaga mentah hingga pertengahan 2024.
”Nah, sampai progresnya, komitmennya dia menyelesaikan (smelter tembaga) dan dia enggak boleh lebih dari pertengahan tahun depan,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, usai mengikuti rapat terbatas terkait ekspor tembaga yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (28/4/2023).
Arifin bakal segera meninjau progres smelter PTFI maupun PT Amman Mineral Nusa Tenggara pada pekan depan. ”Itu di sana ada juga Amman, sama kok tembaga. Kan, yang ada (tambang) tembaga cuma dua, Amman dan Freeport. Progresnya sampai berapa dulu, ini akan ditinjau minggu depan,” ucapnya.
Padahal, kebijakan pemerintah memperbolehkan ekspor mineral mentah dengan syarat membangun fasilitas pemurnian dan smelter akan memasuki tenggat pada Juni 2023 atau kurang dari dua bulan lagi. Meskipun belum diumumkan secara resmi, Presiden Joko Widodo beberapa kali sempat menyebut bakal menerapkan rencana pelarangan ekspor konsentrat tembaga.
Pelarangan ekspor mineral mentah, termasuk tembaga itu merupakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, sebagaimana diubah dengan UU No 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam UU itu disebutkan, pemegang kontrak karya, izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi, atau IUP khusus produksi mineral logam diperbolehkan ekspor.
Izin ekspor diberikan dengan syarat telah melakukan pengolahan dan pemurnian; serta dalam proses pembangunan smelter dan/atau kerja sama pengolahan dan/atau pemurnian. Tenggatnya tiga tahun sejak UU tersebut dinyatakan berlaku.
Arifin menegaskan bahwa keputusan pemerintah untuk tetap mengizinkan ekspor tembaga mentah ini tidak menyalahi UU karena adanya faktor force majeur akibat pandemi Covid-19.
Menurut Arifin, pelarangan ekspor konsentrat tembaga akan berdampak pada pendapatan bagi Pemerintah Indonesia karena 51 persen saham PTFI dimiliki Indonesia. Arifin juga menyebut bahwa potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi ribuan karyawan juga menjadi bahan pertimbangan.
”Ya, banyak, lah, kalau nggak kerja sekian tahun, kan, banyak. Terutama yang upah harian,” ucapnya.
Relaksasi yang diberikan juga karena pembangunan smelter tembaga PTFI sempat terkendala akibat pandemi Covid-19. ”Ya, kan, kita tahu bahwa dalam pembangunan itu terkendala ada pandemi yang menjadi bahan konsiderasi kita karena kalau distop sama sekali, kan, juga MIND ID (perusahaan induk BUMN pertambangan) 51 persen, Indonesia sudah 51 persen sahamnya,” kata Arifin.
Arifin mengakui bahwa PTFI memang melakukan negosiasi agar ekspor tembaga konsentrat masih bisa dilakukan. Arifin menegaskan bahwa PTFI harus mempercepat progres pembangunan smelter yang baru 60 persen dengan pengeluaran 1,5 miliar dollar AS dari target 2,4 miliar dollar AS. ”Iya, tapi dengan syarat-syarat tertentu pastinya. Antara lain harus ada kewajiban yang harus dia kompensasikan,” kata Arifin.
Ketika dimintai tanggapannya, Direktur Eksekutif (Indef) Tauhid Ahmad, menilai belum ada koordinasi yang baik antara pemerintah dengan pelaku usaha terkait rencana kebijakan pelarangan ekspor konsentrat tembaga. ”Kita bukan pemain tembaga besar dunia. Maka kebijakan larangan jadi kontraproduktif. Masih ada negara lain menyiapkan substitusi tembaga,” ucapnya.
Kebijakan pelarangan ekspor tembaga ini harus disertai persiapan matang dengan membuat road map atau peta jalan hilirisasi tembaga. ”Pemerintah harusnya dua arah, menyiapkan infrastrukturnya. Kalau menunggu investasi masuk, akan lama. Ketika memberlakukan larangan, harus mempersiapkan investasinya. Negara lain akan menggantikan posisi kita sebagai eksportir tembaga,” kata Tauhid.
Pemerintah juga harus memastikan bahwa pembeli untuk produk hilirisasi tembaga juga sudah ada. “Tidak bisa, jika industri di dalam negeri belum siap,” tambahnya.