Soal Larangan Ekspor Mineral Mentah, Kebijakan Pemerintah Harus Matang
Setelah dianggap berhasil menerapkannya pada nikel, pemerintah hendak melarang ekspor mineral lain, seperti bauksit yang sudah diumumkan Presiden Joko Widodo, kemudian akan dilanjutkan tembaga, pada 2023.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan larangan ekspor mineral, seperti bauksit dan tembaga, pada 2023 masih dibayangi belum rampungnya smelter yang tengah dibangun sehingga ada potensi penumpukan produksi tambang. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil pemerintah mesti tepat dan matang serta terus mengawasi pembangunan ke depan agar tidak kembali molor.
Setelah dianggap berhasil menerapkannya pada nikel, pemerintah hendak melarang ekspor mineral lain, seperti bauksit yang sudah diumumkan Presiden Joko Widodo, kemudian akan dilanjutkan tembaga, pada 2023. Hal itu sejatinya amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yang diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam UU No 3/2020 disebutkan, pemegang kontrak karya, izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi, atau IUP khusus produksi mineral logam dibolehkan melakukan ekspor. Hal itu dengan syarat telah melakukan pengolahan dan pemurnian, dalam proses pembangunan smelter, dan/atau kerja sama pengolahan dan/atau pemurnian. Tenggat pemenuhan itu tiga tahun sejak UU berlaku.
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Akmaluddin Rachim, di Jakarta, Kamis (2/2/2023), mengatakan, perusahaan wajib melakukan hilirisasi dan pembangunan smelter. Ia pun mengapresiasi ketegasan pemerintah karena pelarangan itu bertujuan meningkatkan pendapatan negara dan kesejahteraan masyarakat secara umum.
Namun, melihat kondisi kesiapan pembangunan smelter-smelter besar untuk dirampungkan, ada kebijakan yang perlu diambil. Misalnya, perlu ada pengaturan bahwa yang boleh diekspor hanya kadar tertentu. ”Kebijakan perlu hati-hati, tetapi yang jelas harus memberi kepastian hukum dan bermanfaat bagi negara. Juga rasa keadilan bagi masyarakat,” ujar Akmaluddin.
Ia menambahkan, pembangunan smelter besar oleh perusahaan sudah mundur lama, yang dipengaruhi berbagai faktor. Akibatnya, hingga kini belum juga rampung. Saat ada keterlambatan, seharusnya ada yang didapat negara.
”Kompensasi bisa dalam bentuk pemeliharaan lingkungan, pemberian atau pembukaan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat sekitar, dan penyaluran dana CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) yang lebih besar. Juga pemanfataan hasil alam atau produk-produk masyarakat sekitar hingga kesempatan magang mahasiswa. Konsep multiplier effect dalam kegiatan industri ekstraktif harus benar-benar dirasakan,” ucapnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli berpendapat, rencana pemerintah menyetop ekspor konsentrat tembaga sulit diterapkan tahun ini karena smelter besar setidaknya diperkirakan baru rampung 2024. Apabila ada larangan ekspor, produksi akan berhenti karena konsentrat tak bisa dijual jika tak diolah dan dimurnikan di dalam negeri.
Apabila jumlah produksi dikorbankan, imbuh Rizal, hal itu akan memengaruhi arus kas perusahaan. Juga akan ada dampak bagi penerimaan negara. ”Yang paling memungkinkan (untuk diterapkan) yakni melalui pajak ekspor. Jadi, yang mengekspor konsentrat dikenai pajak oleh pemerintah,” kata Rizal.
Adapun kemajuan proyek pembangunan smelter PT Freeport Indonesia (FI) di Manyar, Gresik, Jawa Timur, sebagaimana disampaikan Direktur Utama PT FI Tony Wenas, hingga pertengahan Januari 2023 mencapai 51,7 persen. Pengolahan dan pemurnian konsentrat tembaga itu akan mulai beroperasi Mei 2024 dan beroperasi komersial pada akhir 2024 (Kompas, 18/1/2023).
Pengetatan pemantauan
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (31/1/2023), menuturkan, pada 2022, ada lima realisasi smelter baru. Sementara pada 2023 direncanakan ada 17 smelter yang sebagian besar ialah smelter nikel. Namun, pihaknya akan terus memantau pembangunan smelter-smelter komoditas lain.
”Akhir-akhir ini kami tingkatkan pengetatan pemantauan karena 2023 ini semua smelter harus sudah selesai. Artinya, kami akan terus memperketat pengawasan terhadap kewajiban pembangunan smelter atau untuk hilirisasi,” ucap Ridwan.
Ia menambahkan, pihaknya sudah menerima surat dari PT FI yang menyampaikan bahwa smelter tidak akan bisa selesai pada Desember 2023. Hal tersebut sudah dalam pertimbangan dan pengkajian Ditjen Minerba.
”Kami tidak mengatakan ’silakan selesai kapan saja’, tetapi juga tidak menolak. Namun, sudah dalam pertimbangan dan dikaji. Esensinya, selama pandemi Covid-19 memang ada dampak terhadap kegiatan itu, tapi kami juga kaji mana yang terkait Covid-19 dan tidak. Laporan sudah kami sampaikan kepada pimpinan,” tuturnya.
Mengenai keputusan yang diambil terkait kondisi itu, Ridwan mengemukakan, hal itu tidak ada pada level ditjen. ”Namun, pimpinan sudah mendapat informasinya dan nanti kita tunggu keputusannya. Yang pasti, kami mengutamakan asas manfaat. Apa yang paling bermanfaat dan itu mudah-mudahan menjadi pegangan semua pihak,” lanjutnya.
Sebelumnya, di Jakarta, Senin lalu, Pelaksana Harian (Plh) Dirjen Minerba Kementerian ESDM Idris Sihite menyampaikan, terkait belum rampungnya smelter, pihaknya patuh pada aturan. Namun, di sisi lain, pihaknya juga tidak menutup mata akan sejumlah pertimbangan, terutama terkait kemajuan pembangunan dan pengeluaran biaya yang sudah cukup signifikan.
”Jadi, bagaimana mengharmonisasikan antara aturan dan fakta empirik di lapangan. (Terkait keputusan) Karena terkait dengan UU, maka akan melibatkan pemangku kepentingan lain, tidak hanya ESDM. Saya tidak dalam posisi menentukan ke mana (arah kebijakannya), tetapi hanya memberi rekomendasi pada para pembuat solusi,” katanya.