Hilirisasi Perlu Sejalan dengan Penguatan Pasar Domestik
Integrasi industri pengolahan mineral dari hulu hingga hilir dibutuhkan untuk menambah nilai produk. Pembangunan industri pengolahan mineral juga diandalkan untuk membuka lapangan kerja.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Pemandangan "lahar" memijar di atas merupakan slag atau hasil samping dari pengolahan bijih nikel menjadi nickel matte di tempat penampungan PT Vale Indonesia (Tbk) di Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Senin (2/7/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Investasi yang berhasil direalisasikan dari dalam dan luar negeri untuk hilirisasi hasil tambang perlu dipastikan sejalan dengan penguatan pasar domestik. Kedua hal ini mesti diupayakan berlangsung secara paralel sehingga tak terjadi ketimpangan.
Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, total investasi telah mencapai Rp 328,9 triliun per triwulan I-2023. Nilai ini setara dengan 23,5 persen dari target Presiden Joko Widodo, yakni Rp 1.400 triliun. Sebanyak Rp 177 triliun berasal dari penanaman modal asing (PMA) dan Rp 151,9 triliun dari penanaman modal dalam negeri (PMDN).
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, upaya pemerintah yang gencar mencari investor, baik dari dalam maupun luar negeri, harus diapresiasi. Sebab, kebijakan hilirisasi hasil tambang membutuhkan modal besar untuk bisa bertahan dalam jangka panjang.
”Hilirisasi ini tidak terbatas pada nikel, melainkan ada juga komoditas lainnya seperti timah, tembaga, emas, dan lainnya,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Jumat (9/6/2023).
Pemanfaatan sumber daya mineral Indonesia yang melimpah, lanjut Komaidi, membutuhkan dana yang besar. Saat ini, sudah ada smelter yang beroperasi dan akan terus bertambah dalam waktu dekat.
Kendati begitu, pekerjaan rumah yang tersisa adalah penguatan pasar domestik untuk menampung hasil tambang mineral. Hal itu berjalan secara paralel dengan pengembangan smelter dan investasi untuk hilirisasi hasil tambang.
Pelarangan ekspor sejumlah mineral mentah bisa dimanfaatkan untuk memperkuat bagian tengah hingga hilir. Hal ini dicapai dengan pembangunan industri yang bisa mengolah produk turunan mineral.
”Hulu yang berupa investasi tetap dicari, pada saat bersamaan, hilirnya yakni pembeli atau pasar, juga disiapkan,” ucap Komaidi.
Hilirisasi hasil tambang itu tidak sekadar mengolah mineral mentah menjadi produk setengah jadi. Produk tersebut juga perlu diolah oleh industri dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan nasional. Kebutuhan atau pasar domestik ini dapat disiapkan oleh pemerintah.
Pekerja menunjukkan nickel sulfate yang diproduksi pabrik HPAL milik grup Harita Nickel di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (9/4/2023). Nickel sulfate merupakan bahan pembuatan prekursor baterai kendaraan listrik.
Indonesia, antara lain, memiliki 72 juta ton cadangan nikel—termasuk limonit, bijih nikel berkadar rendah—setara dengan 52 persen cadangan nikel global (Badan Geologi, 2020). Hal ini membuat Indonesia berpotensi sebagai pemain global rantai pasok kendaraan listrik.
Meskipun demikian, tutur Komaidi, baru dua perusahaan mobil listrik dan 10 motor listrik yang memenuhi tingkat komponen dalam negeri minimal 40 persen. Jumlah perusahaan dan pabrik kendaraan listrik ini masih bisa ditingkatkan untuk memaksimalkan pemanfaatan nikel nasional.
”Fokus saja dahulu untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Setelah terpenuhi, baru mulai berorientasi ekspor ke luar negeri. Dengan cadangan nikel terbesar, dunia pasti membutuhkan nikel Indonesia untuk pembuatan baterai listrik,” ungkapnya.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, Indonesia cenderung kuat di hulu, tetapi lemah di bagian tengah (midstream) dan hilir. Pelarangan ekspor sejumlah mineral mentah bisa dimanfaatkan untuk memperkuat bagian tengah hingga hilir. Hal ini dapat dicapai dengan pembangunan industri yang bisa mengolah produk turunan mineral.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Fabby Tumiwa
Nikel, misalnya, dapat diolah menjadi baterai dan baja ringan. Industri di dua sektor tersebut bisa dibangun untuk menambah nilai dari nikel. Terlebih, industri baja nasional masih tergolong lemah dan berorientasi impor.
Ekosistem kendaraan listrik memerlukan dukungan dari industri pengolahan mineral yang beragam. Bagian bodi kendaraan listrik perlu aluminium dan baja ringan untuk menyusun komponennya.
”Tidak hanya nikel, mineral lain seperti bauksit dan pasir silika butuh perhatian yang sama. Karena itu, integrasi industri dari hulu hingga hilir diperlukan. Ini untuk menjaga rantai pasok dan menekan kebutuhan impor Indonesia,” kata Fabby.
Pembangunan industri pengolahan mineral bisa membuka lapangan kerja dan menambah nilai sumber daya yang dimiliki Indonesia.
Pengamat ekonomi energi Fahmy Radhi meyakini, penguatan industri dalam negeri akan mendorong pertumbuhan perekonomian nasional. Sebab, pembangunan industri pengolahan mineral bisa membuka lapangan kerja dan menambah nilai sumber daya yang dimiliki Indonesia.
”Harus diakui pasar domestik masih lemah. Namun, seiring berjalannya waktu, saya yakin hal itu dapat tumbuh,” kata dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada itu.
Pekan ini, pemerintah Indonesia dan Malaysia baru saja menandatangani enam nota kesepahaman (MoU) untuk memperkuat hubungan kerja sama investasi. Dengan MoU ini, diharapkan hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia akan semakin baik dan memberikan dampak yang positif bagi masing-masing negara.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menyebutkan, kerja sama dengan Malaysia merupakan upaya untuk meningkatkan daya saing investasi. Daya saing tersebut khususnya di bidang energi baru terbarukan (EBT) dan hilirisasi antarnegara kawasan Asia Tenggara.
”Fokus investasi yang didorong adalah sektor prioritas seperti hilirisasi industri, EBT, dan investasi berkelanjutan,” ucapnya dalam keterangan tertulis.