Keberhasilan presidensi G20 yang dilanjutkan dengan keketuaan ASEAN merupakan modal kuat membangun koordinasi global dan regional sambil memastikan kepentingan domestik terakomodasi, termasuk hilirisasi industri.
Oleh
A Prasetyantoko
·4 menit baca
CHIP SOMODEVILLA/GETTY IMAGES/AFP
Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat Jerome Powell menyampaikan sambutan pada konferensi setelah pertemuan Federal Open Market Committee (FMOC) di Washington DC, AS, 2 November 2022.
Perkembangan terkini perekonomian global begitu dinamis sekaligus menantang. Berita baik datang dari Amerika Serikat, di mana inflasi Desember surut menuju 6,5 persen, dari 7,1 persen pada November dan 9,1 persen pada Juni 2022. Penurunan inflasi membuat kenaikan suku bunga bank sentral AS atau The Fed tak seagresif sebelumnya. Risiko resesi pun melunak.
Meski begitu, prospek perekonomian global lebih suram dari perkiraan sebelumnya. Laporan terkini World Economic Prospect terbitan Bank Dunia edisi Januari 2023 memperkirakan perekonomian global hanya akan tumbuh 1,7 persen tahun ini. Ekonomi AS dan Uni-Eropa hanya akan tumbuh 0,5 persen, Jepang 0 persen, dan China 4,3 persen. Sementara perekonomian Indonesia diperkirakan tumbuh 4,8 persen.
Tampaknya, meski resesi global lebih ringan, dampaknya akan lebih luas dan bisa jadi lebih lama. Kinerja ekonomi kita menyakinkan, tetapi tidak sepenuhnya kebal dari pengaruh krisis global, apalagi jika resesi berlangsung lama.
Laporan ini juga menunjukkan bagaimana resesi global bertransmisi pada perlambatan investasi, perdagangan, produktivitas ekonomi, dan ujungnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan pendapatan per kapita di seluruh kawasan lebih kecil dibandingkan ketika pandemi Covid-19.
Pada akhir 2024, perekonomian negara berkembang akan menyusut 6 persen dibandingkan pada awal pandemi. Sementara investasi diperkirakan hanya akan tumbuh 3,5 persen hingga dua tahun ke depan atau separuh dari pertumbuhan investasi sebelum pandemi.
Meski resesi global lebih ringan, dampaknya akan lebih luas dan bisa jadi lebih lama. Kinerja ekonomi kita menyakinkan, tetapi tidak sepenuhnya kebal dari pengaruh krisis global, apalagi jika resesi berlangsung lama.
Bank Dunia kembali mendorong pemberian insentif bagi investasi, khususnya di negara berkembang. Untuk menjaga perekonomian tetap tumbuh, produktivitas meningkat, dan pendapatan per kapita naik, diperlukan kebijakan industri agar terjadi perubahan struktural dan peningkatan investasi.
Adapun kebijakan fiskal dan moneter diperlukan untuk menciptakan stabilitas ekonomi sehingga pertumbuhan dengan pengurangan kemiskinan terjadi.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Foto udara kawasan industri yang berdekatan dengan akses jalan tol di Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (3/5/2022).
Kebijakan Industri
Perlambatan ekonomi disertai inflasi tinggi, kenaikan suku bunga, risiko geopolitik serta tantangan perubahan iklim telah mengubah lanskap perekonomian global. Prinsip efisiensi yang selama ini menjadi dasar berlangsungnya aktivitas ekonomikini bergeser ke arah resiliensi.
Konteks inilah yang membuat urgensi dan relevansi kebijakan industri meningkat lagi. Selama ini, kebijakan industri dianggap antipasar. Faktanya, hampir semua negara mempraktikkannya belakangan ini.
Pada Agustus 2022, parlemen AS menyetujui Inflation Reduction Act senilai 433 miliar dollar AS usulan Presiden Joe Biden. Inti regulasi ini adalah menurunkan defisit fiskal serta inflasi melalui investasi di bidang energi terbarukan dan kesehatan. Konkretnya, pemerintah akan menyubsidi perusahaan di kedua sektor. Targetnya, biaya energi dan kesehatan turun.
Prinsip efisiensi yang selama ini menjadi dasar berlangsungnya aktivitas ekonomi kini bergeser ke arah resiliensi.
Uni Eropa memprotes keras kebijakan ini. Rupanya, banyak perusahaan Eropa di sektor energi dan farmasi lebih memilih investasi di AS karena insentif tersebut. Selanjutnya, beberapa negara Uni Eropa bersiap meluncurkan kebijakan serupa, yaitu memberi subsidi pada sektor tertentu agar mendorong minat investasi. Pandemi yang diikuti resesi telah menjadi ladang subur kembalinya kebijakan industri.
Sebetulnya, perilaku protektif sudah meningkat jauh sebelum pandemi. Ketegangan AS-China yang memuncak pada masa Presiden Donald Trump menjadi sinyal melemahnya globalisasi. Pandemi hanya mengakselerasi kecenderungan tersebut.
Ketegangan demi ketegangan terus terjadi. Pertengahan tahun lalu AS juga mengesahkan CHIPS Act senilai 280 miliar dollar AS guna menyubsidi produsen semikonduktor agar bisa membatasi dominasi semikonduktor China.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Tongkang batubara merapat ke Pelabuhan Marunda di Jakarta Utara, Senin (26/12/2022).
Kecenderungan serupa terjadi di tempat kita. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sudah mengatur kewajiban pengolahan dan pemurnian hasil tambang di dalam negeri. Implementasinya terganjal banyak hal, mulai dari kesiapan industri pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri, kalkulasi untung-rugi jangka pendek, hingga resistensi komunitas internasional.
Diterbitkannya UU No 3/2020 sebagai revisi UU Minerba sebelumnya menyatakan paling lama tiga tahun sejak diundangkan, semua produk mineral dan batubara wajib diproses di dalam negeri. Akselerasi pembangunan infrastruktur, pasokan energi, dan kebijakan yang mendukung pembangunan industri pengolahan dalam negeri sudah dilakukan. Tampaknya, kali ini momentumnya tepat.
Kebijakan larangan ekspor nikel meski digugat negara-negara Uni Eropa dan kalah dalam persidangan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), arah kebijakannya tak berubah. Pemerintah konsisten melarang ekspor bahan mentah lainnya, seperti tembaga, timah, bauksit dan bijih besi, pada Juni 2023 sesuai amanat UU.
Akselerasi pembangunan infrastruktur, pasokan energi, dan kebijakan yang mendukung pembangunan industri pengolahan dalam negeri sudah dilakukan.
Saat ini merupakan saat tepat melakukan reindustrialisasi melalui hilirisasi dan peningkatan investasi melalui seperangkat kebijakan industri. Diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2/2022 tentang Cipta Kerja bisa jadi merupakan salah satu bagian tak terpisahkan dari upaya pemerintah memanfaatkan momentum mengakselerasi investasi dalam negeri.
Meski begitu, perlu mitigasi terhadap beberapa potensi risiko. Pertama, di dalam negari resistensi terhadap formalitas hukum Perppu Ciptaker perlu dimitigasi agar tak justru menambah keraguan investor. Apalagi tahun depan akan terjadi pergantian presiden. Jika polemik terus berlanjut, justru bisa kontraproduktif terhadap tujuannya, yaitu meningkatkan minat investasi.
Kedua, meski kecenderungan global menunjukkan adanya perilaku protektif, perlu disadari pemulihan ekonomi dengan seluruh tantangannya, termasuk masalah kesehatan dan perubahan iklim, justru memerlukan koordinasi lebih intensif. Mengingat peta geopolitik juga tengah berubah, kejelian membangun koalisi antarnegara menjadi kunci.
Keberhasilan dalam presidensi G20 yang dilanjutkan dengan keketuaan ASEAN merupakan modal kuat membangun koordinasi global dan regional sambil memastikan kepentingan domestik terakomodasi. Inilah saat terbaik membangun kembali strategi industri melalui hilirisasi yang didukung laju investasi tinggi demi kesejahteraan masyarakat yang lebih merata (inklusif).