Kebijakan hilirisasi hasil pertambangan Indonesia terus digempur internasional. Hambatan dagang dari negara lain pun jadi tantangan utama hilirisasi. Kendati begitu, proyek hilirisasi harus terus berlanjut.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hambatan perdagangan atau trade barrier yang dibangun negara lain, khususnya Uni Eropa, menjadi tantangan utama kebijakan hilirisasi. Hal tersebut menghambat upaya Indonesia untuk meningkatkan nilai tambah dari produk hasil tambang. Kendati begitu, pemerintah optimistis produk hilir hasil tambang nasional masih dapat diterima pasar internasional.
Hal itu mengemuka dalam diskusi secara daring Forum Merdeka Barat 9 yang bertajuk ”Untung Rugi Larangan Ekspor Mineral Mentah” di Jakarta, Senin (12/6/2023). Diskusi rutin yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika itu mengundang Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto, Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif, serta Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia Daymas Arangga.
Secara spesifik, trade barrier merupakan penghalang—berupa kebijakan suatu negara—yang membatasi pergerakan arus perdagangan antarnegara. Salah satunya adalah gugatan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas kebijakan hilirisasi industri pertambangan Indonesia yang melarang ekspor nikel mentah sejak awal 2020.
”Tantangan utama hilirisasi industri pertambangan saat ini berasal dari trade barrier yang diciptakan negara lain. Misalnya, industri hilirisasi produk turunan nikel Indonesia seperti baja ringan banyak dikenakan antidumping dan anti-subsidies, terutama dari Uni Eropa,” ujar Septian Hario Seto.
Kendati begitu, kebijakan hilirisasi industri pertambangan nasional tidak serta-merta berupaya memproduksi seluruh rantai pasok. Sebab, hubungan diplomatik dan kerja sama antarnegara perlu dijaga sehingga negosiasi produksi harus dilakukan. Selain itu, dorongan hilirisasi berfokus pada produk olahan tambang yang memiliki nilai tambah tertinggi.
Di dalam negeri, kebijakan hilirisasi dinilai telah membuahkan hasil. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah diolah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), nilai ekspor produk nikel pada 2017 sebesar 3,3 miliar dollar AS atau Rp 49 triliun. Sementara itu, pada 2022, ekspor produk nikel melonjak hampir 10 kali lipat menjadi 29 miliar dollar AS atau Rp 431 triliun.
Hilirisasi tetap jalan terus. Presiden dan kementerian terkait sudah menyiapkan langkah-langkahnya.
Dari sektor tenaga kerja, lanjut Septian, kebijakan hilirisasi turut serta dalam pembukaan puluhan ribu lapangan pekerjaan dengan upah di atas minimum daerah. Oleh karena itu, pekerjaan rumah yang tersisa adalah integrasi industri ke arah hilir lanjutan, misalnya, dari baja ringan diolah menjadi jarum suntik, alat makan, hingga manufaktur presisi.
Irwandy Arif mengatakan, gugatan Uni Eropa ke WTO akan terus dihadapi oleh pemerintah. Selain pelarangan ekspor nikel, dia menduga hal yang sama juga terjadi pada pelarangan ekspor bauksit nasional.
”(Hilirisasi) tetap jalan terus. Presiden dan kementerian terkait sudah menyiapkan langkah-langkahnya,” katanya.
Produk-produk olahan smelter Indonesia, kata Irwandy, dapat diterima oleh semua negara. Meski begitu, sejumlah negara ada yang menetapkan persyaratan seperti penggunaan energi bersih agar produk olahan tambang Indonesia dapat diterima. Karena itu, seluruh smelter yang menggunakan listrik dari batubara akan beralih menggunakan listrik dari gas. Dalam jangka panjang, seluruhnya akan disuplai listrik dari energi baru terbarukan yang lebih bersih.
Menurut Daymas Arangga, negara yang biasa menampung hasil tambang mentah tentu akan bergesekan sedikit hubungan dagangnya dengan Indonesia. Sebab, negara tersebut mulai kehilangan peluang untuk meningkatkan nilai tambah dari hasil tambang Indonesia.
Meskipun demikian, dia meyakini tetap ada negara yang membutuhkan mineral asal Indonesia, contohnya Jepang, AS, dan Australia. ”Jadi, Indonesia, dalam hal ini pemerintah, tidak perlu khawatir,” ucapnya.
Jumlah investasi yang masuk ke Indonesia untuk hilirisasi nikel mencapai lebih dari 30 miliar dollar AS atau Rp 445,8 triliun. Sementara untuk jenis mineral lain seperti tembaga, bauksit, dan aluminium akan disesuaikan dengan kapasitas hilirisasi yang dirancang.
Biaya mahal
Biaya investasi untuk hilirisasi yang mahal juga dinilai sebagai tantangan. Para pengusaha dinilai sulit mencari pendanaan dalam membangun smelter untuk meningkatkan nilai hasil tambang.
Hingga saat ini, papar Septian, jumlah investasi yang masuk ke Indonesia untuk hilirisasi nikel mencapai lebih dari 30 miliar dollar AS atau Rp 445,8 triliun. Sementara untuk jenis mineral lain seperti tembaga, bauksit, dan aluminium akan disesuaikan dengan kapasitas hilirisasi yang dirancang.
Sebagai gambaran, satu pabrik smelter aluminium berkapasitas 500.000 ton membutuhkan 1 miliar dollar AS-2 miliar dollar AS atau Rp 14,8 triliun-Rp 29,7 triliun. ”Jadi, nilai kebutuhan ini tergolong cukup besar,” katanya.