Wamenkeu: Tak Ada Upaya Internal Tutupi Data Transaksi Mencurigakan
Wamenkeu Suahasil Nazara membantah adanya upaya internal untuk menutupi pelaporan secara utuh terkait dugaan transaksi mencurigakan senilai Rp 349,8 triliun di Kemenkeu. Tiada pula perusahaan cangkang.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
KRISTIAN OKA PRASETYADI
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memaparkan data transaksi mencurigakan sebesar Rp 349,8 triliun terkait Kementerian Keuangan, Jumat (31/3/2023), di Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara membantah adanya upaya internal untuk menutupi pelaporan terkait dugaan transaksi mencurigakan sebesar Rp 349,8 triliun selama kurun 2009-2023 di Kementerian Keuangan. Ia juga menegaskan, tidak ada bukti pegawai yang terkait dengan perusahaan cangkang.
Hal ini Suahasil ungkapkan dalam pertemuan dengan awak media, Jumat (31/3/2023), di kantor Kementerian Keuangan. Jumlah transaksi perincian data yang diungkapkan Menteri Politik, Hukum, dan HAM (Menkopolhukam) di Komisi III DPR dan penjelasan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulayani Indrawati di Komisi XI tetaplah sama.
”Karena memang kita bekerja dengan 300 surat, dan keseluruhannya memang sama. Sumber datanya sama, yaitu rekap surat PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Cara menyajikannya bisa berbeda, tapi kalau dikonsolidasi, ya, ketemu,” kata Suahasil.
Dari 300 surat laporan hasil analisis (LHA) PPATK, 200 di antaranya dikirimkan kepada Kemenkeu. Dari jumlah tersebut, ada 135 surat terkait korporasi dan pegawai Kemenkeu dengan nilai transaksi Rp 22 triliun, dan nilai inilah yang disampaikan Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR, Senin (27/3/2023).
KRISTIAN OKA PRASETYADI
Paparan data transaksi mencurigakan sebesar Rp 349,8 triliun terkait Kementerian Keuangan ditampilkan, Jumat (31/3/2023), di Jakarta.
Namun, jumlah yang dilaporkan Mahfud MD selaku Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di Komisi III adalah Rp 35,5 triliun. Menurut Suahasil, itu disebabkan ada 64 surat terkait pegawai dengan nilai transaksi sekitar Rp 13 triliun yang dikirimkan ke APH, tetapi tidak kepada Kemenkeu.
Dari hasil identifikasi, total nilai hasil analisis dari 135 surat yang diterima Kemenkeu dan 64 surat yang dikirimkan kepada APH adalah Rp 35,11 triliun. Nilai ini berbeda tipis dari Rp 35,54 triliun yang disebut Mahfud. Namun, menurut Suahasil, hal ini tidak menjadi masalah karena nominalnya cenderung mirip dan bersumber dari dokumen yang sama.
Soal transaksi Rp 22 triliun yang dilaporkan Kemenkeu, hanya Rp 3,3 triliun yang murni transaksi debit kredit para pegawai. ”Kalau kita mau bikin mutasi dan promosi pegawai atau membentuk panitia seleksi yang ada pegawai Kemenkeu-nya, pasti kami minta data clearance kepada PPATK. Tapi di dalamnya, ada transaksi resmi, jual-beli harta, transaksi dengan keluarganya, dan lain-lain,” kata Suahasil.
Sementara itu, Rp 18,7 triliun merupakan transaksi debit kredit operasional empat korporasi dan dua orang yang tidak terafiliasi dengan pegawai. Dari hasil penelusuran, Suahasil mengatakan, tidak ada perusahaan cangkang sebagaimana diungkapkan sebelumnya oleh Kepala PPATK Ivan Yustiavandana.
KOMPAS
Komisi III DPR Akan Agendakan Rapat Lanjutan Terkait Transaksi Mencurigakan di Kemenkeu
Empat korporasi yang transaksinya dicurigai berkegiatan di bidang antara lain perkebunan, otomotif, dan penyedia jasa pertukaran data. Pemeriksaannya pun merupakan inisiatif Inspektorat Jenderal Kemenkeu. Adapun dua pribadi lain yang diperiksa diduga berupaya menghindari pajak.
”Ini untuk memberi ilustrasi bahwa transaksi Rp 22 triliun ini riil, dan kami pelototin betul. Hubungan kami dengan PPATK pun sangat detail, arus informasi mengalir dengan sangat baik,” kata Suahasil.
Di luar itu, masih ada dua kelompok transaksi mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu. Mahfud melaporkan nilainya Rp 53,8 triliun, sedangkan Kemenkeu mencatat Rp 47 triliun. Adapun kategori ketiga, yaitu transaksi keuangan yang diduga terkait dengan penyalahgunaan kewenangan Kemenkeu, disebut Mahfud bernilai Rp 260,5 triliun, sedangkan Kemenkeu melaporkan Rp 267,74 triliun.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Peneliti dari Pusat Kajian Anti-Korupsi UGM Zaenur Rohman
Terkait hal ini, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman mengatakan, perbedaan data tersebut, sekalipun tak signifikan, seharusnya tidak ada karena sama-sama bersumber dari dokumen PPATK. Apalagi, data ini disampaikan oleh sesama menteri sehingga seharusnya direkonsiliasi terlebih dahulu.
”Perbedaan data ini menunjukkan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU ini tidak berfungsi dengan baik. Seharusnya komite itu melakukan koordinasi antarkementerian atau lembaga yang terkait dengan memverifikasi dan validasi data yang beredar,” kata Zaenur.
Ia mengakui, dampak perbedaan data ini tak akan terlalu berdampak langsung terhadap pemberantasan korupsi. Namun, komite harus segera mengambil langkah penindakan terhadap transaksi-transaksi mencurigakan tersebut, terutama dengan menginvestigasi keuangan pegawai Kemenkeu.
KRISTIAN OKA PRASETYADI
Inspektur Jenderal Kemenkeu Awan Nurmawan Nuh memaparkan data transaksi mencurigakan sebesar Rp 349,8 triliun yang terkait Kementerian Keuangan, Jumat (31/3/2023), di Jakarta.
Sementara itu, Inspektur Jenderal Kemenkeu Awan Nurmawan Nuh mengatakan, pihaknya juga ”menjemput bola” dengan memeriksa, antara lain, laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) demi memberantas korupsi di lingkungan Kemenkeu. Dari pemeriksaan laporan tahun 2020-2021, ada sekitar 50 pegawai yang diperiksa karena kekayaannya tak sesuai profil.
Sebanyak 47 orang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kemudian diprioritaskan untuk pemanggilan. ”Ada lima yang tidak hadir karena sakit. Dari pemanggilan itu, output-nya ada yang kena hukuman disiplin, ada juga yang harus memperbaiki laporan harta kekayaan,” kata Awan.
Sebanyak 11 dari 42 pegawai yang hadir dinyatakan tidak melanggar, sementara 31 lainnya mendapat sanksi. Delapan orang terkena hukuman disiplin berat, empat orang dihukum sedang, sementara yang lainnya diwajibkan memperbaiki LHKPN.